Arin membuka matanya yang terasa berat secara perlahan. Menatap samar langit-langit ruangan. Kepalanya masih terasa pusing. Kembali memejamkan mata sejenak untuk memperjelas penglihatannya yang samar itu. Kini matanya mulai melihat keadaan sekitar. Mencerna apa yang terjadi pada dirinya.
Ruangan yang terasa asing bagi Arin. Ini jelas bukan kamarnya. Dinding kamarnya berwarna ungu muda, sedangkan ruangan ini berwarna putih pucat. Detik selanjutnya, Arin malah merasakan ngilu ditangan kanannya. Ia mengangkat tangan kanannya perlahan. Disana sudah tertancap jarum infusan.
Melihat kondisi tangan kanannya, menyadarkan Arin, ia sedang berada dimana. Ia juga menyadari ada seseorang yang tertidur dengan posisi duduk di sampingnya. Kepalanya berbantalkan ranjang Arin, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan kiri Arin yang terbalut perban.
"C-chio..." Lirih Arin, mengusap kepala Chio pelan.
Chio masih tertidur pulas. Terlihat jelas bawah matanya sedikit menghitam. Apakah ia tidak tidur semalaman? pikir Arin. Kepala Arin kembali berdenyut nyeri. Mengingat jelas terakhir kali kejadian yang ia alami. Arin ingat betul, kejadian itu terjadi pada sore hari. Dan sekarang sinar matahari yang muncul disela-sela jendela, seperti sinar matahari pagi.
Arin tersadar, selama itukah ia tertidur?
"V-valenchio..." Lirihan Arin sekarang membuat Chio sedikit membuka matanya.
Chio mengedip-ngedipkan matanya. Berusaha memperjelas pandangannya melihat Arin yang sudah terbangun dari tidurnya. Menatap lekat wajah Arin yang masih sangat pucat pasi. Setelah kesadarannya kembali seutuhnya, Chio langsung menggiring kursi yang ia duduki untuk lebih dekat dengan wajah Arin. Ia mengusap kepala Arin lembut.
"Udah bangun, hmmm? Ada ngerasain sesuatu enggak? Masih ada yang sakit enggak? Apa perlu gue panggil perawat atau dokter?" Lirih Chio. Berusaha tenang padahal jauh didalam pikirannya, ingin sekali memanggil dokter untuk memastikan kondisi Arin.
Arin menggeleng pelan. "Enggak ada. Cuma ini kerasa sedikit perih." Arin sedikit mengangkat tangan kirinya yang terbalut perban tebal. Pandangan Chio turun ke arah tangan kiri Arin. Mengusap lembut luka Arin yang sudah diperban itu.
"Maafin gue..." Lirihnya kemudian.
Chio kemudian terdiam beberapa saat dengan wajah yang menunduk. Tak lama setelah itu, Arin melihat jelas air mata yang jatuh menetes ke lantai ruangan itu. Detik berikutnya terdengar isakan tangis yang sangat lirih, menggema di ruangan itu. Arin kaget. Apakah Chio merasa bersalah terhadap apa yang terjadi pada dirinya?
"Hei, kenapa nunduk? Gue gak apa apa Chio... Liat gue. Liat muka gue. Gue udah sadar. Gue udah baik-baik aja. Jadi jangan nangis lagi ya? Denger isakan lo, bikin hati gue sakit, Chio. Gue yakin, lo gak mau kan nambahin sakit gue?" Hibur Arin.
Chio pun akhirnya memberanikan diri menatap ke arah Arin dengan air mata yang berlinang. "Baik-baik gimana? Gue gak bisa jaga lo dengan baik, Rin. Gue bener-bener salah karna ninggalin lo sendiri. Gara-gara gue, lo jadi luka. Luka ditangan lo ini, lumayan dalam. Sampe lo harus dapet 10 jahitan. Gue bener-bener salah, Rin. Maafin gue hikss..." Tangis Chio pecah begitu saja.
Sepuluh jahitan? pantas saja Arin merasa kalau ia sudah tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama. Mungkin karena efek samping bius. Arin berusaha mendudukan dirinya walaupun sulit. Dengan kemampuan tangan kanannya ia mengusap kepala Chio, dan membawa kepala Chio dan dekapan dadanya. Air mata Arin pun luruh melihat Chio yang menangis.
"Chio... Please... Jangan nangis lagi ya? Gue beneran gak apa-apa. Itu cuma kejadian yang gak disengaja. Bukan salah siapa-siapa. Jadi stop nyalahin diri lo. Dengan adanya lo disini, udah cukup jadi obat buat luka gue, Chio." Jelas Arin.
Chio membalas pelukan Arin erat. Tidak hanya Chio sebagai tempat sandaran Arin, tapi Arin juga adalah tempat sandaran bagi Chio. Betapa sakitnya hati Chio melihat keadaan Arin, tetap saja hanya Arin yang bisa menenangkan hatinya itu. Dan semua itu terjadi begitu saja tanpa Chio sadari. Arin-lah pengobat luka batinnya yang sebenarnya.
Chio menumpahkan segala tangisnya dalam pelukan hangat Arin. Pelukan yang serupa dengan pelukan hangat Jeo, tapi memilik makna yang jauh berbeda. Ini kali keduanya terpaksa memperlihatkan tangisnya pada Arin, karena memang ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Dan Chio sudah tidak sanggup lagi menahannya. Pikiran seharusnya ia tidak meninggalkan Arin, terus berputar dikepalanya.
"Harusnya gue gak ninggalin lo. Harusnya gue tetep disamping lo, Rin. Padahal gue udah tau, cuma gue yang lo punya selain Ara. Tapi dengan mudahnya gue malah ninggalin lo sendiri sampai terjadi hal buruk sama lo. Gue bener-bener minta maaf, Rin. Maafin gue, Rin... Hiksss..." Batin Chio.
Arini mengelus lembut punggung Chio. Berharap isakan akan sedikit mereda dengan elusan itu. "Rin..."Lirih Chio tiba-tiba. Masih setia dipelukan Arin. Tanpa memperlihatkan wajahnya yang kacau itu.
"K-kenapa, Chio?"
"G-gue gak bisa kehilangan lo lagi. Gue gak hidup tanpa lo lagi..." Jujur Chio. Seketika tangis Arin pecah begitu saja. Tapi ia sebisa mungkin menahan isakannya agar tidak terdengar oleh Chio. Karena ia tahu, jika sampai Chio mendengar isakannya, rasa bersalah Chio akan bertambah.
Diluar ruangan itu ternyata ada Jeo yang sudah berdiri sejak Arin sadar tadi. Baru saja menyelesaikan administrasi perawatan Arin, dan ingin melihat keadaan Arin, ia malah disugukan pemandangan yang menyayat hati. Ia melihat dari balik kaca kecil yang ada di pintu ruangan.
Melihat adik kesayangannya yang terisak, ternyata membuat tembok pertahanan Jeo runtuh. Tubuhnya tiba-tiba saja lemas, dan ia memutuskan untuk duduk disalah satu bangku di luar ruangan. Teringat kejadian satu tahun yang lalu. Dimana ia harus melihat adiknya itu menangis terisak. Persis seperti sekarang.
"Aku gak bisa jagain kamu dengan baik. Aku bener-bener salah karena ninggalin kamu sendirian. Harusnya aku gak ninggalin kamu. Harusnya aku tetep ada disamping kamu, jagain kamu... Hikssss..." Ucap Chio terisak.
Jeo menghampiri adik semata wayangnya itu dan memeluknya erat. "Chiooo stop... Stopp nyisak diri lo kayak gini... Stopp Chiooo... Gue gak bisa lihat lo kayak ginii!! Gue gak bisaa hiksss..."
"Apa yang bakal dibilang mendiang Mamih Papih, kalau sampai liat keadaan lo kayak gini Chio... hiksss... Stopp Chio... Hati gue hancur liat keadaan lo kayak gini... Gue yakin dia juga bakal sedih kalau liat lo kayak gini, Chioo..."
Dada Jeo sakit. Dada Jeo sesak. Ikut merasakan kesedihannya yang dirasakan oleh Chio. Adik kecilnya yang selalu ceria dan suka menjahilinya itu, berubah seketika. Adik kecilnya yang selalu ia jaga, ternyata harus merasakan pahitnya hidup yang berjalan tidak sesuai rencana.
Jeo menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Air matanya mulai luruh. Mengingat kejadian dimana ia harus melihat keterpurukannya adiknya selama ia hidup. Rasanya ia tidak sanggup jika harus melihat kejadian itu terulang lagi. Bahkan kata-kata yang dilontarkan Chio dalam isakan sama persis dan masih terekam jelas dibenak Jeo saat itu.
Luka Chio baru saja sedikit demi sedikit sembuh. Tapi kejadian berulang ini bisa saja membuat lukanya terbuka kembali. Padahal selama ini, Jeo selalu berusaha untuk menutup luka Chio perlahan, tapi takdir Tuhan berkata lain. Walaupun kejadian ini berulang, Jeo hanya berharap keterpurukan dan kesedihan Chio saat itu tidak berulang lagi.
***
Akhir-akhir ini lagi insecure sm kelanjutan ceritanya Chio:(
Takut kalian yang suka baca, gak suka sama alur:(
Kalau boleh minta waktunya sedikit, cukup komen buat alurnya yaa...
Kalau kalian gak suka, biar bisa aku perbaiki...
Tapi kalau kalian sukaa, bakal aku lanjutinn :)))
JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENTNYA ❤️
BIAR AKU SEMANGATT ❤️
TERIMAKASIH SUDAH BACA ❤️
SEMOGA SEHAT DAN BAHAGIA SELALU ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERFECTIONIST BOYFRIEND [TERBIT]
Teen Fiction[Beberapa part sudah dihapus] [Visual : Mashiho & Kyujin Nmixx] Kehidupan cinta remaja indah yang dibayangkan oleh Arin ternyata tidak berjalan mulus. Bukannya berlayar dengan cinta pertamanya-Yovan, Arin malah harus bertemu dan selalu berurusan den...