Part 23

1.5K 136 4
                                    

Dini hari ini angin bertiup kencang. Suara menggerisik daun yang saling bertubruk karena ulah sang angin terdengar jelas. Ibunyanya Fort buru-buru memasuki rumah anaknya, yang meskipun jarang ia kunKiti tapi sudah ia hapal betul. Membaringkan Alex dengan hati-hati di ranjang kamar tidur, disusul oleh Fort yang melakukan hal yang sama kepada Peat di samping Alex.

Seharusnya mereka bermalam satu hari lagi di Chiang mai. Namun saat Fort mendapat panggilan dari Ploy, dimana kakak dari Peat itu berbicara sambil terisak. Fort langsung bergegas kembali ke Bangkok.

Ibunyanya Peat kritis. Ploy sengaja mengabari Fort dari pada Peat, agar anak itu tidak panik dan menyalahkan diri sendiri. Maka dari itu, Fort beralasan memiliki pekerjaan yang genting dan harus cepat diselesaikan saat Peat bertanya, mengapa tiba-tiba sekali pulang ke Bangkok.

Dengan perjalanan hampir empat jam yang ditempuh menggunakan mobil yang dikendarai oleh paman Kit. Fort, Peat, Alex serta Ibunyanya Fort sampai di Bangkok saat hampir tepat jam satu pagi.

"Mae, aku titip mereka." Bisik Fort, takut tidur Peat dan Alex terganggu.

"Apa benar tidak apa-apa Peat belum mengetahuinya?" Tanya Ibunya Fort dengan suara yang lebih pelan.

Fort mengangguk lesu, "Phinya Peat yang berpesan padaku kalau Peat jangan sampai tahu masalah ini dulu." Jawabnya.

Tungkainya bergerak ke meja kerja yang terletak di sudut kamar, mencari kunci mobil yang seingatnya ia letakan di laci meja.

"Aku berangkat Mae." Ujar Fort sambil membenarkan kembali jaket kulitnya.

"Hati-hati.." Balas Ibunya Fort pelan. Setelah menutup pintu kamar, Fort dengan sedikit berlari menuju garasi, seorang lelaki paruh baya yang bertugas untuk membuka gerbang rumah Fort saja sampai terheran, melihat majikannya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Bahkan setelah sampai di rumah sakit pun, Fort tidak memelankan langkahnya. Dengan cepat ia berjalan menuju ruangan yang sudah diberi tahu Boss. Teman karibnya terlihat sedang bersedekap sambil bersandar di lorong rumah sakit.

"Boss!" Panggil Fort dengan napas terengah. "Bagaimana?"

"Aku sudah melakukan sesuai yang kau suruh," Ujar Boss. Ia membenarkan hoodie abu-abu yang ia kenakan secara asal saat Fort menghubunginya dengan tiba-tiba.

"Tetap dengan alasan semua ditanggung oleh perusahaan. Sepertinya kau harus cepat-cepat menjelaskan semua ini pada Tuan Naowarat," Jelas Boss.

Fort mengangguk. Boss memberikan tepukan penyemangat di bahu kanan Fort sambil berlalu pergi.

"Jangan takut, cinta itu butuh keberanian. Kalian sudah saling menggenggam. Maka, berpeganglah erat-erat. Jika satu melepas, belum tentu ia akan kembali lagi." Kata tiap kata yang diucapkan Boss terngiang terus di kepala Fort, bahkan suara gema dari derap langkah kaki Boss pun masih bisa ia dengar dengan jelas. Meski, ia sudah berdiri di depan ruangan selama hampir lima belas menit.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kepulan uap hangat terlihat samar-samar mengepul di permukaan kopi. Keduanya masih terdiam, saling berhadapan. Terpisah dengan meja bundar berwarna putih, khas kantin rumah sakit.

"Sungguh.. saya tidak tahu mesti bagaimana lagi untuk membalas kebaikan anda Tuan Fort.." Pria paruh baya yang menundukan kepala, memulai percakapan. Sedangkan bos muda di hadapannya menampilkan raut khawatir yang mendalam, saat melihat sosok pria yang selama ini menjadi kekuatan bagi kekasih hatinya, terlihat sangat rapuh.

My kid Babysitter is My LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang