Dinginnya udara malam memang mampu membuat siapa saja mengalah untuk tidak keluar rumah di saat seperti ini. Namun tidak untuk perempuan yang saat ini tengah berjalan dalam diam, tangannya ia masukkan pada saku hoodie dikenakan olehnya . Berjalan perlahan untuk bisa sampai ke tempat yang dia tuju.
Anagata melanjutkan perjalanan kemarin malam yang tak sempat terlaksana dengan baik, dimana ada seorang laki-laki yang menghalang niatnya meski tanpa disengaja. Anagata berdecak kala ia mengingat kejadian kemarin malam, kakinya menendang udara upaya ia melepaskan kekesalan yang ada di hatinya.
Berjalan sendiri di malam hari tidaklah pernah menjadi pilihan untuk Anagata, tetapi tidak mungkin juga jika ia meminta Dodo untuk menemaninya. Anagata semakin memeluk tubuhnya sendiri kala udara malam mengapa dengan angin yang berhembus lebat. Ia mengedarkan pandangannya karena merasa sunyi yang amat pekat menemaninya di setiap langkah.
Sepi banget tumben, Anagata cukup heran melihat kondisi jalan yang tidak seperti biasanya, perempuan itu jadi menyugesti hal-hal negatif yang sebenarnya hanya akan membuat ia tenggelam dalam ketakutan yang tidak nyata. Anagata merubah arah pandangannya ke bawah, sekarang ia berjalan sambil menunduk menatap alas yang ia pijak.
Jika saja kemarin malam ia tidak bertemu dengan Mahesa pasti sekarang Anagata tidak akan keluar dari rumah dengan udara yang dingin seperti ini. Butuh untuk beberapa menit lagi hingga sampai di tujuan, dan dalam diamnya Anagata tidak sengaja menatap seorang pria di ujung jalan sana.
Mulai ada gemuruh negatif yang berseru di kepalanya, Anagata berusaha tidak menatap pria tersebut. Sebisa mungkin ia mengalihkan pandangannya dan tidak sedikit pun menoleh ke arah pria di ujung jalan sana.
Dalam hati Anagata bertanya, Apa itu Mahesa?.
Anagata sempat berpikir jika pria itu adalah Mahesa namun sepertinya bukan, Anagata yakin bahwa dia tahu postur tubuh Mahesa dan pria yang ada di ujung jalan sana sangat jauh berbeda dengan Mahesa. Niat awal ingin menghindari kontak mata, tetapi dengan tidak sengaja kedua netra mereka bertemu.
Sampai di sini, Anagata cukup terkejut terlebih ketika pria itu melayangkan senyuman yang dirasanya sangat-sangat misterius. Anagata meneguk ludahnya, meredam ketakutan. Tidak ingin lebih jauh lagi Anagata memutuskan pandangan itu sepihak dan berpura-pura bahwa ia tidak melihat pria yang saat ini masih memperhatikannya.
Jika tadi Anagata berjalan santai sambil menghirup udara segar dimalam hari, maka sekarang Anagata merubah ritme langkahnya. Tidak ada yang berbeda dengan kemarin malam, lagi-lagi selalu ada yang mengacaukan aktivitasnya.
Wajah gugup itu tidak bisa Anagata sembunyikan lagi, berusaha masa bodo pun sebenarnya ia tidak bisa, untung saja toko yang ingin Anagata kunjungi sudah terlihat tepat di depan matanya jadi Anagata tidak perlu khawatir lagi.
Anagata mempercepat kembali langkahnya, terlihat sangat amatir dan Anagata yakin sekali jika pria itu menyadari ke-amatirannya. Anagata berhasil masuk ke toko itu dengan embusan nafas lega. Tetapi niat awal yang membuatnya mengunjungi toko ini sudah sirna karena nyatanya Anagata masih memikirkan pria misterius itu.
Sekarang ia memikirkan perjalanan pulang nanti, apakah akan selamat sampai tujuan atau malah pria itu malah menghalangi jalannya?. Mulai sudah pikiran negatif menguasai kepalanya. Anagata berdecak kesal sekaligus marah, kenapa selalu ada saja sesuatu baru yang berhasil membuatnya tidak bisa tenang.
Anagata mendongak menatap langit-langit toko itu, ia mengatur nafasnya perlahan. Upaya yang selalu dilakukannya ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja. Anagata mulai melakukan kegiatan yang sebenarnya, ia mengesampingkan rasa gelisah untuk barang yang sempat dilupakannya kemarin malam. Anagata harus mendapatkan barang itu malam ini.
Ternyata tak butuh waktu lama untuk gadis itu menyelesaikan pemilihan barang yang akan dibelinya. Anagata mulai membawa beberapa barang di dalam keranjang yang tengah ia genggam, gadis itu berjalan ke arah kasir untuk membayar barang tersebut. Sesampainya di kasir, Anagata memberikan barangnya. Di sela-sela sang kasir melakukan pekerjaannya Anagata melihat ke arah luar tepat di mana pria misterius itu berdiri tadi. Namun nihil, ia tidak menemukan apa pun selain kursi trotoar yang kosong.
Kasir itu telah menyelesaikan pengemasan barang, ia memberi tahu Anagata harga barang yang dibeli lalu tak lama Anagata memberi beberapa lembar uang sebagai transaksi pembelian barang itu. Anagata tersenyum, ia menerima jinjingan totebag lalu tersenyum dan melenggang pergi dari toko itu.
Anagata sampai di luar toko, ia mengarahkan netranya ke arah depan. Dan benar saja, tempat itu sepi tidak seperti pertama kali ia melihat pria misterius tadi. Anagata menghembuskan nafasnya lega, setidaknya itu hanya pikiran buruk yang menyapanya sesaat. Karena dirasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Anagata menunduk melihat kembali barang bawaannya sambil berjalan menjauh dari depan toko.
Tetapi siapa sangka aktivitasnya itu terlalu serius sampai-sampai Anagata tidak menyadari jika sebenarnya langkahnya terhenti karena sesuatu. Anagata menyadari ada bayangan di depannya, meski takut ia beranikan diri untuk mendongak. Dan netranya membulat menatap pria itu yang sudah ada di depannya. Meski bergetar Anagata membawa kakinya mundur beberapa langkah untuk menghindari pria misterius itu.
"Anagata Tamara?.”
Anagata membeku, seseorang itu tahu siapa namanya bahkan nama lengkapnya. Oh Tuhan, Anagata ingin pulang sekarang.
"Bisa bicara sebentar?."
Anagata mengernyit, hal apa yang ingin pria ini bicarakan dengannya. Jangankan bicara menatap lama-lama saja Anagata tak bisa. Tampangnya memang tidak se-menakutkan itu tapi tetap saja, senyuman yang tercetak jelas di kedua bilah bibirnya membuat Anagata menaruh curiga.
"Hei.” Pria itu mengibaskan telapak tangannya tepat di wajah Anagata yang masih termenung dan seketika Anagata tersadar. Gerakan refleks itu membuat Anagata tidak sadar dan malah menganggukkan kepalanya, menyetujui ajakan pria misterius di depannya.***
Udara malam memang kadang terasa sangat menenangkan apalagi ditemani dengan secangkir kopi hitam yang perlahan mulai dingin karena diterpa angin, Mahesa hanya melirik cangkirnya yang belum disentuh sama sekali. Laki-laki itu mulai bangkit dari duduknya perlahan jemarinya menggenggam pagar pembatas yang ada di balkon. Pandangannya lurus menatap jauh entah apa yang sedang ia tatap, Mahesa merasa semuanya terasa lebih sulit sedari awal.
Sudah beberapa bulan ketika ia menjauh dari Anagata, semuanya terasa baik-baik saja. Mahesa tidak pernah memikirkan hal itu bahkan dirinya yakin bahwa ia sudah tidak mempunyai perasaan yang sama pada Anagata.
Tetapi kenyataan menamparnya amat sangat keras hingga ia terbangun dari ilusi tak bertepi yang selalu menghantui. Bayang-bayang tangis dari Anagata selalu berhasil membuat isi dalam kepalanya menyerut menyalahkan dirinya. Dan dimana ketika ia melihat kembali Anagata lalu menatap mata indah itu, semua kepingan kisah yang semula hancur kini meminta untuk disatukan kembali layaknya puzzle yang sudah tahu letaknya namun tidak ada yang menyusunnya.
"Jangan melamun."
Menolehkan ke arah sumber suara, sudah ada Vallen disana. Tidak tahu apa yang Vallen lakukan, pastinya memang hanya sekedar berkunjung saja untuk menemui Mahesa. Vallen menghempaskan tubuhnya di kursi dan Mahesa melakukan hal yang sama, kedua pemuda itu menatap arah yang sama tetapi dengan isi kepala yang berbeda.
Vallen hampir tidak bisa percaya akan semua hal yang terjadi, beberapa hari ini Vallen melihat Mahesa seperti kehilangan gairah hidup. Vallen menghembuskan nafasnya mengusir penat ketika ia menatap wajah lesu Mahesa.
"Mikirin siapa si? Anagata?."
Tidak ada jawaban dari pertanyaan Vallen hanya ada suara daun yang bergesekan dengan daun lainnya lalu tertiup angin dan menjadi backsound keduanya. Vallen melempar beberapa foto ke meja yang menandai pemisah keduanya, Vallen malas jika harus bertele-tele dengan orang yang raganya sedang berkelana jauh dan hanya akan membuang waktu saja.
Mahesa mengambil foto itu lalu dilihatnya sejenak, kerutan di dahinya sangat kentara. Bingung sekaligus tidak mengerti tentang foto itu, Vallen melihat ekspresi dari Mahesa dan menyadari bahwa Mahesa tidak paham akan semuanya atau Mahesa hanya menolak paham fakta yang ia temukan malam ini.
"Ga mungkin dia balik kesini."
"Tapi itu kenyataannya."
"Apa yang dia mau?."
"Lo." Jawaban singkat dari Vallen berhasil membuat Mahesa merubah mimik wajahnya menjadi lebih serius.
"Bukan gua yang nabrak adiknya."
"Memang bukan Lo, tapi bajingan itu masih akan terus cari Lo sampai dia puas sama apa yang udah terjadi sama adiknya."
Mahesa sama sekali tidak menyangka jika masalah masa lalunya kembali bertandang di kehidupannya sekarang. Mahesa menukik tajam kedua matanya, entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan.
"Tadi di perjalanan ke sini, gua sempat lihat dia di perempatan gang rumah Anagata dan gua rasa dia lagi perhatiin seseorang.”
"Siapa orangnya."
"Anagata."
"Anagata?."
“Ya, mungkin karena dia tau Lo masih sama Anagata."
"Bullshit. Anagata gak ada hubungannya sama masalah ini."
"Dan itu keuntungannya."
Mahesa bangkit memasuki kamarnya, memakai jaketnya lalu kemudian langsung melenggang pergi menuruni tangga untuk melakukan motornya. Mahesa akan pergi sekarang juga untuk memastikan dengan mata kepalanya sendiri.
Vallen menatap laki-laki itu dengan tenang dan kembali memandang ke arah foto itu, mengambilnya lalu pergi dari sana menyusul Mahesa.TBC
____________________________________________________VOTE NYA!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The Same[Revisi]
Teen Fictionpinned⚠️: Judul Awal (Anagata) Ssst! This is my first story! . . . . Anagata, kerap di sapa "Nanat" oleh orang terdekat nya. Sikap cuek dan tidak peduli menjadikan ia sedikit memiliki teman, hanya ada beberapa orang saja yang ia rasa tulus padanya d...