8. Apa itu Sayang?

2.6K 257 5
                                    

"Selamat pagi, sayang."

Matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya, seperti layaknya pergantian hari biasanya. Bintang-bintang masih terlihat walau cahayanya tak seterang di malam, hembusan angin terasa dingin menyapu kulit dua insan yang tengah duduk berdua di atas atap Mansion.

Indahnya gradasi warna antara gelap dan terang, di antara itu ada bintang-bintang yang mulai samar. Indurasmi menghilang, bulan tak lagi memberi sinar terang. Hingga Matahari sanggup menampakkan diri separuhnya, langit mulai didominasi oleh warna merah kekuningan.

"Aku baru tahu ada langit seperti ini," Regina mendongak menikmati betapa indah dari akibat matahari yang muncul perlahan.

"Ini matahari terbit," Javas tersenyum merangkul pundak Regina, "Perubahan malam ke pagi."

"Apakah bulan akan hilang?"

"Dia akan kembali menjalankan tugasnya untuk menerangi malam."

Regina mengangguk. Belum genap tiga hari semenjak ia berada di sini, tapi sudah banyak hal baru yang masuk ke pandangannya. Betapa indah interaksi alam dan manusia, itu adalah surga yang harus dinikmati tiap hela napas yang berhembus. Regina tidak ingin menyiakan satu hembusan pun.

"Kenapa kamu tidak kembali ke kamarmu tadi malam?" tanya Javas yang kini menyisir rambut Regina menggunakan jari-jarinya.

Regina ingat akan alasannya, "Aku menunggu bintang."

"Ayo, mari kita melihat bintang yang sudah aku bawa untukmu, sayang."

Ini adalah sesi paling menyenangkan bagi Regina, di mana ia akan menginjak angin kosong dan melayang-layang di udara. Walau terkesan berbahaya, berada di pelukan hangat Javas terasa sangat aman. Tuuh besar lelaki itu merangkul Regina yang memiliki perbedaan tinggi sangat jauh.

Mereka terbang menuju sebuah taman luas di samping Mansion. Entah sejak kapan terdapat sebuah pintu di sana, sepertinya baru dibuat kemarin malam. Javas menuntun Regina memasuki pintu asing itu, hingga sampailah mereka pada sebuah ruangan penuh cahaya cemerlang. Di tengah ruangan itu memiliki sebuah kepingan kecil dengan cahaya yang mampu membuat manusia menyipitkan matanya.

"Ini kepingan bintang, hanya tidak sampai satu persen dari aslinya." Javas tersenyum, "Jika aku membawa bintang utuh ... akan berbahaya bagi mata manusia sepertimu."

"Tapi ini sangat indah." Regina terfokus pada cahaya indah di pusat ruangan itu. Walau ukurannya tak lebih dari lebar sepatu, cahaya yang dihasilkan bintang begitu indah.

Javas menarik Regina duduk di kursi dekat mereka, "Cahaya dari bintang ini tidak akan redup, abadi selamanya."

"Aku sangat senang," Regina menatap pupil mata Javas yang berwarna hitam persis dengan rambutnya, "Terima kasih."

"Sama-sama, sayang."

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Javas mengangguk, "Ya?"

"Apa itu sayang?"

Tampaknya Javas telah menemukan hal paling lucu di dunia. Walau lelaki itu tahu, Regina bertanya karena tidak tahu. Tapi hati kecilnya ingin menganggap pertanyaan terlontar ini sebuah godaan untuknya.

"Biar aku jelaskan." Javas mengenggam tangan gadis di depannya, "Apa yang kamu rasakan saat aku memegang tanganmu?"

"Hangat," timpal Regina tanpa pikir panjang.

Kini Javas menghapus jarak di antara mereka, mencium kening Regina yang tampak sangat indah di matanya. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya lagi Javas.

"Uh ...."

Sebenarnya ini bukan pertama kali Javas mencium kening Regina, namun gadis itu baru benar-benar merasakan bagaimana sensasi bibir seksi Javas menyentuh kulit.

Seolah ada sesuatu yang menyetrum tubuhnya, dan banyak kupu-kupu yang menggelitik di dalam dada. Hati Regina berpacu begitu cepat bagai tengah lari kencang.

"Ini aneh." gumam Regina merasa malu, "Ini berdebar kencang sekali."

"Itu terjadi karena ungkapan rasa sayang, antara kamu dan aku. Kita adalah pasangan suami istri, Regina. Sudah menikah ribuan tahun yang lalu, melewati berbagai jaman yang berubah di dunia ini, tapi cinta kita tetap abadi."

"Apa maksudnya?"

Javas tersenyum, "Intinya ... aku menyayangi kamu."

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang