Langit mulai cerah, walau begitu ibu kota tampak seperti kota rimpuh yang rubuh. Beberapa bangunan hancur karena gempa, tapi Mansion bangsawan yang amat kuat dindingnya tidak terpengaruh.
Javas turun tepat di depan gerbang super besar. Itu adalah Istana, sebuah tempat agung yang tidak bisa dimasuki kebanyakan manusia. Bahkan dari luar saja sudah tampak betapa agungnya tempat ini. Dinding mereka berlapis emas di tiap sudut, patung-patung dari seniman legendaris tertata rapi di halaman. Ukurannya ... dua kali lebih besar dari Mansion Count Voresham.
"Siapa kau?" tanya salah satu penjaga gerbang.
Javas mengabaikan pengawal itu, tetap berjalan masuk sembari mengeratkan pelukannya pada Regina.
"Apa?" Pengawal itu kesal karena diabaikan. "Jangan bergerak!"
Javas tidak punya waktu untuk meladeni penjaga tidak penting sepertinya. Ia terus berjalan, mendorong gerbang hingga gerbang itu meleleh menyisakan lubang besar di sana.
Para penjaga berkumpul semakin banyak dan mendekati Javas secara bersamaan. Namun setelah satu langkah digerakkan, mereka terhempas dengan sesuatu yang tak kasat mata. Patung-patung seniman legenda hancur menjadi dua bagian. Tanaman seindah berlian sudah tidak berbentuk lagi.
Langkah Javas semakin cepat, mendobrak pintu Istana yang tampaknya sangat berat. "Kaisar!" lelaki itu membentak kencang, "Tunjukkan dirimu!"
Akhirnya dari lantai dua, turun seorang pria tua berselimut jubah merah berhias permata. Ah, sang Kaisar Tarandea. Mahkota yang bertengger di kepalanya tampak sangat kokoh dan agung. Tiap langkahnya memancarkan aura yang luar biasa.
"Siapa manusia yang berani mengacau Istanaku?" tanya Kaisar itu marah.
Javas tersenyum mengejek. "Istanamu? Sudahlah, aku hanya ingin kau memberiku tabib terbaik di Kekaisaran ini."
"Beraninya kau tidak menundukkan kepala pada Kaisar yang agung!" teriak si remaja laki-laki di samping Kaisar. Remaja itu sang putra mahkota, satu-satunya pangeran di Kekaisaran. Zanka Tarandea, lelaki 17 tahun dengan rambut emas seperti ayahnya.
Javas mengabaikan putra mahkota yang tampak sangat membara amarahnya. "Kaisar, cepat beri aku tabib atau Istana ini akan aku ambil kembali."
"Ambil kembali?" Kaisar mengerutkan alisnya. "Ini Istanaku, apa maksudmu seolah mempunyai hak untuk itu?"
Zanka tiba-tiba memberi perintah. "Pengawal! Usir orang gila ini dan masukkan ke penjara!"
Para pengawal mendekat entah dari mana, mereka mengelilingi Javas dengan sebilah pedang yang siap menghunus kapan saja. Javas merasa kesabarannya sudah habis, di pelukannya, Regina semakin kesulitan bernapas. Ia tidak punya waktu lagi. Tiba-tiba saja lelaki itu memejamkan mata hingga muncul sebuah cahaya hitam di sekujur tubuhnya. Lantas Javas membuka mata, dan cahaya hitam itu meledak di aula Istana.
Duar!
Hembusan angin kencang datang menghamburkan apa saja yang terkena. Untuk pertama kalinya Istana bergetar hebat, bahkan gempa barusan tidak mengguncang satu inci pun dinding Istana. Hiasan ratusan juta emas berubah menjadi kepingan tidak berharga. Lukisan yang dinilai amat mahal sudah tertimbun dan kusut.
Istana menjadi berantakan dalam satu detik.
Kaisar tercengang, bahkan pria itu terduduk lemas di lantai tangga. Jubah agungnya kotor, salah satu pertama mahal miliknya hancur karena jatuh tidak sengaja.
"Siapa kau?" tanya Kaisar dengan nada yang dipaksa tenang.
Javas menunduk sembari memeluk erat Regina yang semakin berat napasnya. Walau Javas bisa memberi sihir penyembuhan, tapi itu terbatas jika sudah begitu sekarat seperti ini.
"Beri aku tabib," Javas mengusap pipi Regina yang terluka. "Aku perlu berdiskusi dengannya untuk memastikan sesuatu."
---------
guysss baru bisa up satu, apalagi jumlah katanya dikit. maaf, ya, janji deh secepatnya bakal up banyakk, soalnya ini mau lomba di sekolah. doain ya, menang! 💝
jangan lupa vote dan komentar, tysm 😻
KAMU SEDANG MEMBACA
REGINA: Don't Want to Die
Fantasía[UPDATE 2 BAB SETIAP HARI] Regina pemilik rambut perak terkutuk dan harus hidup sebagai persembahan sang naga hitam, Javas. Belasan tahun ia dibesarkan dalam penjara, akhirnya Regina akan dibawa pada sang naga. Javas tersenyum merentangkan kedua le...