Lain di barat lain pula di Utara, seperti itu lah representasi dari keadaan di tempat Arga, suasana mulai riuh karena salah satu peserta balap liar itu tak kunjung terlihat batang hidungnya. Mereka mulai memandang jauh ke depan berusaha mencari tanda jika balap itu akan berakhir baik-baik saja. Dalam tegapnya, Arga mulai cemas karena sang adik tak kunjung terlihat.
Arga bergerak tidak karuan di tempatnya, jemari laki-laki itu dimainkan satu sama lain lantaran khawatir akan keadaan sang adik. Seketika pikirannya melayang jauh berpikir yang tidak-tidak terhadap adiknya. Feeling yang kuat mengatakan kepada Arga untuk segera menyusul Athalla, tetapi entah bagaimana pula Arga tidak kunjung bergerak dari tempatnya.
Tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup keras hingga sampai ke telinga para manusia yang ada di tempat itu. Suasana yang memang sudah riuh kini bertambah karena rasa cemas akibat dari suara dua benda yang rupanya bertabrakan. Seketika tidak tinggal diam, Arga tersadar dari renungannya dan ia mulai membawa laju kendaraannya. Tidak ingin terbawa suasana, Arga akan menemukan jawabannya sendiri. Ia hanya berharap jika suara itu bukan berasal dari sang adik. Wajah cemas tersembunyi di balik helm tebal yang Arga kenakan. Dengan motornya Arga menyusuri jalanan malam yang sunyi, sunyi yang sebenarnya telah sirna karena diujung jalan sana ada sebuah peristiwa.
Arga menyadari itu lewat kedua netranya, deru nafas laki-laki itu seketika naik turun. Tidak ingin berlama-lama lagi, Arga menghampiri kerumunan di ujung jalan itu. Perlahan ia sudah turun dari motornya, helm yang sudah tidak ia kenakan lagi memperjelas pandangannya. Kedua kaki jenjang Arga lemas karena melihat motor Athalla yang tergeletak menyedihkan. Arga sudah bisa menyimpulkan apa yang sudah terjadi.
Kaki yang lemas itu diajak berlari oleh sang pemiliknya, Arga melihat Mahesa sedang bersimpuh menopang tubuh adiknya yang lemas dan berceceran darah. Amarah Arga memuncak melihat pemandangan itu. Seketika saja kebenciannya menguar lebih dalam, Arga malah berpikir jika Mahesa lah yang sudah membuat adiknya celaka. Padahal jelas sekali jika ada korban lain di sana.
Arga menghampiri Mahesa, mendorongnya agar menjauh dari Athalla. Mahesa terengah karena dorongan tersebut, ia melihat Arga yang kini menggantikannya menopang tubuh Athalla. Arga menepuk-nepuk pipi sang adik berusaha untuk membuatnya tersadar. Namun Athalla tidak bereaksi apa pun atas usaha yang telah dilakukan oleh sang Kakak. Arga menggeleng ribut ketika mendapati wajah Athalla semakin pucat karena darahnya tak henti mengalir.
"Thall bangun, hei Lo dengar gua kan?."
Mahesa menyaksikan bagaimana berantakannya sekarang Arga saat melihat adik semata wayangnya terkapar dengan genangan darah. Ada rasa iba, terlebih ketika Arga tak henti-hentinya mengusap kepala Athalla.
Tak ada jawaban dari Athalla, habis sudah kesabaran Arga. Wajahnya merah padam ketika menyadari jika Mahesa masih ada di sana. Tanpa ragu Arga bangkit dan menghantam Mahesa dengan pukulan keras. Mahesa terjatuh, keseimbangan tubuhnya menghilang dan membuat Arga dengan mudah menghabisinya. Arga mencekal kerah Mahesa, menatapnya tajam tanpa ampun.
"Lo apain adik gua hah?." Meski suaranya bergetar, tetapi nada bicara Arga terkesan seperti tak main-main.
Mahesa muak sekali karena tuduhan menyebalkan itu Arga lemparkan kepadanya, Mahesa sudah kehilangan cara bagaimana untuk menghadapi Arga.
"Bodoh, adik Lo kecelakaan karena ulahnya sendiri bukan karena gua!."
Meski sudah menjawab, Arga masih enggan untuk melepaskan cekalannya pada kerah baju Mahesa. Arga malah mendecih ketika mendengar jawaban Mahesa. Mahesa tahu selicik apa laki-laki di depannya, biarpun Mahesa menjelaskan apa adanya Arga tak akan percaya begitu saja.
Di antara kesengitan perdebatan keduanya, sirine ambulans sudah terdengar hingga ke tempat itu. Sontak saja Arga melepaskan cengkeramannya, lalu menghampiri Athalla untuk membawanya ke dalam mobil. Mahesa meneguk ludahnya, ingin sekali ia membantu tetapi sadar diri jika Arga tidak akan pernah mau menerima bantuannya.
Mahesa bangun dari duduknya, membersihkan celananya yang sedikit kotor karena ia terjatuh akibat pukulan Arga. Kemudian Mahesa melangkahkan kakinya, tetapi langkahnya tercekat karena ada yang mencekal lengannya. Vallen berdiri di sana, menatap tidak percaya apa yang sahabatnya lakukan.
"Lo balapan?." Mendengar pertanyaan Vallen, Mahesa memalingkan wajahnya kesal. Tetapi tak lama Mahesa mengangguk, meski masih enggan untuk menatap Vallen.
Vallen mengernyit, nyaris saja tertawa menyedihkan akibat perlakuan manusia di sampingnya. Vallen memandangi jengah, lalu bertanya. "Kenapa?."
"Kenapa apanya?."
"Pertanyaan bodoh!."
Mahesa diam, tidak terlihat ingin menanggapi lagi. Vallen juga merasa sia-sia jika menyadari laki-laki itu. Melihat wajah Mahesa sekarang, Vallen merasa malas untuk berdebat lebih.
"Gimana kalau nyokap Lo tau?."
Mahesa sedikit menoleh, ingin menjawab tetapi ia kehabisan kata-kata. Mahesa tahu jika Orang Tuanya sangat tidak menyukai aktivitas yang satu itu. Lantas jika Sang Ibunda tahu bahwa anak semata wayangnya mengikuti balap liar, akan kah terjadi pertengkaran antara ibu dan anak?.
"Gua akan jelasin semuanya."
"Jelasin apa? Adiknya Arga kecelakaan dan Lo tepat ada disana, Lo tahu bukan Arga selicik apa? Lo yakin semuanya akan berakhir baik?."
Vallen baru saja mengingatkan Mahesa akan kalimatnya, seketika Mahesa tersadar jika ia berhadapan dengan seseorang yang rumit.
"Kenapa Lo diam?."
"Gua mau susul Arga ke rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The Same[Revisi]
Teen Fictionpinned⚠️: Judul Awal (Anagata) Ssst! This is my first story! . . . . Anagata, kerap di sapa "Nanat" oleh orang terdekat nya. Sikap cuek dan tidak peduli menjadikan ia sedikit memiliki teman, hanya ada beberapa orang saja yang ia rasa tulus padanya d...