Chapter 30 Epilog. Cahaya Dalam Kegelapan

2.6K 70 40
                                    

Langit malam Kliwon Ireng menghiasi Jakarta dengan cahaya perak, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Gemerlap lampu kota dari jarak jauh, seperti permadani bintang yang menyebar, bercahaya dengan harapan, impian, dan kenangan masa lalu. Dalam kerlap-kerlip tersebut, gue dan Pak Brengos berdiri, tepat di rooftop yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang kisah kami.

Angin malam yang dingin berbisik, menusuk tulang, namun tiba-tiba gue merasakan hembusan hangat yang melingkari tubuh. Bang Boas dengan otot-otot yang besar perkasa, memeluk gue dari belakang. Terasa seperti sebuah perisai yang melindungi dan menghangatkan.

Di sekeliling kami, Adi bersama dengan tujuh adik-adiknya yang tak kalah gagah; Bimo, Bagus, Bayu, Budi, Bromo, Brata, dan Benua, berdiri dengan postur tegap dan penuh wibawa, mencerminkan keturunan Pak Brengos yang memang dikenal memiliki garis keturunan pria-pria perkasa.

Pak Brengos menekankan kepada anak-anaknya bahwa cinta tak mengenal batas dan bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan perasaannya tanpa rasa takut. Ia memandu mereka untuk melihat hubungan gue dengan Bang Boas bergender sama sebagai hubungan dua insan yang saling mencintai dan menghargai.

Anak-anak Pak Brengos menunjukkan rasa menerima dan bahkan menjadi teman baik bagi kami. Gue dan Bang Boas bisa bebas menunjukkan rasa sayang kami di depan mereka tanpa rasa khawatir atau takut mendapatkan tatapan aneh. Di mata mereka, kami sama seperti pasangan lainnya yang saling mencintai.

Tapi nggak semua hal bisa kami buka kepada anak-anak Pak Brengos, tidak untuk saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi nggak semua hal bisa kami buka kepada anak-anak Pak Brengos, tidak untuk saat ini.

Bukan hanya operasional pekerjaan saja yang harus kami sembunyikan di basement dungeon, tapi bagaimana gue dan Bang Boas bersikap kepada Pak Brengos harus kami jaga juga.

Berat memang menahan diri, tapi menurut gue, itu hanya harga kecil yang harus dibayar untuk rasa kehangatan dan kekeluargaan yang kini memenuhi kediaman kami.

Sejujurnya, Bang Boas dan gue memiliki sisi petualang yang kuat. Kami malah menemukan kesenangan tersendiri dalam permainan 'kucing-kucingan', di mana adrenalin menjadi bumbu penyedap yang menambah keintiman kami. 

Seperti suatu sore ketika kami memutuskan untuk berenang bersama. Saat itu, Bang Boas dengan sengaja mengalihkan perhatian kedelapan binaragawan muda itu, memungkinkan Pak Brengos untuk colongan menyelam dan menyepong gue sampe crot.

Bahkan kami terus menguji batasan-batasan mana yang bisa diterima mereka tepat di depan mata mereka sendiri.

Suatu kali, ketika kurang berhati-hati anak-anaknya sempat memergoki gue sedang menunggangi Pak Brengos yang merangkak.

Dengan mata terbelalak Pak Brengos berusaha menjawab, "B..Bos Ari Sayang sedang membantu bapak ....."

Gue cepat-cepat menimpali, "...Ini metode baru, untuk melatih otot bagian tubuh bagian atas seperti otot dorsal, otot bahu, dan otot trapezius. Selain itu, otot inti seperti otot perut juga akan terlibat untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh selama gerakan,"

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang