26. Oh, Javas

90 16 0
                                    

Perundungan yang terjadi di Istana semakin parah saja. Berat badan Regina turun drastis akibat sup basi yang bahkan jarang sekali diberikan. Saat Regina sekarat saja, barulah pelayan datang dan meletakkan kasar sup basi yang dihangatkan tergesa-gesa.

Setidaknya ... sup itu masih hangat.

Tapi tampaknya hari ini Istana berubah menjadi neraka bagi Regina.

Pangeran Zanka berulah lebih dari biasanya. Memanggil beberapa pelayan untuk menyeret paksa tubuh rimpuh Regina menuju lantai paling bawah, penjara. Hawa lembab, gelap, tiap langkah akan bergema jejak ke tiap sudut pengap.

Suasana familiar ini, Regina mengerti. Di depannya ada Pangeran Zanka yang bersiap memasang sarung tangan dengan cambuk di sisi lainnya. Suasana familiar ini, Regina ... mengerti.

"Oh, Javas ...." gumam Regina yang menunduk pasrah. Tubuhnya dipontang-panting sedemikian rupa lalu diborgol ujung lengannya. Gaun yang bertengger kini tak tersisa sebuah indah, pucat pasi ... sama persis layak kulit dan rambut perak bersih.

Pangeran Zanka mengumpat. "Hari ini seluruh Istana terlihat begitu brengsek! Kau, jadilah samsak kemarahanku."

Cambuk itu terangkat, ujung tajamnya tak segan mendera kulit pucatnya. Javas ... Ini sakit sekali.  Regina menangis untuk pertama kali di Istana. Rasa sakit dan suasana familiar ini, Regina ... mengerti.

Apa begitu tak layak Regina bahagia sampai perlu pasrah tercambuk dera? Apa salahnya hingga seluruh umat manusia mengharap kematiannya?

Regina tak meminta dilahirkan dengan kutukan. Regina tak meminta dilahirkan ... hanya tak meminta dilahirkan.

"Oh, naga hitam sialan itu! Jadi Javas namanya?" Pangeran Zanka berhenti menggerakkan cambuknya. "Dia tak pernah menjengukmu, jadi kupikir kau dibuang?"

"Tutup mulutmu!" seru Regina. Ini benar-benar pertama kalinya ia menangis dan berseru.

Pangeran Zanka terkejut. "Sial, kau melawan!"

Malam datang pun menjadi akhir dari jamuan yang Pangeran Zanka nikmati. Regina yang setengah sadar itu kembali diseret menuju kamar. Dilemparnya Regina ke atas ranjang tanpa memerhatikan luka-luka cambuk yang baru saja tercipta.

Ceklek.

Kamar itu akhirnya sunyi. Regina membuka matanya yang berat hampir sekarat.

"... Hiks."

Hari ini Regina menyalahkan Javas yang tak kunjung kembali dan melindunginya. Luka-luka yang masih baru itu sakit bersentuhan dengan ranjang yang penuh sup basi.

"Aku bahkan tak pernah meminta dilahirkan menjadi istrimu selama ribuan tahun! Lalu kenapa aku harus tersiksa ...!" marah, napasnya tersengal. Mau kabur juga tidak bisa, kamar ini berada di lantai tiga Istana.

Haruskah Regina nekat sedikit?

Berjalan tertatih gadis itu menuju jendela. Oh, terlihat balkon lain yang ada di bawah lantai ini. Jika Regina melompat dari balkon lantai dua, mungkin gadis itu hanya akan mengalami cedera. Lagipula tubuh Regina sudah penuh luka, patah dan cedera adalah hal ringan baginya.

Entah datang dari mana kekuatan dan keberanian itu. Regina turun perlahan dan berhasil menginjak balkon lantai dua. Nah, sekarang tinggal melompat saja.

Menatap tanah yang lumayan menyeramkan dari sini, sempat terbesit keraguan. Tapi Regina segera menepis ragu itu. "Sialan saja dunia." umpatnya.

Melompat.

Brak!

Ya, ampun. Regina memang tak punya lagi keberuntungan tersisa. Posisi kakinya tidak tepat, mungkin kaki kiri itu patah. Melompat dari lantai dua sedikit sakit ... ternyata.

Tanpa membuang waktu Regina berjalan sembunyi-sembunyi, berharap menemukan jalan keluar dari taman Istana. Menghindari pelayan, untunglah di area ini tak banyak penjaga karena ini area pelayan.

Tak lama kemudian Regina melihat sebuah pintu belakang yang hanya bisa diakses oleh pelayan. Dan ... Regina juga sedang berdekatan dengan ruang cuci baju.

Oh, Javas ... haruskah Regina nekat lagi?

-----


what a surprise ... regina yang awalnya susah bicara dan pendiam, sekarang sudah senekat ini. anak kecayangan <3

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang