Kamu homophobic? Cerita ini bukan buat kamu.
Disclaimer ⚠️ BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya.
"Ci...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue udah muak. Bener-bener capek sama semua kebohongan dan pura-pura yang terus gue jalanin. Jadi hari ini, gue putuskan buat nekat aja.
Gue mau hire lonte!
Di rumah, gue selalu menjadi anak yang patuh, menutupi identitas sejati gue demi memenuhi harapan keluarga. Di kampus, gue berperan sebagai mahasiswa yang berusaha tampil 'normal', menyembunyikan sisi diri gue yang paling mendasar. Teman-teman dekat gue pun tidak tahu siapa gue sebenarnya. Menyakitkan, rasanya seperti terjebak dalam kehidupan yang bukan milik gue sendiri.
Gue mau ngerasain gimana rasanya hidup tanpa batasan, sekali aja dalam hidup gue. Semua aturan dan batasan bikin gue tersiksa. Gue pengen lepas, pengen ngerasain apa artinya jadi diri gue sendiri, walau cuma sebentar.
Ketika gue pertama kali melihat Pak Brengos di depan rumah kos yang sederhana itu, hati gue langsung goyah. Badan kekarnya dengan otot besar yang berbaris rapi terlihat mencolok saat dia mengangkat barbel buatan dari pipa besi tua dan batu bata. Setiap gerakan yang dia buat menunjukkan kekuatan dan ketekunan luar biasa yang jarang gue temuin. Gue nggak bisa memalingkan mata dari sosoknya yang begitu nyata dan nggak basa-basi, langsung bikin hati gue campur aduk antara kagum, takut, dan berdebar.
Mendekat ke Pak Brengos adalah ujian tersendiri. Di satu sisi, gue tergoda dengan otot-otot kuatnya dan aura maskulinitas yang kuat. Namun di sisi lain, rasa takut gue terhadap bahaya dan penolakan membuat gue hampir mundur. Tapi rasa penasaran gue lebih besar daripada ketakutan itu.
"Nopo, Mas?" Suara berat Pak Brengos mengejutkan gue dari lamunan. Dia meletakkan barbel buatannya, melambaikan tangan di depan wajah gue. Gue tersadar, malu karena ketahuan memperhatikannya terlalu lama.
"Hehe, nggak, Pak. Kenalkan saya Ari...Emmm... bapak ini... Pak Brengos, ya?" Gue mencoba menyunggingkan senyum, meski gue tahu wajah gue merah karena gugup. Tatapannya yang tajam dari balik jenggot tebalnya bikin dia kelihatan seram, tapi gue merasa ada sesuatu yang ramah di balik mata itu. Rasanya seperti disinari sinar matahari hangat yang mengusir keraguan, meski penampilannya intimidating. Tatapan itu membuat gue merasa nyaman dan bikin jantung gue berdetak makin kencang.
"Iyo, Mas, bener," jawabnya dengan logat Jawa yang kental, tersenyum ramah. Suaranya lembut dan hangat, langsung menenangkan keraguan gue.
Gue merasakan keringat dingin di pelipis saat mencoba mengumpulkan keberanian. Suara gue gemetar, "Ah... ya... Jadi, saya itu denger dari temen saya, kalau Pak Brengos bisa ngasih... jasa gitu," gue ngomong sambil jantung gue berdegup kencang, masih terpesona oleh tubuhnya yang kekar. Keringatnya menetes di dahi dan lehernya, terus turun membasahi otot-ototnya yang tegang. Rasanya kayak seluruh perhatian gue tertarik oleh kehadirannya.
Pak Brengos tampak bingung, menggaruk-garuk kepala. "Lho, jasa nopo, Mas? Aku iki mung kuli."
Gue menarik napas dalam-dalam dan mencoba tetap tenang, meskipun jantung gue rasanya mau meledak. "Ah, iya, Pak, ...tapi jangan marah ya, Pak, gue cuma denger-denger aja dari teman saya, kalau di sini bisa..." gue berusaha bicara dengan suara yang stabil, tapi keringat dingin udah bikin kemeja gue lembap, "...karaoke?"