Chapter 27 Dikurung Istri

2.2K 70 25
                                    

Kehilangan Pak Brengos selama dua tahun meninggalkan lubang dalam jiwa gue yang begitu dalam. Walau gue nggak pernah mengakui hal ini ke Bang Boas, sepertinya dia menyadari hal ini, kini dengan lembut pria yang selalu di sisi gue itu memeluk gue dari belakang.

Gue merasa terjepit di antara dua dinding hangat, dan berotot. 

Di sisi belakang, Bang Boas dengan pelukannya yang kuat dan penuh kasih, menekan gue dengan dada bidangnya yang berotot. Sementara itu, dari depan, Pak Brengos dengan erat memeluk gue, seakan memberikan keamanan.

Gue bisa merasakan denyut jantung mereka berdua, seirama dengan denyut jantung gue.

Ombak kenangan membawa gue kembali ke masa lalu, mengingatkan gue pada saat-saat indah yang pernah gue alami bersama mereka. Sebuah momen yang sulit gue gambarkan dengan kata-kata, namun gue yakin, ini adalah salah satu momen terindah dalam hidup gue.

Namun, momen itu tidak bisa berlangsung selamanya. Bang Boas perlahan melepaskan pelukannya dan berdiri tegak. Ia menatap kami berdua dengan pandangan penuh makna.

"Gue akan mengurus kamar buat anak-anak Pak Brengos di sayap barat mansion kita," ucapnya dengan suara yang lembut namun penuh otoritas. Gue tahu, dibalik semua ini, ada rencana besar yang telah ia susun dengan matang. "Nanti gue pastikan mereka nyaman di sana."

"Terima kasih Bos Boas," kata Pak Brengos.

"Pak Breng, titip Ari ya." Dengan pesan itu, ia pun pergi dengan benih gue yang masih tersumpal dalam liangnya,

Pak Brengos, dengan kekuatan dan kelembutan yang sama, mengangkat gue dan membawa gue ke tempat tidur. 

Dia berbaring di samping gue, menghunjamkan diri dalam genggaman emosi kita berdua. Campuran antara sakit, lega, rindu, dan cinta yang sulit diartikulasikan, namun begitu nyata dan begitu kuat hingga terasa oleh setiap serat tubuh kami.

Ada yang berbeda dengan penampilannya. 

Seragam satpamnya tampak begitu sempit, seolah-olah menahan tenaga superhuman di dalamnya. Gue hampir tak percaya, bagaimana seragam itu mampu menahan otot-otot Pak Brengos yang begitu kuat dan besar.

Perlahan, gue meraih tangan Pak Brengos yang besar dan keras. Jemari gue menelusuri setiap kontur otot di lengannya. Rasanya seperti menyentuh patung marmer yang telah diukir dengan sempurna oleh seorang seniman hebat. Kancing-kancing yang tersemat seolah hampir menyerah, tak kuasa menahan limpahan masa otot di baliknya.

"K..Kamu beneran Pak Brengos kan?" gue tanya dengan suara yang gemetar, berusaha mencari kepastian.

"Iya, Mas Sayang, ini Bapak Nak!" balas Pak Brengos dengan suara dalam.

Gue menarik napas panjang, berusaha meredakan getaran dalam tubuh gue. "I..ini bukan mimpi kan?" gumam gue, berharap bahwa apa yang gue lihat di depan mata ini bukanlah halusinasi.

Pak Brengos, dengan mata yang menatap intens, menjawab, "Ini Bapak, Nak, dalam darah dan daging!" Ia mengambil tangan gue dan meletakannya di otot dadanya kirinya.

Di bawah jemari kurus gue, jantungnya berdegup, nyata. Hidup.

Emosi campur aduk dalam dada gue—rindu, kebingungan, kemarahan dan perasaan-perasaan lain yang tak bisa gue jelaskan.

"Apa?.. Gimana?... Bapak kemana aja selama ini?!" gue tanya dengan suara bergetar, dengan nada suara lebih tinggi dari seharusnya.

Ia menarik napas dalam, matanya basah, seolah menahan air mata yang ingin jatuh. "Bapak akan menjelaskan semuanya, Nak," katanya dengan lembut.

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang