Tidak menjilat ludah sendiri, tidak perlu peduli hal-hal lain, saat esok tiba, Olivia terlihat jelas-jelas mendekati Kobo, terlihat menjadi sangat dekat dengan Kobo.
Bahkan, bisa dibilang sangat terlalu dekat, seperti anjing pribadinya saja.
Kemanapun Kobo pergi, pasti Olivia ada di belakangnya.
"Guk, guk guk!" gonggong Olivia benar-benar menikmati perannya sebagai anjing peliharaan, namun tanpa harness, tali kekang, atau tali pecut (meski sebenarnya Olivia justru menantikan momen tersebut dengan sangat sumringah).
Sayangnya, meski Olivia memiliki segudang prestasi (secara harfiah bahwa nilainya bagus serta digemari teman-temannya dan secara sarkastik bahwa prestasinya adalah hukuman dari guru), Olivia tidak bisa bertindak seenaknya, dan tetap harus merelakan perpisahannya dengan Kobo jika memasuki waktu jam pelajaran.
Mereka harus kembali ke kelas masing-masing, kembali terpisah dengan lantai yang berbeda.
Dengan emosional, Olivia merengek tidak ingin meninggalkan Kobo, bahkan mulai berlinang air mata? Olivia bersujud meminta ampun, mulai mengeluarkan tantrum seperti anak kecil.
"Huaaaa Kobo jangan tinggalin aku!" tangis Olivia pura-pura.
"Dan kepadaNya kami memohon dan bernaung, dan kepadaNya kami memohon ampun. Wahai zat yang Maha Agung, ampuni hamba dan kami-kami yang berzina," gumam Kobo seperti biasa entahlah membicarakan apa. Ternyata, Kobo yang tidak peduli dan biasanya hidup di dalam dunianya sendiri saja, tampak memperlihatkan sebuah perbedaan?
KOBO MENDECAKKAN LIDAHNYA!
Kobo menatap jiik, dengan hina, dan sangat rendah pada Olivia. Dirinya sangat terganggu dengan kehadiran Olivia yang memeluk kaki Kobo, menghambatnya untuk sekadar berjalan kembali ke kelasnya.
Sayangnya, tatapan-tatapan tersebut sangatlah Olivia gemari.
Alhasil, Olivia makin merengek manja, memeluk menempel Kobo lebih kuat.
Berharap dimaki lagi, berharap ditatap dengan dengki lagi.
Namun, guru-guru mulai membujuk Olivia untuk segera kembali ke kelas, bersamaan juga dengan Rina sekalian. Olivia cukup kecewa, bahwa dirinya tetap harus berpisah dengan Kobo, majikan kesayangannya.
Tapi, ada kekecewaan lain yang dirasakan hatinya.
Bukannya dibentak atau dimarahi, kalian cuman bujuk aku doang? protesnya.
Meskipun akhirnya Olivia menurut, itu tidak mengurungkan niatnya untuk terus hidup dengan penuh aksi dan fantasi bersama Kobo.
Dimulai dari kelas yang baru saja usai, Olivia langsung bergegas melesat turun ke lantai satu, menunggu Kobo di depan kelasnya seperti anjing peliharaan yang patuh.
Seperti biasa, Kobo tampak tidak peduli bahkan tidak butuh keberadaan Olivia di dekatnya. Kenapa tidak? Ternyata Kobo sedang bergegas pergi ke kamar mandi! Tapi, ini justru sebuah tantangan yang ditunggu oleh Olivia. Dia tidak peduli kemana Kobo pergi, Olivia pasi akan mengikutinya, bahkan ke kamar mandi sekalipun (meskipun mereka sama-sama perempuan)!
Apakah dia akan menamparku?
Apakah dia akan mengguyur air kepadaku?
Apa yang akan Kobo lakukan kalau aku agresif seperti ini?
Yah, bukannya Olivia masuk pada satu bilik yang sama juga. Olivia bukan orang mesum yang mengintip Kobo dengan menaiki toilet duduk dari bilik sebelah. Olivia hanya menunggu di wastafel, melihat Kobo sibuk di dalam bilik, lalu keluar mencuci tangan, berencana mengeringkan tangannya, namun mengurungkan niatnya ketika Olivia sudah lebih dahulu menawarkan tisu kepada Kobo.
Tatapannya kembali risi, penuh dengki, kembali tidak suka dengan Olivia.
Tapi, hanya itu yang Kobo lakukan.
Tidak ada protes secara verbal, tidak ada protes secara fisik.
Setelah tatapan itu, Kobo pun kembali mengurusi dunianya sendiri. Pergi dari kamar mandi, tidak jadi mengeringkan tangannya, tidak memedulikan Olivia sama sekali.
Wah... aku jadi ingin makin agresif nih, pikir Olivia cekikikan dengan napas yang mulai berat melihat Kobo mentah-mentah mengacuhkannya.
Tapi, kekeh tersebut langsung Olivia urungkan dan matikan, seperti sebuah saklar yang bisa dinyala-hidupkan.
Begitu dirinya dan Kobo memasuki perpustakaan, Olivia mengurungkan niatnya untuk mengganggu dan mengusili Kobo lagi, membuang jauh-jauh keinginan sintingnya, kecuali satu senyum yang benar-benar mulia dan suci bahwa Olivia adalah seorang murid berprestasi. Ia kembali menjadi teman yang dapat diandalkan untuk membantu para murid yang kesulitan.
Melihat Kobo di sebuah meja kosong, Olivia mengintip sekilas, mengambil buku paket acuan yang dapat membantu, meminta kertas kotretan dari petugas perpustakaan, dan dengan hati dan niat yang bersih, ia membantu Kobo entahlah mengerjakan tugas sekolah, entahlah tugas bimbel, entahlah mempersiapkan diri pada pelajaran atau kuis yang akan datang.
Meskipun Kobo masih diam seribu bahasa kecuali tetap menggumamkan entahlah apa, Olivia dengan rajin memberikan petunjuk dengan begitu cermat kepada Kobo.
Mata Olivia melirik soal-soal sulit matematika dan bahasa Inggris yang bikin Kobo kebingungan, membuka buku-buku paket yang tersedia, mengerjakan dengan sederhana di kertas kotretan, memberikan simbol dan tanda-tanda dengan pulpen berwarna-warni, lalu menunjukkannya kepada Kobo seakan-akan sedang mengajarkannya dalam diam.
Untuk sesaat, Kobo melirik penasaran.
Mengetahui bahwa apa yang Olivia kerjakan benar-benar membantunya, akhirnya Kobo rela untuk membiarkan Olivia membantunya belajar.
Sampai pada akhirnya waktu petang datang dan mereka pun harus berpisah, sepertinya Kobo tetap tidak berbicara sama sekali, kecuali tolehan antusias dan mata yang bahagia saat berhasil mengerjakan soal-soal sulit. Tapi, itu tidak masalah. Olivia pun tidak merengek lagi, mereka bersiap untuk benar-benar berpisah di lorong sekolah.
Tunggu. Ada yang menarik baju? pikir Olivia. Penasaran, dia pun menoleh.
Kobo yang masih menggumam, menunduk dengan malu, mulai menunjukkan ponselnya.
Apa? Kenapa? HP? Mau apa Kobo dengan HP? Minta bantu tentang HP? Minta nyalakan HP? Dia gak bisa pake HP?
Tidak terlalu mengerti terhadap kode yang dimaksud, Kobo yang sadar akan keteledorannya langsung melanjutkan aksinya untuk membuka layar gembok, membuka aplikasi telepon, dan... ternyata Kobo bermaksud untuk meminta nomor telepon Olivia?
Kegirangan? Tentu saja! Bahkan ini perlu dimeriahkan dengan pesta!
Meskipun ini bukan sebuah hukuman yang diharapkannya, bertukar nomor telepon sendiri merupakan sebuah kemajuan, kan? Bisa jadi ada penderitaan seperti sakit hati atau yang lain sebagainya yang bisa aku dapatkan di dalam percakapan HP, kan? harap Olivia.
Olivia dan Kobo pun saling bertukar nomor telepon, memastikan bahwa nomor satu dan yang lain adalah benar adanya, dan setelah semuanya selesai, secara reflek Olivia membelai ubun-ubun Kobo seperti bentuk kebahagiaan seorang ibu yang melihat kesuksesan anaknya.
"...!" panik dengan sentuhan tiba-tiba, Kobo langsung menepis tangan Olivia.
Bingung dengan ekspresi yang Kobo ingin tunjukkan, entahlah malu ataupun dengki, Kobo langsung menutup mukanya dan menghilang di persimpangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HoloRoot - Hololive FanFiction
Fanfic⚠️ Rate 18+ ⚠️ Mengandung konten dewasa UNOFFICIAL HOLOLIVE FAN FICTION Bagaimana jika para member hololive memiliki kehidupan alternatif, kehidupan diluar menjadi idola, kehidupan yang tidak pernah terjadi sama sekali? NIKMATI !!!! - Kehidupan alte...