36. Untuk Selamanya

307 49 10
                                    


Perjuangan Cassandra dalam meminta maaf kepada Saddam membuat Anin merasa lucu. Beberapa kali anak lelaki itu ngambek dan tidak mau memaafkan kesalahan Cassandra. Tapi segala cara dilakukan oleh anaknya demi mendapatkan maaf. Mulai dari mencucikan baju untuk Saddam, atau membuatkan bekal makan siang.

Kadang juga membeli tiket untuk menonton. Sementara tidak ada satu pun yang membuat Saddam bisa luluh oleh semua usaha itu. Cassandra yang menangis dan mengeluh pada Bima. Pria itu juga tidak lagi membela anaknya usai Anin mengamuk seperti waktu itu. Bima pasti sudah jera karena tidak diizinkan tidur di kamar oleh kelakuannya yang membela anak mereka yang salah. Sekarang, pria itu juga sudah mulai bersikap tegas.

Anin duduk sambil menyuapi anak mereka. Pasalnya, tiga bulan Saddam masih ngambek dan tidak peduli dengan Cassandra. Memang benar kata Bima, kalau Saddam itu sebenarnya anak baik. Dia pemaaf, tapi jangan dibuat sampai marah seperti ini.

Kalau dia lihat anaknya yang melakukan segala cara, Anin hanya bisa menggeleng melihat anaknya ditolak. Mereka memang sering bertemu. Tapi tidak dengan bertegur sapa. Makan pun, Saddam akan mengambil makanan. Langsung menghilang ke kamarnya. Sampai Rifky juga heran dengan tingkah anak keduanya.

Ia mencium aroma masakan ketika sedang menyuapi anaknya. Lalu asisten sedang lewat dan membawa peralatan bersih-bersih. "Siapa yang masak, Bi?"

"Oh, itu Cassandra. Mau masak buat Om dia."

Panggilan Cassandra terdengar santai tanpa embel-embel 'nona' dari para asisten. Karena itu adalah permintaan Anin. Agar bisa akrab juga dengan para Asistennya.

Anin masih sibuk menyuapi kedua anaknya. Lalu saat dia sedang duduk. Saddam menghampiri dan duduk di sebelahnya. "Masih marah sama dia?"

"Nggak, biarin aja dia gitu. Biar dia terbiasa lakuin apa-apa sendiri. Biar nggak ringan mulutnya nyuruh-nyuruh Bibi. Apa-apa sekarang minta diladeni."

Kali ini, dia akan berada di pihak adik iparnya. "Kamu beneran nggak marah?"

"Nggak, Kak. Udah reda marahnya beberapa bulan lalu. Tapi kemarin-kemarin dia nyuruh Bibi setrika ini itu. Terus aku kasih syarat, kalau dia bisa hidup mandiri, masak sendiri, cuci bajunya sendiri dan beresin kamar sendiri. Aku bakalan damai. Tuh sekarang lagi masak buat makan siang kita. Anak perempuan, kelakuan kayak laki-laki."

Anin menahan tawanya ketika mendengar ucapan adik iparnya. Lalu Malik dipangku oleh Saddam. "Kakak kira kamu masih marah sejak kejadian itu."

"Nggak kok. Tapi mau lihat gimana dia berusaha untuk hidup mandiri aja. Biar dia terbiasa, karena dari dulu kan Kakak selalu manjain dia. Apa-apa dia tahunya ada di atas meja kalau lapar. Bajunya udah rapi di lemari. Sekarang biarin dia kayak gini. Aku tahu tugas ART kayak apa, nyuci dan apa-apa memang tugas mereka. Tapi aku kayak kurang aja kalau misal Cassandra nggak bisa apa-apa. Dia akan menikah suatu saat nanti. Ya kalau Papanya modelan kakak aku, dia bisa rebahan, kakakku juga nggak pernah marah. Tapi kalau mertuanya ikut campur gimana?"

"Dasar, kamu mikirnya kejauhan."

"Tapi emang begitu, aku selalu mikir gimana dia nanti keluar dari sini. Yang penting, aku cuman mau dia hidup mandiri. Begitu dia punya kesalahan sama aku, ada cara bikin dia nurut sama hukuman. Kakak tahu sendiri, bertengkar aku bukan adu mulut sama dia. Tapi adu jotos, setidaknya dia lembut dikit."

Anin tahu kalau anaknya memang seperti itu. Karena Cassandra memang tumbuh di lingkungan yang pernah menyakiti hatinya karena tindakan bully. Meskipun begitu, dia juga tahu bagaimana cara mendidik anaknya. Ditambah lagi dengan bantuannya Saddam.

Merasa terbantu dengan hukuman ini. Cassandra juga sering siapkan makan malam untuk mereka. "Syukurlah kamu mikirnya bagus banget, Saddam."

Saddam berdiri dan hendak menggendong ke tempat lain. Nadeena menangisinya. "Kan, satunya nangis."

Kado Untuk CassandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang