Cukup berbeda dari biasanya, hari ini sekolah kembali turun hujan.
Padahal belum waktunya pulang.
Padahal biasanya hujan di sekolah hanya pada pagi buta dan malam hari saja.
Olivia (yang ternyata tidak terlalu cedera) menunggu Kobo di atas brankar di ruang UKS, yang sudah dibalur hangat dengan selimut menutupi separuh badannya, balsem dan koyo di punggung dan pundaknya, atau juga salep di beberapa bagian tubuh yang berwarna ungu, hingga plester pada luka-lukanya sekalian.
Meskipun terjatuh dari antar-lantai, Kobo tetap saja didorong jatuh.
Punggung dan beberapa bagian tangannya lebam, ada juga yang terkelupas luka, tulangnya pasti ada yang mati rasa, apalagi karena ada benturan di kepalanya yang membuat Kobo langsung pingsan tak sadarkan diri begitu Olivia menangkapnya.
Menatap dengan tenang penampakan Kobo yang tertidur, Olivia memainkan jari tangannya untuk menyentuh dan mengelus pipi Kobo.
Terkadang juga rambutnya yang digunting acak-acakan.
Terkadang juga bibir lembut manisnya.
Kobo yang terlelap, sangat mirip seperti putri tidur dalam dongeng-dongeng. Terlihat sangat indah dan menawan, terlihat sangat murni tanpa dosa. Dan Olivia–mengisi peran yang kosong– memproklamirkan diri menjadi sang pangeran yang akan menciumnya.
Ahahahahahah, bisa aja aku, pikir Olivia berandai-andai.
Padahal, jika tertidur pulas seperti ini, terlihat dengan jelas betapa manisnya Kobo. Seperti seorang anak kecil, seperti seorang gadis yang tidak pernah mengenal kejamnya dunia.
Lalu, apa yang membuat Kobo harus memasang semua muka dingin tak berekspresinya?
Nyatanya, Kobo bisa untuk bahagia meski hanya karena nilai yang naik, kan?
Nyatanya, Kobo mau diajak untuk mendapatkan afeksi dari Olivia, kan?
Olivia kebingungan, sibuk memikirkan apa yang sebenarnya gadis mungil ini pikirkan dan emban di atas pundak dari tubuh kecilnya.
Olivia menarik lengan Kobo, menarik jari jemarinya, memainkannya satu persatu, menyilangkan jarinya dengan jari Kobo, mengecupnya, memegangnya dengan erat, dengan kuat, dengan niat untuk tidak dilepaskannya barang sedetik pun.
Olivia simpan tangan Kobo di pipinya, dijadikannya alas untuk bersandar, sembari masih terus menatap lamat Kobo yang mulai terlihat pergerakan dari kedua bola matanya?
"Unn..." erang Kobo mulai bangun.
Matanya terbuka perlahan, pelan-pelan sangat pelan, sambil mengerang seluruh rasa sakitnya di sekujur tubuh. Entahlah itu dari fisik di luarnya, entahlah itu tulang dan bagian dalamnya, entahlah itu mentalnya juga sekalian.
"Selamat pagi, Kobo," salam Olivia dengan begitu hangat, penuh kasih sayang, dengan masih menggenggam tangan Kobo (yang masih digunakan untuk menopang pipinya).
Seperti sebelumnya, reaksi Kobo cukup terlambat.
Apalagi karena nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
Satu detik, dua detik, tiga detik telah berlalu, Kobo masih tidak melakukan apa-apa.
Barulah setelahnya, wajah Kobo berubah menjadi merah, matanya berair, mulutnya mengatup-ngatupkan sesuatu. Wajahnya menjadi jelek, Kobo praktis mulai menangis meneteskan air mata. Mungkin juga meringis kesakitan?
Dimulai dari suara yang serak, lalu batuk tersedak namun merubah suaranya menjadi lebih ayu, lalu terdapat batuk lain dengan lebih jelas hingga merubah suara Kobo sepenuhnya menjadi suara yang selembut sutra dengan sedikit aksen-aksen cempreng yang nyaman untuk di dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HoloRoot - Hololive FanFiction
Fanfic⚠️ Rate 18+ ⚠️ Mengandung konten dewasa UNOFFICIAL HOLOLIVE FAN FICTION Bagaimana jika para member hololive memiliki kehidupan alternatif, kehidupan diluar menjadi idola, kehidupan yang tidak pernah terjadi sama sekali? NIKMATI !!!! - Kehidupan alte...