Gue mendekati kos-kosan Pak Brengos dengan seringai yang gue nggak bisa sembunyikan. Hari ini, gue mau ngerayain 'kemenangan' kecil gue. Dari kejauhan, gue udah bisa dengar bunyi besi tua berdecit. Itu tandanya Pak Brengos lagi asyik dengan rutinitas pull-up-nya.Saat gue sampai, gue melihat Pak Brengos sedang mengangkat tubuhnya naik turun. Pull-up bar buatannya terbuat dari pipa besi tua dan rantai yang dia kumpulkan dari barang bekas. Walaupun sederhana, bar itu cukup kuat untuk menopang tubuh kekar
Pak Brengos yang setiap kali naik turun, otot-ototnya bergerak penuh kekuatan dan ketangguhan. Otot-ototnya menonjol di bawah kaos ketat lusuh yang menempel sempurna di tubuh kekarnya, setiap tarikan napas dan gerakan tubuhnya seolah-olah mempertontonkan sebuah tarian kekuatan yang mentah dan tak terbendung.
"Lho, Mas Ari, kok mlebu maneh? Bukannya uang Mas Ari wis habis untuk mbayar saya seminggu iki?" Pak Brengos bertanya tanpa menghentikan gerakan pull-up-nya, suaranya terdengar berat dan pasti.
"Tenang aja, Pak. Uang kuliah udah sampe. Jadi, aku punya duit buat bayar Pak Brengos lagi nih," gue balas sambil mengeluarkan segepok uang dari dompet.
Pak Brengos menghela napas, masih tergantung di pull-up bar, "Ora usah, Mas Ari. Duit iku kan kanggo kuliah Mas. Saya nggak mau nggondol duit kuliah Mas."
"Yah, Pak, kuliah itu sebenernya percuma juga sih. Toh nanti aku mau jadi entrepreneur," kata gue, sambil menatap Pak Brengos yang terus naik turun dengan ritme yang konsisten.
Tiba-tiba, gue punya ide. Tanpa pikir panjang, gue mendekat dan nemplok di punggung Pak Brengos. Berat gue yang nggak seberapa dibandingkan dengan kekuatan Pak Brengos, tapi cukup buat membuat dia berhenti dan menatap gue heran.
"Mas Ari, ini apa-apan?" Pak Brengos bertanya setengah terkekeh, sambil menahan gue di punggungnya.
Gue tertawa, "Aku cuma pengen merasakan gimana rasanya dikelilingi otot-otot Pak Brengos yang kekar ini."
Pak Brengos menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Dia akhirnya melepaskan diri dari pull-up bar dan menggendong gue ke arah kasur. Setiap langkahnya terasa penuh kekuatan, membuat gue semakin takjub.
"Pak, jangan terlalu serius dong. Kita kan cuma pengen bersenang-senang," kata gue, mencoba melunakkan suasana yang mulai tegang. Wajah Pak Brengos yang sebelumnya serius, perlahan melunak. Tapi, dia tetap pada pendiriannya, "Mas kudu fokus kuliah, supaya sukses nantinya."
Gue merasa ada semacam kecewa yang bercampur salut pada Pak Brengos. Sikapnya yang tegas ini bikin gue kagum. Tapi, di sisi lain, gue yang udah terlanjur 'sange berat' ini, rasanya pengen cepat-cepat 'dikarokein'. "Lalu, gimana dong, Pak? Aku udah sange berat nih," keluh gue, sambil menyelipkan kedua tangan gue ke balik kaos lusuhnya.
Pak Brengos terkekeh, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. "Coba sabar, Mas Ari. Ambil contoh saya. Wis taun-taun saya nggak berhubungan karo bojoku, malah ora ngloco. Kita kudu belajar nahan nafsu, Mas." Senyumnya penuh dengan arti, seolah menyembunyikan rasa yang lebih dalam.
Sementara itu, tangan gue terus menjelajahi otot-otot hangatnya, naik ke atas, mencari putingnya. Gue merasakan kekenyalan dan kekerasan puting Pak Brengos di bawah jari-jari gue. Tanpa sadar, gue mulai menarik putingnya ke bawah, membuat Pak Brengos bergerak, hingga dia berlutut di depan kasur.
"Gue ngerti, Pak. Tapi gue pengen ini, pengen Pak Brengos," gue mendesah manja, mengekspresikan hasrat gue yang sudah tidak terbendung. Gue memasukkan jempol gue ke dalam mulut Pak Brengos. Refleks, Pak Brengos mulai mengemut jempol gue dengan lembut, menambahkan sensasi yang tak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonte Kekarku, Pak Brengos
RomantikKamu homophobic? Cerita ini bukan buat kamu. Disclaimer ⚠️ BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. "Ci...