Di pinggir sungai yang airnya mengalir dengan deras, duduk seorang gadis cantik sedang bersandar di batu besar. Berwajah ayu dengan mata yang teduh dan menatap lurus ke arah air yang beriak.
Tatapan matanya kosong, bibirnya pucat pasi dengan kulit yang berwarna putih hingga urat-urat biru terlihat jelas di tangan dan jemari lentiknya.
Ia duduk seorang diri, menikmati alunan gemericik air dan juga suara serangga hutan yang saling bersahut-sahutan.
Di bawah sinar bulan yang berpendar, air yang bergulung terlihat indah. Buih-buih air terlihat seperti salju di kejauhan.
Ia begitu menikmati suasana kesendirian yang begitu menenangkan sembari menunggu sang ibu pulang.
Srak-srak!
Mata gadis itu tiba-tiba bergerak dan langsung bangkit. Kedua tangannya menumpu di tanah, beranjak dari sisi batu kali besar dan mengayun kakinya, melangkah menjauhi sisi sungai.
"Ibu!" panggilnya pada perempuan tua yang melangkah mendekat. Langkah wanita itu begitu cepat meski dengan tubuh yang terbungkuk.
"Maaf menunggu lama, Nduk. Ibu tadi sempat mengalami kendala saat mengambil makanan untukmu," wanita itu terengah saat berada di hadapan anak perempuannya.
Gadis itu bergeming dan menatap sedih wanita tua yang masih berjuang untuk dirinya.
"Bu, kapan Sumi bisa cari makan sendiri? Sumi kasihan lihat ibu, biar Sumi bantu, Bu," gumam gadis berambut panjang itu sembari menyentuh lengan ibunya lembut.
Wajah yang sudah keriput itu langsung murung. Tangan kurusnya ia angkat dan menggenggam tangan putri tercintanya.
"Ini sudah sering kita bicarakan, Nduk. Sekarang kita pulang dan kamu makan ini, kamu pasti sangat lapar," titahnnya yang langsung diangguki anaknya.
Mereka lalu berjalan berdampingan menuju rumah gubuk yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbia yang tak jauh dari sisi sungai.
Rumah sederhana yang masih beralaskan tanah itu terlihat lengang saat wanita itu membukanya.
Aroma pengap seketika menyeruak saat pintu terbuka. Bukan hanya pengap, bau bangkai pun menusuk rongga penciuman.
Untuk orang biasa, bau itu pasti sudah membuat muntah, tapi tidak bagi Sumiati dan juga ibunya.
Dua wanita yang hidup bersama itu begitu senang dengan aroma rumah dan juga kondisi rumah yang penuh debu dan sarang laba-laba. Bagi mereka itu adalah tempat ternyaman.
"Sumi ambil piring dulu, Bu," ucap gadis bertubuh langsing itu seraya melangkah masuk ke arah dapur.
Ibunya hanya mengangguk pelan. Tatapan matanya gusar saat melihat anak gadisnya dari kejauhan.
Sumi meraih piring yang terbuat dari tanah liat buatan tangan ibunya dan dirinya untuk menjadi alas makanan yang di bawa orang tuanya.
Begitu tergesa hingga ia hampir lupa membawakan air dari kendi untuk membasahi kerongkongan ibunya.
Ia pun berbalik dan meraih cangkir diatas meja kayu dan mengambil air dari dalam kendi dengan centong yang terbuat dari batok kelapa dan ranting kayu jati.
Setelah cangkir terisi, ia membawa dua benda itu dengan terseok-seok, karena kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, ia mendekat ke arah wanita tua yang masih berdiri membisu.
"Alon-alon wae Nduk, ngko tibo," ( pelan-pelan aja, Nak, nanti jatuh)
Ia menatap khawatir dan kasihan pada gadis cantik yang langkahnya terpincang-pincang karena kakinya yang sebelah kanan lebih kecil dan tidak tumbuh sempurna.
Setiap ia melihat kekurangan anaknya itu, hatinya selalu merasakan sakit dan bagai tertusuk-tusuk belati.
"Njih Bu. Ini Bu piringnya, ayo kita makan, Sumi sudah lapar, Bu," sahut gadis itu dengan girang.
Wanita bertubuh bungkuk dengan kerut di wajahnya itu mengangguk. Ia pun bergerak ke arah kursi kayu yang kakinya sudah lapuk termakan rayap dan duduk di situ, berbarengan dengan Sumi.
"Ini Sum, malam ini kita makan yang spesial, bukan daging biasa seperti yang ibu bawa. Ini tentu lebih nikmat," ucap wanita tua itu sembari membuka bungkus kain dan meletakkan sesuatu di atas piring yang Sumi bawa.
Pluk!
Seonggok daging masih berdarah dan berserat-serat dengan bau amis yang sangat khas itu seketika membuat selera Sumi meningkat.
"Bu ... ayo kita makan, apa ibu tidak lapar?" tanya Sumi saat tangannya mulai memotong daging dengan pisau yang memang mereka letakkan di atas meja makan.
Wanita tua itu menggeleng pelan. Ia sudah menyantap daging sebelum pulang untuk menambah energinya.
"Kamu makan duluan saja, Ibu tadi udah makan, maaf tadi ibu makan duluan, itu karena ibu kehabisan tenaga saat berjibaku dengan calon mangsa," terangnya.
"Iya Bu, kalau begitu Sumi makan ya, Bu," ujar gadis itu sopan.
Wanita itu mengangguk. Seperti biasa, Sumi yang penurut selalu makan sesudah mendapat izin dari sang ibu.
Gadis itu seperti anak burung. Makan ketika sang ibu pulang membawa makanan, dan menunggu kepulangan ibu dengan hati yang was-was.
Setelah mendapat izin dari sang ibu, Sumi meraup potongan daging sebesar dua telapak tangan dan mengoyaknya dengan giginya yang rapat.
Ia mengunyah dengan lahap. Merem-melek merasakan nikmatnya daging yang terasa manis dan berbau amis, aroma yang sangat ia cintai.
Sesekali saat ia menekan daging dengan giginya, cairan yang keluar dari daging muncrat dan memenuhi seluruh rongga mulutnya. Sumi begitu menikmati gigitan dan kunyahan dari bagian daging yang lumer dan hancur secara perlahan.
"Bagaimana Sumi? apa kau suka dengan daging ini?"
Sumi menghentikan kunyahannya dan matanya mengerjap seolah mengiyakan.
"Daging apa ini, Bu? ini ... nikmat sekali," tuturnya seraya melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
Wanita tua itu terdiam beberapa saat, tapi kemudian ia lebih suka menyembunyikan kebenaran dari anak semata wayangnya.
"Daging babi hutan muda. Ia ibu jerat dan ibu kelebet kulitnya sebelum ibu bawa pulang," jelasnya.
"Eumh, besok Sumi ikut cari makan, Bu. Boleh ya? biar ibu ga capek lagi. Sumi bosan Bu di rumah terus dan mengurung diri," pinta Sumi. Ia meletakkan potongan daging di piring dan menatap ibunya penuh harap.
Wanita itu menggeleng pelan. "Kamu jangan pernah keluar rumah kalau siang. Cukup malam saja, dan jangan jauh-jauh dari rumah,"
"Dunia luar itu buruk. Ibu tidak bisa bayangin jika kamu bertemu dengan orang-orang jahat, ibu pasti akan mati jika sesuatu terjadi pada dirimu, Nak," tangis orang tua itu pecah, membuat selera makan Sumi hilang seketika dan ia pun merasa bersalah.
"Ibu ...," Sumi hendak mendekat tapi tangan ibu langsung terangkat, pertanda wanita itu ingin Sumi mendengarkan ucapannya.
"Berjanjilah, Kamu tidak akan meninggalkan ibu,"
Belum sempat Sumi berucap, telinganya mendengar derap langkah kuda mendekat ke arah rumahnya.
"Bu! ada kuda di sekitar rumah kita! ayo kita lihat, Bu. Itu bisa kita jadikan santapan berikutnya!" Sumi dengan semangat berlari ke arah pintu.
"Sumi! jangan buka pintunya!"
****