Bima kali ini sedang ada di kamarnya, melihat gaun Anin yang dipajang di dekat lemarinya. Menikah dengan Anin adalah keinginan yang dari dulu Bima inginkan. Saat dia meminta restu kepada orangtua Anin, memang tidak melibatkan keluarga yang lain. Orangtua wanita itu juga mengatakan kalua dulu sangat keberatan tentang keberadaan Cassandra. Sampai pernah mengusir Anin saking bencinya kepada wanita itu karena hamil di luar nikah.
Tapi, Bima sadari kalau orangtua Anin juga begitu peduli. Masih mau lanjutkan pendidikan Anin yang sempat putus kala itu.
Memasukkan kedua tangannya di saku celana, melihat gaun yang sangat indah ini. Terharu saat dia dan Anin pergi ke pembuatan Gaun dan besok adalah hari sakralnya.
Anin masuk ke kamarnya. "Kamu ngapain?"
Bima berbalik saat dia melihat calon istrinya dari pantulan cermin. Wanita itu mendekatinya. "Aku cuman lihat gaun kamu."
"Nggak puas ya dilihat cuman sekali?"
Bima menggelengkan kepalanya. Merasa kalau dia tidak akan pernah puas melihat gaun seindah ini. Pernikahan yang didambakan bisa terwujud sekarang. Anin tersenyum saat mendekatinya. Wanita itu menyentuh gaun yang ada di depan Bima. "Masih nggak nyangka kalau kita bakalan nikah, Nin."
Wanita itu tersenyum, menyentuh bagian lengan gaun itu sambil menatap Bima. "Bim, bagaimana perasaan kamu waktu Papa aku tanya tentang kamu sanggup atau nggak biayai aku sama Cassandra?"
Sambil mendekati Anin untuk menyentuh tangan wanita itu. Tidak ada perasaan aneh sama sekali bagi Bima ketika mendengar pertanyaan dari orangtuanya Anin pada saat lamaran. Baginya, semua itu adalah hal yang mungkin saja dinantikan oleh orangtuanya Anin. "Hmm, aku nggak pernah ngerasa keberatan."
"Tapi nggak etis kalau tanya soal gaji, kan?"
"Orangtuamu sudah bantu pendidikan kamu. Meskipun kamu melahirkan Cassandra, mereka tetap utamakan pendidikan kamu. Mengenai pekerjaan kamu juga bisa dikatakan itu sudah sukses. Wajar Papa sama Mama kamu tanyakan kemampuan finansial aku. Karena aku akan hidupi kamu sama anak kita."
Kali ini Anin hanya terdiam, kalimat yang keluar dari mulut Bima bukan sekadar ucapan manis semata. Semua itu juga sudah dipikirkan matang-matang oleh Bima. Bahwa dirinya memang sudah seharusnya ditanya seperti itu oleh orangtuanya Anin. Tidak ada yang salah kalau soal pertanyaan demikian.
Lamaran waktu itu, tidak ada anggota keluarga lain. Hanya ada orangtua Bima, juga orangtua Anin yang bertemu. Juga bersama dua anak yang ikut menghadirinya.
Pernikahan ini bukan suatu hal yang disengaja oleh Bima untuk masa lalunya. Semua dilakukan atas dasar cinta yang belum selesai dengan Anin. Perasaan yang dirasanya harus tetap dilanjutkan untuk Anin.
Kalau saja dia menyerah, mana mungkin pernikahan ini akan terjadi. "Bima."
"Ya?"
Anin mendekat kemudian memeluknya. Wanita ini sangat kuat, hidup tanpa Bima selama belasan tahun untuk menghidupi Cassandra. Bima mencium kepala Anin sembari mengusap punggungnya. "Ayo keluar dari sini, Nin! Nggak enak di kamar berduaan. Saddam bisa hajar aku kalau kita lakuin lagi di luar nikah."
Anin tertawa dan melepaskan pelukan itu. Tapi saat mereka berdua berbalik. Cassandra ada di ambang pintu. "Tahan diri, Papa!"
Bima tertawa melihat kehadiran anaknya ada di sana. Saat dia menggandeng tangan Anin keluar. Cassandra juga tersenyum padanya. "Kenapa tiba-tiba nongol di sini?"
"Nggak ada. Tadi pintu kamar Papa kebuka aja. Aku langsung ke sini."
Bima dengan gemas merangkul putri kesayangannya. Cassandra juga langsung memeluk Bima. "Papa, bulan madu ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kado Untuk Cassandra
Teen Fiction"Anak haram dan anak broken home kan nggak ada bedanya. Sama-sama nggak terdidik." Arsyila menertawakan Cassandra yang tidak pernah bertemu dengan ayahnya sedari bayi. Sementara nasib Saddam adalah anak brokenhome jadi sasaran empuk gadis itu untuk...