Wanita yang dipanggil ibu oleh Aksa itu mundur beberapa langkah. Matanya melotot menatap Sumi yang saat itu hanya memakai kain panjang sebagai penutup tubuh.
"Ndoro, mohon maaf, ini ... saya di suruh Den Mas Aksa," Mbok Nuriyah menunduk takut saat melihat mata wanita itu yang membesar, seolah hendak terlontar keluar.
"Emh-emh, ya, silahkan pakaikan dia baju yang layak," perintahnya seraya membalikkan tubuh dan pergi begitu saja.
Mbok Nuriah menatap majikannya heran. Wajah ketakutan terekam jelas saat Ndoro Ayu Nilam Winangsih berlalu dengan tergesa-gesa, seperti melihat hantu.
"Ayo, Nduk, ganti baju di kamar Mbok," ucap Mbok Nuriah. Ia dengan lembut membawa Sumi ke kamar sederhananya yang ada di daerah dapur dan tak jauh dari kamar mandi.
Sumi mengikuti Mbok Nuriah tanpa banyak bicara. Gadis itu sempat menatap kamar Mbok Nuriah yang hanya terdapat satu tempat tidur berukuran sedang, dan sebuah lemari kayu berukuran tinggi satu meter, yang hanya ada 2 pintu tanpa ukiran, serta sebuah meja rias sederhana dengan kaca lebar.
Mbok Nuriah lalu menyuruh Sumi untuk duduk diranjang tempat Ia tidur.
"Kamu duduk dulu ya, Nduk. Biar Mbok cari baju yang pas dan melek untuk kamu," ujarnya dengan senyum tipis yang membuat hati Sumi terasa hangat.
Sumi menatap wanita paruh baya yang sedang membelakanginya. Tangan tuanya yang mulai keriput memilih-milih baju di dalam lemari.
Gadis itu menatap punggung wanita itu dengan perasaan sedih. Teringat pada punggung ibunya yang ia tinggalkan.
Rasa rindu itu tiba-tiba menggelayut di dalam hati Sumi. Dalam sekejap ia menepis perasaan takut kepada sosok yang ia tangkap malam itu di dalam alam sadarnya.
Sosok mengerikan berbulu lebat dengan rambut panjang dan dada yang nyaris menyentuh perutnya.
Sosok bermata merah dengan taring yang mencuat, dan tubuh yang besar.
Rasa takut itu menguap begitu saja, berubah menjadi perasaan sesal yang kian membuatnya merindukan sosok ibu yang selama ini telah merawatnya.
Apalagi saat Mbok Nuriah menyebutnya dengan sebutan 'Nduk', Sumi melihat sosok ibunya.
Gadis itu tertunduk, meremas sprei batik berwarna coklat dengan motif bunga dan daun lebar yang saat ini di dudukinya.
Matanya berembun dan berkaca-kaca,bulir bening itu jatuh tanpa mampu ia tahan. Dadanya terasa sesak, dan ia sulit untuk bernapas.
'Ibu ... maafin Sumi, Bu,' batin Sumi yang diiringi isakkan pelan.
Wanita yang saat itu sedang memilih-milih pakaian, tiba-tiba menghentikan kegiatannya saat mendengar suara isakkan yang berasal dari belakang tubuhnya.
Nuriah perlahan berbalik dan mendapati gadis muda itu tengah tertunduk dengan bahunya yang bergerak naik turun. Suara tangisan pun terdengar lirih darinya.
Wanita itu khawatir dan langsung mendekati Sumi, duduk di sebelahnya.
"Sumi ...Sumi, kenapa, Nduk?" Nuriah refleks mengangkat tangannya dan menyentuh bahu Sumi yang bergetar. Menggosok-gosok pelan untuk membuat gadis itu tenang.
Sumi menggeleng pelan. " Mboten nopo-nopo, Mbok," lirihnya dengan suara pelan, nyaris berbisik.
"Sum ... sabar ya, Sum. Cerita sama Mbok, tapi sebelum itu, kamu pakai baju dulu," Mbok berdiri dan meraih daster panjang lalu memberikannya pada Sumi.
Gadis itu mendongak dan mengangguk. Ia menghapus dulu air matanya sebelum menerima pakaian yang disodorkan oleh Mbok Nuriyah.
"Oh, iya, ini dalemannya," Mbok kembali berbalik dan mengambil sepasang daleman yang masih baru, lalu menyerahkan dua benda itu pada Sumi.
"Pakailah, Sum. Kamu jangan takut, daleman ini masih sangat baru. Ini punya anak gadis Mbok. Kebetulan saat ini anak Ibu sedang bersekolah, dia tidur di kamar sebelah,"
"Terima kasih, Mbok. Sumi pakai, ya,"
Mbak Nuria menanggapi ucapan Sumi dengan anggukan. Ia dengan sabar membantu Sumi memakai pakaian.
Nuriah berdecak kagum. Awalnya ia melihat tubuh Sumi sangat kotor dan penuh dengan debu juga berbau.
Namun, setelah ia melihat tubuh polos gadis itu, ia baru sadar, tubuh Sumi sangat bersih, putih dan berkulit halus. Wajahnya pun menjadi sangat berseri dengan rambut hitam panjang yang berkilau. Sumi bagaikan berlian yang tertutup lumpur, sangat bersinar.
"Rene, Nduk. Mbok sisirin," Nuriah mengajak Sumi duduk di depan meja hias.
Sumi terjingkat. Ia heran saat melihat kaca. Selama ini ia tidak pernah melihat benda itu, apalagi ia melihat kaca memantulkan sosok Mbok Nuriah dengan gadis cantik bermata sendu di sampingnya.
Sumi menurunkan pandangannya dan mendapati daster yang ia pakai amat mirip dengan gadis berkulit putih yang ada di cermin.
"Kenapa, Sumi? ayo, duduk," Nuriah kembali menyuruh Sumi untuk duduk, tapi gadis itu menggeleng pelan.
"I--itu si--siapa, Mbok? dan i--itu apa? kenapa ada yang mirip Mbok di situ?" Tanya Sumi menatap takut-takut ke arah cermin seraya menunjuknya.
Mbok Nuriah membeliak. Ia lalu menoleh ke arah cermin dan kembali memindai tatapannya ke arah Sumi.
"Ini cermin, Sumi. Kamu tidak tahu cermin? tidak pernah lihat cermin sebelumnya?" tanya wanita itu heran.
Sumi menggeleng pelan. "Sumi tidak tahu itu apa, Mbok. Sumi belum pernah lihat itu sebelumnya," jujurnya.
"Ini cermin, Sumi. Benda yang terbuat dari kaca, dan memantulkan semua benda yang ada di hadapannya, termasuk kita,"
"Dan gadis di samping Mbok itu, itu adalah kamu, Sumi. Kamu lihat, gadis di cermin itu memakai pakaian yang sama seperti kamu," dengan sabar Mbok Nuriah menjelaskan pada Sumi.
Sumi terhenyak. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya.
Perlahan ia mendekat ke arah cermin dan duduk di depannya. Matanya lekat menatap setiap jengkal tubuh gadis yang di pantulkan cermin.
"Itu aku?" bisiknya pelan.
"Ya, itu kamu, Nduk. Mbok bantu sisirin rambut kamu, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Sumi, Nuriah meraih sisir dan mulai menyisiri rambut Sumi yang panjang melewati pinggang.
Sumi masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa gadis itu dirinya?
Berwajah cantik dengan kulit putih berseri. Sedangkan selama ini saat ia melihat bayangannya yang terpantul di air, berwajah kotor dan penuh debu juga tanah.
Sumi begitu mengagumi sosok yang terpantul di cermin. Benarkah itu dirinya?
***
Sementara itu, wanita yang dipanggil ibu oleh Aksa itu berjalan mondar-mandir di depan cermin kamarnya.Sesekali ia berdecak, dengan kening yang mengerut dan tangan yang bertolak di pinggang.
"Tidak, tidak mungkin itu dia! itu pasti bukan dia!"
"Apa itu anaknya? tidak! tidak mungkin! itu pasti tidak mungkin!" ia berbicara seorang diri.
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi kendaraan roda empat di luar rumah. Wanita yang masih tampak cantik di usia tuanya itu bergegas melangkah ke arah depan dan mencari tahu siapa yang datang.
Tanpa senyum, wanita itu membuka pintu dan langsung berlari ke arah mobil Jeep yang saat itu memasuki pekarangan rumahnya.
Seorang laki-laki gagah turun dari mobil dan hendak memeluk tubuh ramping itu, tapi wanita itu menolaknya.
"Ada apa, Sayang? kenapa wajahmu terlihat gusar?" tanyanya saat melihat wajah istrinya.
Wanita itu tanpa bicara lalu menarik suaminya ke tempat lain dan berbisik.
"Apa Mas yakin wanita itu sudah mati?"
"Wanita siapa?"
"Suparti!"
"Apa!? Suparti?"
****
,