11. Yang Seharusnya Mati

2K 191 3
                                    

"... Bukan gempa biasa."

Getaran hebat itu akhirnya berhenti, dunia sudah tenang. Keheningan luar biasa pun disusul oleh riuhnya para warga. Mereka lekas-lekas memeriksa keluarganya sendiri, wanita yang gemetaran, atau anak-anak yang menangis ketakutan. Indah ibu kota disulap sekejap menjadi medan neraka. Tidak sampai sepuluh detik, bangunan kecil sampai yang berlantai tiga sudah menjadi satu dengan tanah.

Javas mengangkat tangannya, tiba-tiba sebuah jubah muncul. Lelaki itu memasang jubah tepat di atas tubuh Regina, terpasang rapi. "Aku harus pergi memastikan sesuatu, hanya lima menit." ujar Javas sembari merapikan tudung yang menutupi rambut perak Regina.

"Ke mana?"

"Aku akan menjelaskan nanti. Kamu harus bersembunyi di suatu tempat yang aman, Sayang. Pastikan rambut perakmu tidak terlihat orang. Apa kamu mengerti?"

Regina tampak enggan. Tapi melihat ekspresi Javas yang sama sekali tidak bagus, gadis itu hanya bisa mengangguk setengah hati. "Baiklah. Tolong kembali dengan cepat dan selamat."

"Tentu."

Javas menyempatkan diri untuk mencium kening Regina, lantas terbang hingga tak lagi nampak di bumantara. Melihat Javas yang sudah menghilang, Regina merapatkan tudungnya lalu berlari ke sudut gang sepi. Sebisa mungkin bersembunyi hingga Javas kembali. Tiap langkah yang Regina buat, ada banyak kejadian yang gadis itu lihat. Entah itu pedagang yang terduduk lemas di toko hancurnya, atau pula mayat yang tertimbun reruntuhan bangunan. Juga ... keluarga yang menangisi saudara yang tiada.

Regina menghentikan langkah, menatap seorang ibu yang menangisi bocah laki-laki dalam pelukannya. Bocah itu tampak mengenaskan, penampakannya sudah dapat meyakinkan semua orang jika bocah itu sudah tak bernyawa. Tangisan sang ibu tidak terlalu mencolok di antara riuhnya warga lain. Mereka hanya berdua ... di sela-sela bangunan kosong. Kasihan, Regina tanpa sadar berjalan mendekat.

"Apa dia putramu?"

Ibu rimpuh itu mendongak lantas mulutnya terbuka sedikit seraya mengangguk sedih. "Benar, putra saya."

Regina berjongkok menatap kaki bocah yang tertimpa reruntuhan bangunan. Sekilas melihatpun satu dunia akan tahu jika kakinya sudah hancur.  "Pasti ibu sedih sekali." Regina merenung. "Putra yang sangat ibu sayangi menjadi seperti ini."

Tangisan yang tadi sempat tenang kini kembali terdengar, ibu menangis sesenggukan hingga tampak seperti orang yang sekarat. Tubuh tua itu gemetaran, kedua matanya menunduk menatap jasad sang putra. Betapa besar kasih sayang ibu kepada putranya. Regina jadi ikut merasa sedih. Belajar dari apa yang dikatakan Javas, peluk seseorang jika kau ingin menghiburnya. Lantas Regina menghapus jarak dan memeluk daksa rimpuh sang ibu.

"Aku ingin menghibur ibu," Regina mengusap punggung gemetar tersebut. "Putra ibu tidak akan senang jika ibu terlalu sedih."

"... Terima kasih."

Diam-diam Regina memikirkan hari di mana ia dilempar ke dalam jurang. Ibu kandungnya, Countess Voresham, saat itu memanggilnya dengan lantang. Tanpa malu ibunya mengaku permintaan maaf. Apakah ... permintaan maaf saat itu tulus? Apakah ibu menyayangi Regina?

Regina menghapus segala pemikiran tidak bergunanya. "Semoga putra anda tenang di sa--"

"Rambut perak!"

Tiba-tiba ada teriakan kencang yang menarik perhatian sekitar. Regina berpaling ke belakang, tampaklah seorang ksatria dengan logo yang amat dikenalnya. Itu logo Count Voresham, milik keluarganya.

Regina tersentak lantas memeriksa kepalanya. Oh, sial, tudung Regima terlepas karena angin kencang! Rambut perak yang harus disembunyikan kini sudah terekspos luas.

"Regina?"

Suara yang familiar berhasil membuat jantung Regina berhenti berdetak beberapa detik, bahkan gadis itu merinding.

"A-ayah ... "

"Yang seharusnya mati," Count Voresham mengerutkan keningnya penuh amarah. "Kenapa kau bisa ada di sini?!"

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang