27. Tujuan Hidup

197 33 5
                                    

"Darurat! Beberapa desa hampir hancur karena naga saling bertarung! Ksatria, cepat berkumpul dan selamatkan warga desa!"

Istana tiba-tiba saja riuh. Berita mengabarkan jika beberapa naga saling bertarung di ujung Kekaisaran. Dampaknya bukan main, beberapa desa di dekatnya hampir hancur. Sebab itu pula banyak ksatria berjaga yang tergesa-gesa meninggalkan tugasnya. Keamanan Istana turun drastis.

Regina sudah susah payah memakai pakaian pelayan, takdir membantunya. Tak ada yang memperhatikan Regina karena kekacauan yang terjadi tiba-tiba. Gadis itu melewati gerbang belakang Istana begitu cepat.

Berlari tertatih-tatih Regina tanpa arah, asalkan berhasil menjauh dari Istana neraka yang sudah membuat ia hampir gila. Dengan benak bertanya-tanya apalah yang terjadi di ujung desa, apa ini perang naga yang Javas ujar?

Sejujurnya Regina marah besar. Penderitaan yang Regina alami di Istana tak akan terjadi jika Javas tidak gegabah mengantarnya ke Istana. Bukan semakin sehat, ia malah sekarat. Banyak luka yang masih hangat di tubuh Regina, bersama sendi nyeri atau kaki hampir kebas.

"Di saat seperti ini ... kapan kamu kembali," gumam Regina terus tertatih-tatih.

Apa tujuan hidup yang Regina pertahankan? Berkali-kali mati sebagai seorang kekasih. Tersiksa, dibenci. Merasa wajar bila dicaci-maki. Bahkan seluruh manusia juga berharap ia mati.

Benarkah hidupnya hanya sekadar untuk menonton interaksi buana? Lucu terdengar karena romansa yang Regina nikmati kini hampir membuat Kekaisaran musnah.

Dasar manusia, tamak serakah. Regina sudah rakus tentang keadilan hidupnya. Entah harus menagih pada siapa. Saat ia senang menikmati interaksi sederhana, badai lain datang memancing tamak. Maka jangan salahkan Regina jika ia menagih tentang keadilan hidupnya.

Tanpa sadar Regina terhenti di ujung jurang tempat ia dijadikan tumbal pengorbanan. Tempat puncak tujuan hidupnya, mati dan dilempar pada sang naga hitam.

"... Regina?"

Suara familiar itu terdengar tidak menyenangkan. Regina tersentak, berpaling ke belakang tanpa pikir panjang. Oh, Javas ... apa yang terjadi padanya. Kain yang biasanya terlilit elegan itu tampak berantakan. Terluka parah, memprihatinkan.

"Bagaimana bisa kamu di sini?" tanya Javas lantas mendekat. Lihat, kaki pria itu juga pincang. Lukanya tampak parah.

Regina tersenyum masygul, "Lalu kamu kenapa juga di sini?"

"Aku-"

"Kamu gagal?" potong Regina tak sabar, ekspresi wajahnya berubah.

Javas membuka mulutnya tanpa bersuara, kalimat yang ingin pria itu hantar tersendat di tenggorokan. Tak memberi jawaban pasti, tapi Regina mengerti.

"Kamu gagal, aku juga gagal." Regina menghela napas besar. "Bukankah semua ini sia-sia? Javas, haruskah kita menyerah?"

"Tidak." Javas menggeleng tegas. "Dari mana keberanian mulutmu itu muncul? Jangan berkata begitu ...."

"Keberanian? Oh, hal ini muncul karena aku disiksa di Istana. Kamu bertanya-tanya dari mana lukaku muncul? Ini berasal dari keputusan cerobohmu yang berpikir Istana itu aman!" bentak Regina.

Javas mengerutkan keningnya, "Sayang, maafkan aku. Aku tidak tahu jika-"

"Tidak, aku yang meminta maaf." Regina kembali tersenyum. "Kenapa aku menyalahkanmu ... ini salah takdir yang membuatku harus mati berkali-kali hanya untukmu."

"Apa?"

"Tidakkah kau muak jika hidupmu hanya untuk orang lain? Apa jika aku mati, aku akan terlahir kembali sebagai Regina yang baru?"

Javas menentang keras, "Kamu sedang sakit! Penyakitmu itu, kemungkinan membuatmu mati abadi dan tidak akan terlahir kembali, sayang!"

"Itu semakin bagus, kan? Benar, Javas ... aku sudah lelah hidup untuk orang lain."

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang