Tok tok tok
"Sayang, aku membuatkan sup untukmu." ujar Javas setelah mengetuk pintu.
Beberapa saat berlalu, tapi Regina tak kunjung menampakkan dirinya. "Aku meninggalkan sup ini di depan pintu, pastikan kamu memakannya." lanjut Javas dengan senyum pahit.
Sudah tiga hari semenjak Regina yang nekat hampir membunuh dirinya sendiri. Setelah itu, Regina mengunci dirinya di kamar. Tak keluar, tak bicara, seolah tak lagi ada kehadirannya.
Memastikan Javas sudah menjauh, Regina membuka pintu dan melahap sup itu. Luka-luka Regina hampir sembuh, penyakitnya juga membaik karena makanan yang diberi teratur. Obat yang Javas beli begitu manjur, pasti mahal.
"Semahal apa pun obatnya, tetap sihirmu yang lebih menenangkanku, kan." gumam Regina kembali melahap satu suap. Kini rambut Regina seperti laki-laki, pendek, berantakan, membuatnya terlihat menyedihkan.
Regina masih bertanya-tanya apa alasannya marah. Apa hal yang benar jika ia meluapkan kekesalannya pada Javas? Apa hal yang benar ... jika Javas menjadi samsak kegundahan hatinya?
Benarkah Javas yang menjadi biang kerok roda kesialan hidupnya? Dilahirkan, disiksa, lalu dibuang jadi persembahan.
Bukankah Javas juga tak bisa berbuat apa-apa karena takdir adalah hal mutlak?
Tok tok tok
Regina tersentak ketika pintu terketuk kembali, bukankah Javas baru saja pergi?
"Regina, sayangku ... bisakah aku masuk? Kita tidak bisa terus seperti ini, ya?" bujuk Javas dari luar pintu.
Regina terdiam beberapa saat, meletakkan supnya yang baru habis setengah lalu berjalan mantap menuju pintu. Dibukanya pintu itu, lantas tampak wajah familiar yang sudah tak ia lihat selama tiga hari.
"Apa?" Regina tersentak.
Javas adalah pria jangkung yang tampan, dengan rambut panjang hitam legam membuatnya tampak begitu dewasa. Tapi ... yang ada di depannya, kini Javas dengan rambut sama seperti Regina. Rambut pendek berantakan.
"Aku memotong rambutku." ungkap Javas tak ragu. "Agar kita sama."
"Kamu melakukan hal yang sia-sia."
Javas tersenyum sembari bertanya perlahan. "Ya, bisakah kita bicara?"
"... Masuklah."
Regina dan Javas duduk berdampingan di ujung ranjang. "Maafkan aku, Regina."
Regina tak menoleh. "Maaf untuk apa?"
"Karena sudah jadi akar kesialanmu. Tapi kamu harus tahu ... jika kamu muak karena dilahirkan hanya untuk jadi persembahanku, maka aku juga dilahirkan hanya untuk jadi suamimu. Semuanya baik-baik saja, tapi itu berantakan sampai manusia semakin bejat dalam memanusiakan manusia lainnya."
Akhirnya Regina menoleh. "Jadi kamu ingin bilang bahwa sikap putus asaku berlebihan?"
"Apa? Tidak! Dengarkan aku, Sayang. Aku tahu ini salahku. Salahku karena membuat ras naga berperang, salahku sudah membuatmu terkena penyakit, dan salahku ... karena gagal menghentikan semua ini." Javas tersenyum masygul. "Walau kamu muak jadi istriku dan ingin pergi, aku tak akan membiarkanmu, tahu? Aku mencintaimu. Daripada pasrah membiarkanmu pergi dengan alasan agar kamu bahagia, lebih baik aku terus mencari cara agar kamu bisa berbahagia saat bersamaku."
"Tak akan melepasmu, aku tak akan menyerah." lanjut Javas dengan tegas.
Yah, sebenarnya sejak kapan semua ini begitu berantakan? Saat Regina kehilangan semangat hidupnya dan sampai di Mansion ini, Javas memberi semangat baru. Memperkenalkan indah, interaksi buana, Regina cinta. Tapi Regina pikir, menikmati interaksi buana adalah hal yang terlalu remeh untuk jadi tujuan bertahan hidupnya.
"Javas, bawa aku ke bintang yang pernah kamu ambil untukku." ujar Regina. "Aku merindukan bintang."
KAMU SEDANG MEMBACA
REGINA: Don't Want to Die
Fantasy[UPDATE 2 BAB SETIAP HARI] Regina pemilik rambut perak terkutuk dan harus hidup sebagai persembahan sang naga hitam, Javas. Belasan tahun ia dibesarkan dalam penjara, akhirnya Regina akan dibawa pada sang naga. Javas tersenyum merentangkan kedua le...