Matahari pagi menyapa seluruh insan di muka bumi untuk memulai aktivitasnya. Berangkat pagi memang kebiasaan dari seorang Anagata Tamara, tetapi pagi ini ia merasa malas untuk pergi ke sekolah dan itu yang menyebabkan dirinya agak sedikit telat dari biasanya.
Anagata berjalan malas sedari turun dari angkutan umum yang membawanya sampai ke sekolah. Langkah demi langkah Anagata capai agar bisa sampai di gerbang sekolahnya, namun ia terbelalak ketika menyadari jika gerbang yang tinggi menjulang itu telah ditutup rapat.
“Mati gua.”
Berlari cepat, meskipun kenyataannya larinya tidak secepat itu karena sebenarnya Anagata tidak pandai berlari. Air wajahnya berubah panik kala ia menaruh jemarinya di pagar besi. Anagata menetralkan nafasnya, menatap jauh ke dalam dan seseorang menghampirinya.
Seseorang itu tampak kebingungan melihat Anagata, macam baru pertama kali melihatnya.“Kamu... anak baru ya?.”
Anagata sontak menggeleng membuat seseorang yang tak lain adalah satpam sekolahnya mengernyit, pasalnya sang satpam. Aru pertama kali melihat wajah Anagata.
“Kok saya baru lihat kamu ya.”
Anagata tersenyum canggung mendengar penuturan dari satpam di depannya, tetapi senyuman canggung itu sirna setelah Anagata menangkap sosok di belakang satpam itu.
“Bagus, jam berapa ini?.”
"Setengah 8 pak." Jawab Anagata santai.
Guru laki-laki yang terkenal karena kegarangannya memasang wajah segarang mungkin untuk membuat Anagata takut. Tapi gadis itu hanya bereaksi datar saja meski debaran di hatinya tak berhenti sedari tadi.
"Masuk! Bersihkan toilet perempuan setelah sepulang sekolah nanti!."
Anagata menganga, seumur hidupnya Anagata tidak pernah mendapatkan hukuman yang semacam ini atau pun hukuman lainnya itu. Buruk sekali, pagi hari ini tidak berpihak kepadanya.
"T-tapi pak-."
Baru saja Anagata membuka mulutnya ingin memprotes tetapi guru killer itu sudah menyahut terlebih dahulu.
"Jangan banyak tapi-tapi sudah sana masuk lalu jangan lupa kerjakan setelah sepulang sekolah ya!.”
Setelah mengatakan demikian guru itu langsung pergi meninggalkan Anagata dan satpam yang masih mematung di tempatnya. Anagata menatap tidak suka kepada guru yang telah melenggang pergi, mengapa sangat berlebihan sekali memberikan hukuman padahal baru pertama kali Anagata telat.
Tak ingin berlama-lama Anagata menundukkan kepalanya kepada satpam lalu masuk dengan sopan. Tidak apa, Anagata akan tetap membersihkannya sepulang sekolah nanti. Di sela-sela menaiki anak tangga Anagata berharap semoga saja tidak ada guru yang memasuki kelasnya, karena mau ditaruh di mana wajahnya jika ia telah memasuki kelas.
Sebenarnya Anagata was-was, tetapi ia mencoba untuk tenang bagaimana pun caranya. Telinganya mendengar kebisingan dari arah depan sana dan ia yakin bahwa itu berasal dari ruangan kelasnya.
Anagata menatap lurus, ada apa? Jam kosong kah?.
Tidak ingin menerka-nerka, Anagata memilih untuk terus berjalan dan ketika ia telah sampai Anagata menoleh ke arah jendela ternyata benar bahwa kelasnya tidak ada guru. Anagata mengembuskan nafasnya lega lalu dengan santai memasuki kelasnya, tak disangka kedatangannya membuat kondisi kelas mendadak sunyi karena terkejut akan kedatangan seseorang yang tiba.
Semua pasang netra tertuju padanya, ada yang kebingungan karena tidak biasanya Anagata baru sampai di sekolah ketika bel telah berbunyi beberapa menit yang lalu.
"Lo.. telat?." Sapa Clara ketika Anagata baru saja mendudukkan tubuhnya di samping kursi Clara.
Anagata menoleh, “Iya.”
“Tumben banget, kenapa?.”
"Gapapa. Ada tugas kah?."
Clara menatap menyelidik ke arah Anagata, ia kebingungan apa yang tengah terjadi dengan sahabatnya ini. Anagata malah menanyakan tugas di saat pertanyaan Clara belum ia jawab.
"Kenapa sih Lo?." Anagata bertanya karena melihat ekspresi dari Clara
"Ga-gapapa."
"Bagus."
"Nat."
"Hm?."
"Lo gak di hukum?."
"Dihukum."
"Disuruh apa?."
"Bersihin toilet, sepulang sekolah."
"Serius?."
"Ya."
"Terus Lo mau bersihin?."
"Mau lah, lagian gua yakin dia bakal ingat sama muka-muka orang telat dan pasti ditanya udah selesai bersihin apa belum."
"Iya juga ya."
Anagata mengangguk kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi lalu netranya melihat ke sekeliling kelas. Tidak ada yang menarik, siswa-siswi di kelasnya sibuk dengan urusan masing-masing. Anagata mengembuskan nafasnya, ia belum pernah cerita pada siapa pun mengenai masalahnya akhir-akhir ini.
Gadis itu menoleh kepada Clara yang masih fokus menulis di bukunya, ia berpikir sejenak apakah ia akan memberitahu kepada Clara atau tidak sama sekali. Anagata memanah lagi arah pandangnya lurus ke depan, ia sendiri merasa bimbang dan tidak yakin jika harus bercerita.
“Gimana Lo sama Evan?.”
Clara menoleh, mengernyit kebingungan tapi tiba-tiba tersenyum mendengar pertanyaan Anagata.
“Jawab Bambang!.”
“Emm... Ya gitu.”
“Gitu gimana?.”
“Lancar kok.”
“Semoga lancar-lancar ya.”
Clara tersenyum meski kalimat dari Anagata terasa sedikit aneh. “Amin.”
“Eh emang Lo beneran mau sama Evan?.”
“Mau kok, Evan baik.”
Anagata tersenyum, “Semua orang awalnya juga baik kok Cla.”
Lagi-lagi Clara tersenyum, ia tahu betul kepercayaan yang hilang dari sahabatnya itu. Clara tidak bisa membalas kalimat Anagata, karena itu ia hanya mampu terdiam lalu tersenyum.
“Lo... masih belum bisa untuk percaya lagi?.”
“Percaya untuk?.”
“Kasih kesempatan kedua untuk Mahesa itu gak salah kok Nat.”
Mendengar nama laki-laki itu disebut Anagata kehilangan minat untuk berbicara, Anagata kembali diam, ia tidak ingin bahkan tidak pernah ingin jika harus merasakan patah hati lagi.
“Nat.”
“Cla, Lo jangan terlalu baik jadi manusia. Karena manusia itu sumber utama Lo kecewa, siapa pun itu bahkan orang terdekat Lo bisa buat Lo kecewa.”
“Lo gak cape? Pendam semuanya?.”
Anagata menyentuh jemari Clara, ia menatap lekat sahabatnya itu. “Gak semuanya harus gua utarakan bukan?.”***
“Muka Lo kenapa Hes?.”
Evan terkekeh melihat wajah Mahesa pagi hari ini. Tetapi kekehan Evan dibalas tatapan tajam oleh Mahesa.
“Diem.”
“Galak amat.”
Vallen hanya tersenyum pasrah mendengar perdebatan kedua sahabatnya, ia lebih memilih diam tanpa berbicara sedikit pun.
Sekarang mereka berada di kantin guna mengisi perut mereka yang kekosongan, bisa dikatakan ketiga laki-laki sialan itu membolos karena bel istirahat pun belum berbunyi. Butuh waktu lima menit lagi bel itu akan berbunyi tetapi mereka sudah tidak tahan berada di dalam kelas.
"Cewe gue mana ya?."
Vallen mengernyit, "Sejak kapan Lo punya?."
"Ck, kan emang udah punya."
"Siapa?."
"Cla-."
"Halu, jadian aja kaga."
“Ya... tapi kan mau.*
“Tapi lama.”
“Lo berdua bisa diem?.”
Peringatan bernada dingin itu berhasil membuat Vallen dan Dodo serempak diam dan hanya memandang satu sama lain. Keduanya memasang wajah malas karena seseorang yang membentaknya tadi tengah melihat-lihat bekas luka yang ada di wajahnya menggunakan cermin.
“Banyak juga tuh lukanya.”
Mahesa menoleh, tidak berniat menjawab karena suaranya akan teredam oleh suara-suara lainnya yang entah sejak kapan sudah memenuhi seisi kantin. Bel yang mereka-mereka tunggu-tunggu telah berbunyi nyaring dan saat itu juga semua penghuni kelas berhamburan pergi menuju kantin.
"Rame bener yak."
Vallen yang mendengar penuturan dari Evan hanya menganggukkan kepalanya, lalu Vallen menatap dua sosok yang berada satu meja dengannya. Tatapan Vallen ternyata mengundang tanya dari wajah mereka.
"Kalau Clara dan kawan-kawan kesini, kita harus satu meja sama mereka."
"Setuju." Evan mengatakan itu sambil memukul kecil meja di depannya dengan semangat.
Mahesa yang diam tidak berbicara, tidak tertawa, tidak tersenyum membuat kedua sahabatnya itu lagi-lagi menatap Mahesa penuh tanya.
“Lo kenapa sih Hes?.”
“Enggak.”
“Lo mau kan? Satu meja sama Nanat loh.”
"Duluan aja gua mau balik kelas."
"Eh? Kena-."
Evan mendengus, pertanyaan tidak dijawab karena Mahesa pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua. Evan menatap Vallen di samping nya yang sebenarnya juga sedang memikirkan mengapa Mahesa bersikap demikian.
"Dia kenapa sih?.”
“Gua gak tau Van.”
Evan menghembuskan nafasnya, kemudian ia bertanya lagi. "Ada masalah kah?.”
Vallen mendongakkan kepalanya, bingung ingin menjawab pertanyaan dari Evan seperti apa. Mereka bertiga bersahabat, tetapi Evan lah yang tidak mengetahui Masalah Mahesa.
"Lo masih ingat sama Arga?."
Evan mengangguk, terasa nama itu tidak asing baginya. Kemudian Evan mencondongkan tubuhnya menghadap Vallen, sepertinya ia tertarik akan topik ini.
“Dia lagu berusaha untuk dekat sama Anagata.”
"Nanat?."
"Iya."
Evan mengernyit. "Kok bisa?.”
"Mungkin karena Arga tau kalau Anagata adalah cara terdekat untuk dia bisa jangkau Mahesa. Arga akan selalu lakukan apa pun untuk capai keinginannya.
"Balas dendam." Celetuk Evan tiba-tiba.
"Mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The Same[Revisi]
Roman pour Adolescentspinned⚠️: Judul Awal (Anagata) Ssst! This is my first story! . . . . Anagata, kerap di sapa "Nanat" oleh orang terdekat nya. Sikap cuek dan tidak peduli menjadikan ia sedikit memiliki teman, hanya ada beberapa orang saja yang ia rasa tulus padanya d...