CHAPTER 18 (flashback on)

21 5 0
                                    

Yang ditunggu sudah tiba, Diana keluar dari dalam rumah Arga dan langsung dihadiahi pemandangan sang anak yang tengah termenung. Diana mengernyit, akhir-akhir ini Mahesa seperti mempunyai banyak permasalahan namun tidak sedikit pun ia ingin menceritakan.
   
Terdengar suara pintu terbuka dari dalam membuat Mahesa kembali tersadar dan menoleh ke belakang, ia sudah melihat Diana di sana dan berjalan ke kecil ke arahnya. Mahesa tidak menyambut, hanya saja mimik wajah Diana lagi-lagi seperti mengintimidasinya.
   
Mahesa hendak bertanya, tetapi tiba-tiba saja Diana memberinya kode untuk cepat langsung masuk ke mobil dan pergi dari sana. Mahesa hanya menurut saja, meski ia dibuat sedikit kebingungan karena tidak biasanya Diana bersikap seperti itu. Keduanya sudah berada di dalam mobil, Diana sudah duduk manis menunggu Mahesa melajukan mobilnya.
   
Jujur saja, Mahesa merasa lebih buruk sekarang. Walaupun tak ditunjukkan karena ia lebih memilih melakukan mobilnya pergi dari halaman rumah Arga. Mobil itu membelah jalanan gerimis dengan langit abu-abu. Seolah-olah jika langit itu sedang merasakan duka yang sama yang dialami oleh Arga.
   
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan Mahesa?.”
   
Disela-sela kefokusannya mengendarai mobil, Mahesa dibuat sedikit terkejut akan pertanyaan yang baru saja masuk ke telinganya.
   
“Tatapan Arga mati sama Mama dan Mama rasa tatapannya akan mati ke semua orang. Apa itu karena ulah kamu juga?.”
   
“Maksud Mama?.”
   
“Seseorang mungkin akan merelakan, tapi entah kenapa mama merasa kalau Arga terlihat seperti enggan merelakan. Ada apa sebenarnya?.”
   
“Kematian Athalla belum ada satu hari Mah, jadi wajar kalau Arga bersikap seperti itu.”
   
Tidak ada yang menyinggung dari jawaban Mahesa, hanya saja reaksi Diana seolah-olah mencurigai jawaban dari sang anak. Diana menoleh, ia mengernyit lalu bertanya.
   
“Kamu gak merasa bersalah sedikit pun? Setelah menabrak orang sampai meninggal?.” Diana menaikkan nada bicaranya satu oktaf lebih tinggi. Masih tidak terpikir olehnya mengapa Mahesa bersikap demikian.
   
Mahesa yang ditanya seperti itu hanya diam bingung ingin menjawab apa, karena memang kejadian sesungguhnya Mahesa tidak bersalah sedikit pun. Athalla kecelakaan karena kecerobohannya sendiri, Mahesa hanya menyayangkan sikap dari Arga yang kekanak-kanakan dan malah menuduh dirinya sebagai pembunuh Athalla.
   
“Ada yang kamu sembunyikan dari Mamah?.”
   
Mahesa kembali tersadar, “G-gak ada Mah.”
   
“Mama gak yakin sama jawaban kamu, kamu itu bukan seperti Mahesa yang mama kenal.”
   
Mahesa menoleh, mimik wajahnya ia usahakan agar terlihat baik. “Itu cuma perasaan Mama aja.”
   
“Perasaan Mama mengatakan kalau kamu seperti tidak bertanggung jawab atas perbuatan kamu. Dan Mama tau kalau kamu memang menyembunyikan sesuatu dari Mama. Lebih baik kamu jujur, apa yang sebenarnya terjadi?.”
   
Tibalah Mahesa di antara bimbang yang mengapitnya di sisi kanan dan kiri. Jujur memang lebih baik, tetapi terkadang ada saja seseorang yang enggan menerima kejujuran. Mahesa menatap jalanan di depannya, menimang-nimang keputusan yang akan dipilihnya.
   
“Bukan aku yang nabrak Athalla Mah.” Mahesa memberi jeda yang cukup lama setelah melihat reaksi kebingungan dari Diana, ia sulit untuk melanjutkan kalimatnya.
   
“Athalla kecelakaan karena mobil pickup yang kebetulan melaju dari arah berlawanan, dan ternyata pickup itu remnya blong. Aku ada di sana tapi terpaut jarak yang jauh di belakangnya, dan aku lihat secara langsung gimana kecelakaan itu terjadi. Aku juga orang pertama yang langsung tolong Athalla di tempat kejadian.”
   
Mahesa berhenti menjelaskan, ia membiarkan Diana untuk menanggapi penjelasannya.
   
“Lantas kenapa kamu memilih berbohong sama Mama? Kenapa kamu gak jujur sedari awal?.”
   
“Karena aku kira semuanya akan berakhir cepat, tapi ternyata enggak. Dan aku sadar kalau aku memang harus selesaikan semuanya sendiri sama Arga.”
   
Diana diam, ia tersentuh akan kalimat sederhana Mahesa. Sudah lama sekali Diana tidak pernah melihat sosok Mahesa yang sekarang. Diana memilih untuk tidak menanggapi lagi, ia percaya karena Mahesa sudah mengatakan yang sebenarnya.
   
“Tapi Mama akan tetap bawa kamu pindah dari sini.”
   
Kalimat final yang tidak bisa diganggu gugat apa pun alasannya, Mahesa tidak terkejut. Itu memang sudah menjadi kebiasaannya, berpindah-pindah tempat karena terus mengalami kesalahan yang sama.
   
Kadang kala ada rasa bosan karena tak henti-hentinya ia harus memulai hidup dengan lingkungan yang baru. Mahesa merasa kesulitan karena harus beradaptasi dari awal, dan tentu saja itu menyebalkan. Dan setiap kali Mahesa memasuki lingkungan hidupnya yang baru dan memulai aktivitasnya, Mahesa selalu merasa cepat bosan yang ujungnya akan berakhir dengan kesalahan baru.
   
Laki-laki itu seperti tidak pernah jera untuk membuat permasalahan, meski ia tahu jika ada hukuman yang selalu menunggunya di belakang. Mahesa hanya berpura-pura tidak melihat untuk bisa melanggar peraturan. Entah kota mana yang akan menyambutnya setelah ini, Mahesa hanya berharap jika ia tidak menemukan seseorang seperti Arga.
   
Dan jika berbicara tentang Arga, Mahesa mempunyai feeling yang sangat kuat jika Arga akan terus mengikutinya. Mungkin juga Arga akan membalas dendamnya kepada Mahesa, meski belum terbukti namun Mahesa sudah mampu mencium bau harum kebencian yang mengikutinya sedari kemarin.
   
Mahesa hanya perlu menyiapkan, menyiapkan segala raga dan jiwa yang sehat untuk menghadapi seseorang seperti Arga yang sudah buta akan kedamaian. Terasa sulit walau belum mencoba tetapi Mahesa tidak ingin repot-repot membayangkan bagaimana jika Arga mengacaukan hidupnya. Mahesa hanya takut jika ia tidak bisa lagi menghirup udara segar ketika Arga sudah menyambutnya dalam perkelahian.
   
Tepat di depan bangunan mewah dan megah Mahesa memberhentikan mobilnya, ia sedikit membanting punggungnya ke sandaran kursi mobil. Hari yang melelahkan.
   
“Setelah ini bereskan barang-barang kamu, bawa yang perlu dan penting saja. Mama akan urus surat pindah sekolah.”
   
Diana keluar dari mobil, memasuki rumahnya. Sedangkan Mahesa di dalam sana semakin malas untuk beranjak. Rasanya ia ingin terjun dari tebing tinggi dan jatuh ke muara lalu secara tidak sadar dirinya hanyut dan tidak lagi ditemukan.
   
Mahesa ingin merasakannya, ia berpikir jika itu adalah ketenangan yang nyata. Tidak ada lagi yang bisa memanggilnya dan mengganggu hidupnya. Perlahan netra tajam laki-laki itu mengatup, sengaja melakukannya untuk mengusir segala hal rumit di kepalanya. Tetapi itu tak lama, karena tiba-tiba saja Mahesa mengingat jika ia harus membereskan terlebih dulu barang-barangnya. Karena itu, ia mulai beranjak malah terasa malas. Menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan suara dentuman, lalu mengajak kakinya berjalan memasuki rumah.

Still The Same[Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang