CHAPTER 1

269 20 0
                                    

Happy reading..

Anagata Tamara, cantik seperti namanya. Pagi yang cerah namun tidak dengan wajah gadis itu, menunggu transportasi umum adalah kebiasaan sehari-hari nya. Anagata jenuh, seringkali mengeluh, namun hatinya tetap luluh. Luluh akan segala aktivitas-aktivitas yang wajib ia kerjakan. Lingkungan sekolah menyapa penglihatannya, pagi itu tidak terlalu buruk. Akan menjadi buruk jika ia bertemu dengan seseorang, ya seseorang. Lebih tepatnya seseorang di masa lalu dan Anagata belum mampu untuk melupakan nya.

Sudah memasuki tahun terakhir, Anagata harus bisa mendapatkan nilai sempurna . Setidaknya cukup untuk membuat ia bangga setelah belajar selama tiga tahun lamanya. Pintu bertuliskan
“12 IPA 2” selalu menyapa kedatangan Anagata setiap harinya, Anagata tidaklah bosan tetapi hanya ingin cepat selesai. Suasana di dalam kelas masih terbilang sepi, itu karena sebagian siswa dan siswi memilih untuk tiba disekolah mendekati bel masuk berbunyi.

Seiring berjalannya jarum jam suasana kelas kian berubah, tidak lagi sunyi. Semakin lama satu persatu penghuni kelas berdatangan. Membuat kebisingan unfaedah yang sangat mengganggu dan sebagian dari mereka membenci itu. Anagata dikenal sebagai perempuan yang mempunyai sikap bodo amatan ia juga terlihat hanya memiliki sedikit empati. Tidak sedikit juga yang menganggap bahwa Anagata itu perempuan cuek nan dingin serta tidak banyak bicara.

“Morning babe .” Sapa menggembirakan itu berasal dari perempuan yang baru saja datang dan segera mendaratkan tubuhnya di samping Anagata.

Anagata menatap datar dan hanya menoleh sekilas. Sempat tersenyum namun tak lama, sahabatnya itu sudah sangat mengerti sekali sikap dari Anagata, jadi dengan senang hati sangat mudah untuk memaklumi nya.

Clara , gadis dengan perawakan tinggi serta rambut panjangnya yang selalu ia kreasikan sesuka hatinya. Anagata sudah mengenal Clara saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di sekolah itu, dan hingga sekarang keduanya masih bersahabat.

“Tumben lo gak mengasingkan diri di perpustakaan?.” Tanya Clara, Walaupun sapaannya tadi tidak terbalas.

“Kalau ada guru gimana?.”

“Ya gak gimana-gimana, tapi... setau gua jam pertama itu kosong.

“Tau dari mana lo?.” Anagata mengernyit.

“Ck, masa lo lupa. Kan Bu Ina itu lagi hamil anaknya yang pertama, makanya beliau gamasuk.”
    
Anagata tersenyum menatap Clara, dengan cepat ia berdiri dan pergi begitu saja. Clara memperhatikan sahabat nya itu, tatapnya sedih ketika Anagata menghilang di balik pintu. Clara menyadari ada banyak sekali yang berubah, semua hanya karena semesta yang pandai menulis kisah pelik  di antara  dua insan yang sama peliknya untuk saling memahami.
   
Bel masuk sudah berbunyi tepat ketika Clara sampai di kelas lalu menyapa Anagata, tidak ada satu orang pun yang berani berkeliaran ketika jam pertama baru saja dimulai. Berbeda dengan Anagata, ia sudah menjelajahi koridor yang sunyi itu. Tujuannya adalah perpustakaan, Anagata bukan seseorang yang rajin untuk membaca, tidak juga tertarik kepada buku-buku tebal.

Anagata hanya menyukai perpustakaan karena tempat itu sama sunyinya dengan koridor yang tengah ia pijak sekarang. Anagata hanya cukup untuk beberapa langkah lagi agar sampai di perpustakaan, dan begitu tiba di sana. Anagata langsung bisa menerka jika perpustakaan itu belum dikunjungi siapa pun. Dengan yakin Anagata membuka pintu itu lalu kedatangannya disadari oleh penjaga perpustakaan, sang penjaga pun tersenyum ramah. Sudah terbiasa sekali akan kedatangan siswi yang satu ini. Anagata membalasnya dengan senyuman canggung yang ia miliki, hampir semua orang yang mengenalinya tau jika Anagata tak suka tersenyum. Anagata menulusuri rak demi rak untuk mendapatkan buku yang sekedar bisa menemaninya di perpustakaan ini, namun dia tak kunjung menemukan. Setelah beberapa menit mencari akhirnya dia merasa menemukan buku yang cocok dengannya, tetapi sayang bukunya terletak di bagian paling atas rak. Mengingat bahwa dirinya tidak mempunyai tinggi badan yang seberapa, itu membuat nya kesusahan untuk mengambil buku yang dia inginkan.
    
Pantang menyerah, itulah Anagata. Perempuan itu terus berusaha untuk mengambil bukunya walaupun tidak berefek sama sekali, tangannya bahkan tidak sampai untuk menyentuh buku itu berkali-kali dia hanya memegang udara sampai dia merasa kehilangan keseimbangannya dan dia tahu bahwa sebentar lagi dia akan terjatuh, namun dia merasa ada tangah kokoh yang menyelamatkan dirinya. Dan benar saja tubuhnya berhasil di tangkap oleh seorang laki-laki yang sangat familiar baginya, seorang laki-laki yang berhasil membuat nya jatuh hati seorang diri dan Anagata membenci itu.
    
Kedua mata mereka bertemu dan disaat itu juga Anagata merasa bahwa dia masih belum sepenuhnya lupa akan kisahnya dahulu, Anagata masih menyimpan rasa itu rasa yang sebenarnya tak ingin dia miliki dan rasa yang mampu membuatnya benci pada sang insan yang tengah berdiri tegap di depannya. Mereka tersadar, Anagata langsung melepaskan tangannya pada pundak kokoh itu,  begitu juga dengan laki-laki yang ada di depannya. Terjadi keheningan diantaranya, Anagata tidak tahu harus berbuat apa tidak ada satu kata yang berani dia katakan kepada laki-laki di depannya.
   
Lidahnya terasa kelu bahkan semua sendi di tubuhnya terasa kaku sekedar untuk lari menjauh dari hadapannya pun Anagata tidak bisa. Tangan lelaki itu terulur untuk mengambil buku yang Anagata ingin baca sebelumnya, kemudian dia memberikannya pada Anagata.
   
"Buku yang lo cari kan?" Tanya laki-laki jangkung itu.
   
"Hei, you ok ?.”
   
Anagata sebisa mungkin mengadahkah kepalanya untuk melihat laki-laki yang tengah menatapnya dalam dalam, tidak berniat untuk menjawab Anagata hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, lalu dia mengambil buku itu dari tangan lelaki di hadapannya.
   
Tidak ada salam perpisahan dari keduanya, lelaki itu langsung melenggang pergi meninggalkan Anagata. Disaat itu juga Anagata kembali mengambil nafas yang sempat tertunda karena kedatangan seseorang orang yang berhasil membuatnya mengingat luka yang sebenarnya belum sempat mereda. Anagata kembali menunduk melihat buku yang sempat ingin dia baca, selera bacanya hilang begitu saja. Kemudian dia juga pergi dari tempat itu dan kembali ke kelasnya.

***

   
Waktu terasa cepat berganti, sepulang dari perpustakaan Anagata kembali dengan kondisi yang murung. Ia malas berbicara dengan siapa pun, rasa aneh kembali muncul ketika Anagata sudah yakin bahwa ia tidak lagi memiliki rasa yang amat sangat ia benci. Clara ada di samping Anagata sambil membereskan alat tulisnya, menatap sabar kepada Anagata yang sedari tadi hanya diam. Clara menyentuh jemari Anagata dengan lembut hingga sang empu menoleh.
   
“Udah berjam-jam lo diem gini, dari pagi sampe siang. Ketemu sama siapa sih di perpus?.” Ucap Clara.
   
Anagata terlihat enggan menjawab, ia hanya tersenyum kepada Clara sambil menggelengkan kepalanya pelan. Clara paham sekali wajah itu, ia tersenyum lalu mengatakan.
   
“Yaudah kalau gitu, gua pulang ya?.”
   
“Hati-hati ya.”
   
Clara tersenyum lalu mengangguk, lalu pergi dari sana membiarkan Anagata berdebat dengan isi kepalanya. Anagata menatap Clara yang sudah mulai hilang dalam pandangannya, ia menghembuskan nafas mengingat bagaimana kejadian di perpustakaan pagi tadi. Sungguh, Anagata hanya ingin menangis sekarang juga.
    
“Ckckck  Nat Nat, mau sampe kapan lo duduk situ? liaat noh Skull dah pada sepi Lo gak mau balik hah?".
   
Dodo, begitulah Anagata memanggil nya. Aldo Barreto adalah salah satu teman dekat Anagata, mereka tidak satu kelas, dan juga berbeda jurusan. Entah darimana Dodo tahu bahwa Anagata masih berada di kelasnya, dia sendiri baru saja selesai dengan urusan kelasnya dan langsung menemui Anagata.
   
Lagi, Anagata tidak berniat untuk menjawab dia langsung membereskan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Tidak berniat untuk mengajak Dodo berbicara Anagata langsung melenggang pergi dari tempat semula yang dia duduki. Dodo menelan kasar ludahnya, mengucap sumpah serapah dalam hatinya. Anagata sungguh menyebalkan.
   
“Dasar, demen banget ninggalin gua sendiri.”
   
Dodo menyusul Anagata, berlari kecil untuk mengejar perempuan itu sebelum Anagata melangkah lebih jauh. Diperhatikannya Anagata, Dodo menerka jika sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Tetapi Dodo juga tahu, Anagata tidak akan pernah bercerita. Dodo bersenandung kecil berusaha membuat suasana menjadi hidup, sebenarnya untuk membuat Anagata mau berbicara kepadanya.
   
“Mulut Lo bisa diem gak?.”
   
Dodo tersenyum Pepsodent ketika mendengar seruan ketus itu, Dodo sangat menyukai jikalau Anagata sudah terpancing emosinya.
   
“Mulut gua akan diem, kalau mulut lo yang gantian ngomong.”
   
Anagata terhenti, menoleh tajam kepada Dodo. Disaat itu juga Dodo langsung tersenyum canggung, ia berjanji tidak akan membuat marah Anagata. Karena ia tahu bagaimana jadinya.
   
Tidak ingin meladeni Dodo lebih lanjut, Anagata kembali melanjutkan langkahnya. Dan sudah ia pasrahkan jikalau Dodo akan terus berbicara di sepanjang jalan, Anagata sudah merelakan hal itu terjadi.
   
“Kalau ada apa-apa itu bilang, cerita, jangan disimpan sendiri.”  Ucap Dodo.
   
“Gak ada kok.

“Kagak percaya gua, muka lo tuh gak bisa bohong Anagata.”
   
Anagata acuh tak acuh, ia bisa lolos jika menghadapi Clara tapi tidak dengan manusia banyak bicara yang kini sedang ada di sampingnya.
   
“Lo ketemu sama Mahesa ya?.”

___________________________________________________
Haaaiii
Bagaimana dengan chapter 1 nyaa??
Semoga kalian yang membacanya sukaa yaa
Don't forget to voteeee plssss!!!

Still The Same[Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang