Chapter 13 Sakiti Saya

4.2K 88 12
                                    

"Hai, Brengky! Kau siap menjadi kuda kesayangan Kiki?" Kiki bertanya dengan suara yang bersemangat. Ia tak sabar ingin segera memulai adegan pony play-nya.

Pak Brengos, tampak bingung dan terheran-heran, tapi seketika itu juga wajahnya berubah menjadi penuh tekad. Ia berlutut di lantai dan menunggu Kiki naik ke punggungnya.

Kiki lalu dengan susah payah memanjat tubuh Pak Brengos dan menempatkan diri di atas punggung Pak Brengos. Tubuh Kiki yang gendut menggantung di atas otot-otot kekar Pak Brengos. Ada kepuasan di wajah Kiki, tapi juga ada ketegangan di wajah Pak Brengos.

Lutut Pak Brengos menekan lantai yang dingin, otot-otot di punggungnya membentuk rangkaian bukit dan lembah kekar menahan seluruh berat tubuh Kiki yang seberat gajah bunting, paha melingkar di sekitar Brengos seperti ular piton yang membelit mangsa.

Sambil berteriak, Pak Brengos dengan kekuatan menakjubkan mulai berdiri. Seluruh ototnya berkontraksi maksimal.

Gue bisa melihat pancaran takjub di mata Kiki.

"Lari, Breng!" teriak Kiki dengan suara yang mengejutkan. Suaranya menggema di ruangan sempit itu, membuat gue terperanjat.

Dengan gerakan yang berat dan penuh tenaga, Pak Brengos mulai bergerak. Kedua lututnya yang kokoh seperti tiang penyangga mulai mengangkat tubuhnya dari lantai, sementara otot-otot di kakinya berkontraksi kuat. Pak Brengos berlari-lari kecil di sekitar ruangan, memperlihatkan kekuatan dan stamina yang luar biasa dalam menahan beban tubuh Kiki.

Sementara itu, Kiki tampak sangat menikmati permainan ini. Wajahnya memerah dan matanya bersinar penuh dengan kegembiraan. Ia tertawa terbahak-bahak, menikmati setiap detik saat ia menunggangi Pak Brengos.

Dan gue menyaksikan itu, merasa seolah-olah ditusuk oleh seribu jarum. Bener-bener konyol. Ini udah resiko pekerjaan kan.

Gue udah mempersiapkan mental, tapi tetap saja melihat Pak Brengos dan Kiki bersama, membuat hati gue rasanya seperti teriris.

"OK, kalau begitu, aku tinggalkan kalian berdua ya?" kata gue, dengan nada setenang yang gue bisa.

Kiki tidak memperdulikan gue.

Gue segera meninggalkan mereka, menunggu di kamar tidur yang kosong, gue nggak mampu berada disana melihat Pak Brengos melayani Kiki.

Langkah gue berat, suara detak jantung bergema di telinga gue. Setiap kali suara itu menghantam dinding jantung gue, gue merasa seolah-olah gue sedang dipukul oleh palu. Gue duduk di tepi matras tanpa sprei, menggenggam pinggirannya dengan erat.

"Cuma setengah jam," bisik gue ke diri sendiri.

Sedetik demi sedetik berlalu. Suara-suara Kiki yang sedang diwujudkan semua fantasinya oleh Pak Brengos menembus tembok dan memasuki telinga gue, menyiksa gue  bayangan-bayangan gelap yang berdansa di pikiran gue.

"Ugh, nggak bisa!" gue berteriak, membiarkan suara gue menembus kesunyian. Langkah-langkah gue yang bergegas mengitari ruangan membuat debu-debu kecil beterbangan.

Untuk apa gue rela menahan sakit hati ini? Untuk uang?!

Amarah yang membara dalam dada gue mendesak untuk dilepaskan. Jadi, gue tendang kantong plastik yang berisi barang-barang milik Pak Brengos, menontonnya terlempar dan membentur tembok.

Gue harus menghentikan ini, Sekarang!

Tapi kemudian langkah gue terhenti melihat sesuatu.

Di antara pakaian-pakaian yang compang camping, ada sebuah foto. Foto lusuh yang terlempar dari dalam kantong. Gue raih foto itu dan memegangnya di depan mata.

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang