49. Kalut

61 11 0
                                    

Ketakutan Arin akhirnya menjadi kenyataan. Sejak awal hatinya ragu untuk melakukan hal ini. Namun pikirannya terus menyakinkan bahwa hal ini adalah hal yang benar. Selagi memiliki niat yang baik. Ternyata tidak semua niat bisa tersampaikan dengan baik.

Hatinya hancur saat mendengar bentakan dari orang yang selama ini selalu berkata lembut padanya. Hatinya remuk kala melihat tatapan amarah dari orang yang selama ini selalu menatapnya hangat. Boomerang itu menancap tepat di hatinya Arin.

Ia menatap kosong punggung Chio yang melangkah pergi. Pikirannya kacau. Air matanya mengalir deras. Rumahnya kini menolak kehadiran penghuninya. Namun, biar bagaimana pun itu tetap rumahnya. Arin tidak mau kehilangan rumahnya lagi. Ia harus memperjuangkan rumahnya. Ia berlari sekuat tenaga mengejar Chio. Tidak menggubris Ara yang memanggilnya.

"CHIO!" Teriak Arin yang berhasil membuat langkah cepat Chio terhenti. Tapi Chio tidak membalikkan badannya.

"Hikss... Maaf Chio... Maafin aku... Aku dan Ara cuma berniat buat kasih waktu buat kamu dan Yovan untuk nyelesain masalah diantara kalian... Maaf juga aku udah bohong tentang semua..." Jelas Arin sambil menangis.

Chio membalikkan badannya. Kemudian mendekat ke arah Arin. "LO! LO TAU GAK SEBERAPA GUE BENCI SAMA SI BERENGSEK ITU!" Bentak Chio.

Tubuh Arin melemas. Bibirnya bergetar karena takut. Air matanya masih tetap mengalir. Dari pertama kali bertemu Chio, ini kali pertama Chio membentaknya sampai seperti ini. Chio memegang dahinya sendiri. Pikirannya kacau.

Kemudian ia tertawa. "LO SAMPAI KAPANPUN GAK AKAN PERNAH NGERTI RASA BENCI GUE! GUE KIRA LO UDAH PAHAM, RIN! TAPI LO MALAH NGERENCANAIN HAL KEKANAK-KANAKAN KAYAK GINI! GUE KECEWA RIN!" Lanjut Chio.

"GIMANA CARA GUE BISA PAHAM, KALAU LO GAK PERNAH CERITA?!" Kini Arin membela diri. Ia tahu apa yang dilakukannya salah. Tapi perkataan Chio membuat dirinya seakan menjadi pasangan yang tidak berguna karena tidak mengetahui apa-apa.

Chio membuang nafas gusar. Pikirannya benar-benar kalut. "KARNA GAK SEMUA CERITA BISA GUE CERITAIN KE LO, RIN!" Bentak Chio sekali lagi.

Ada setitik rasa kecewa di hati Arin. Kenapa Chio tidak bisa menceritakan semuanya? Cerita apa yang tidak bisa diketahui oleh Arin? Lantas apakah statusnya sebagai pacar belum cukup untuk membuat Chio menceritakan semua masa lalunya? Arin benar-benar tidak percaya.

Namun, ia tetap berusaha untuk berpikir jernih. Keinginan untuk meluruskan kesalahpahaman ini lebih besar daripada rasa kecewanya. Arin ingin mengalah. Tidak ingin membela diri lagi dengan bentakan. Karena permintaan maaf ini lebih berharga, demi bisa pulang lagi ke 'rumah' nya yang nyaman itu.

Arin kemudian memeluk Chio sambil terus menangis. Tidak peduli dengan orang-orang yang sedang menonton pertengkaran mereka. Harapnya, semoga ini bisa meluluhkan hati Chio yang sedang emosi. Semoga pelukan ini bisa mengembalikan orang yang menjadi tempat bersandarnya itu.

Harapan Arin pupus, kala ia menyadari lengan Chio yang masih diam di tempatnya. Sama sekali tidak membalas pelukan itu. Bahkan Chio berusaha melepaskan pelukan Arin secara perlahan. "Aku gak bisa, Rin. Aku butuh waktu. Maaf belum bisa cerita semuanya. Tolong jaga diri kamu baik-baik." Kalimat terakhir yang Chio katakan sebelum ia pergi meninggalkan Arin begitu saja.

Rasanya Chio belum bisa memaafkan Arin secepat itu. Ia juga tidak bisa percaya, kalau orang yang ia sayangi malah membuat rencana untuk bertemu dengan orang yang paling ia benci. Lebih baik Chio pergi dan menenangkan diri, daripada ia terus mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti Arin.

Lutut Arin melemas. Tubuhnya ambruk. Hatinya sakit kala Chio terus melangkah menjauh dan tidak memalingkan wajah sedikit pun. "Hiksss.... Chio.... Jangann tinggalin gue, Chio... Hiksss... Gue gak mau sendirian lagi, Chio..." Monolog Arin terisak dengan tubuh yang sudah terjatuh di tanah.

Akhirnya Ara menemukan Arin, setelah ia berkeliling cukup lama untuk mencari Arin. Ia langsung menghampiri Arin yang terisak itu. Ara memeluk Arin erat. Tangannya meraih punggung Arin. Mengelusnya perlahan supaya isakannya usai.

"C-chio k-kemana, Rin?"

"Raaa... Hiksss... Chioo pergiii, Raa... Gue gak kuat, Raa... Sakit banget rasanyaa... Chio marahh sama gue, Ra... Chio ninggalin gue, Raa..."

"G-gue minta maaf, Rin..." Ucap Ara gagap. Ia sadar betul, jika bukan karena idenya, Arin dan Chio tidak akan begini.

Yovan yang juga ada disana, ikut mengelus punggung Arin. Miris melihat Arin yang begitu terpukul dengan amarah Chio. "Chio, pergi kemana, Rin? Biar gue kerjar ya? Biar gue yang jelasin semuanya ya? Supaya gak ada salah paham lagi diantara kalian." Bujuk Yovan.

Saat ingin melangkah pergi, lengan Yovan di tarik oleh Arin. "Biarin dia nenangin diri."

***

Arin pulang ke apartemen diantar oleh Ara dan Yovan. Ara menawarkan diri untuk menemani, tapi Arin menolak dengan alasan ia butuh waktu sendiri dan untuk merenungi semuanya. Ara menghargai segala keputusan Arin, dengan catatan jika terjadi sesuatu, Arin harus segera menghubungi Ara atau Yovan.

Arin terduduk diranjang yang ada dikamarnya. Menghadap langsung ke arah cermin. Menampilkan matanya yang bengkak dan merah. Wajar saja, Arin baru saja selesai menangis dan merasa tenang. Nafasnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Walau hatinya masih sakit.

Arin kemudian membaringkan tubuhnya. Lalu menghadapkan ke sebelah kanan. Melihat langsung langit dijendela. Langit itu mendung. Seakan sejalan dengan perasaan hati Arin saat ini. Bahkan semesta pun menyadari ada salah satu mahluknya yang sedang patah hati.

Arin meraih figura diatas nakas. Foto yang memperlihatkan dirinya saat masih kecil bersama mendiang Papihnya. Cukup lama Arin menatapi foto itu dalam diam. "Pih, gimana kabarnya Papih disana? Rasanya Arin udah lama banget ya gak liatin foto kita. Rasanya Arin udah lama banget gak ngobrol sama Papih." Monolog Arin.

"Hari ini kayaknya Arin butuh Papih buat nemenin Arin, Pih. Sebentar lagi Arin kayaknya bakal balik lagi ngejalanin hidup Arin yang tanpa warna, Pih. Arin udah bikin orang yang kasih warna di hidup Arin, kecewa. Arin bodoh banget ya, Pih? Arin bego banget." Lanjut Arin. Air matanya sudah mulai mengalir lagi. 

"Kayaknya situasinya udah berubah, Pih. Mau Arin minta maaf seribu kali pun, semuanya gak akan balik normal lagi, Pih. Arin takut, Pih. Takut sendirian lagi kayak dulu, Pih. Arin takut kesepian lagi. Arin bingung harus ngapain sekarang, Pih. Rasanya Arin masih belum bisa minta maaf lagi ke Chio, Pih. Chio pasti bakal nolak permintaan maaf Arin kayak tadi, Pih." 

"Tapi Papih jangan khawatir ya? Arin akan berusaha jadi gadis yang kuat seperti pesan Papih. Arin bakal berhenti kalau memang harus berhenti dan Arin bakal berjuang kalau harus berjuang, Pih. Arin cuma mau curhat aja ke Papih, karena pikiran Arin lagi kalut banget. Kalau udah cerita ke Papih, rasanya Arin punya kekuatan lagi untuk hadapi semuanya, Pih."

Arin menangis sambil memeluk figura itu. Tubuhnya meringkuk. Dinginnya apartemen yang sepi terasa kembali menyelimutinya. Dunianya terasa hancur karena harus menghadapi hal seperti ini. Entah kenapa pikirannya terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi pada hubungannya dengan Chio.

Arin takut. Takut Chio meninggalkannya sendiri. Takut Chio tidak bisa menjadi rumahnya lagi. Takut Chio tidak bisa menjadi tempatnya bersandar lagi. Takut Chio tidak bisa menerimanya lagi. Takut Chio tidak bisa menjadi semestanya lagi. Sungguh, setakut itu Arin sekarang.

"Maaf... Maafin aku, Chio... Cuma kata maaf yang bisa aku ucapin... Tolong jangan pergi... Aku benci kalau harus sendirian lagi, Chio..."

***

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENTNYA ❤️

BIAR AKU SEMANGATT ❤️

TERIMAKASIH SUDAH BACA ❤️

SEMOGA SEHAT DAN BAHAGIA SELALU ❤️



MY PERFECTIONIST BOYFRIEND [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang