"Nanti malam jika udara cerah, kamu tunggu ibumu di tepi sungai, dan lihat penampakannya dari pantulan dan permukaan air,"
"Kenapa begitu?" gadis berbibir pucat itu mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan ucapan manusia bernama Aksa itu.
"Pokoknya lakukan saja. Di mataku, ibumu adalah makhluk menyeramkan. Ia sama seperti makhluk yang menyerang dan memangsa empat penjagaku, dan aku yakin, daging yang kau makan tadi malam itu salah satu daging orang-orangku,"
"Kau jangan fitnah! ibuku tidak seperti itu!" bentak Sumi, tak terima karena Aksa bersikukuh dengan ucapannya tadi.
"Kamu buktikan saja sendiri, Sumi. Aku hanya ingin membalas budi padamu,"
"Lakukan apa yang aku suruh. Jika nanti kau percaya padaku, aku akan mengunggumu. Ditepi hutan ini terdapat perkebunan warga, ada salah satu rumah panggung yang cukup besar. Itu milikku. Aku akan datang menemuimu. Tunggulah aku di situ,"
Sumi terdiam. Bingung. Ibunya pasti bisa menemukan dirinya jika ia pergi dari tempat itu.
"Ibuku pasti menemukanku," lirih Sumi gusar.
"Pergilah saat ibumu tidak ada di rumah. Percayalah, aku tidak mungkin menjerumuskanmu. Aku hanya ingin menolongmu," Aksa menatap lembut gadis di hadapannya. Pakaiannya lusuh, malah seperti tak layak pakai. Berdebu. Wajah yang tidak terawat dan rambut yang awut-awutan, membuat Aksa iba.
Sumi menggigit bibir. Bingung.
"Tanyakan pada hatimu, apa memang kamu menyukai daging mentah seperti itu? makanan ini tidak layak untukmu. Aku akan memberikanmu makanan layak, yang baik untuk tubuh dan jiwamu,"
"Percayalah, Sumi. Aku orang pertama yang akan membantumu. Aku tulus, karena Allah,"
"Allah?"
Sumi terhenyak. Saat Aksa menyebut nama itu, jantungnya berdegup kencang. Seperti tidak suka saat nama itu di ucapkan.
" Ya Allah, Pencipta langit dan bu--,"
"Tolong jangan kamu lanjutkan, mendengar namanya kepalaku tiba-tiba menjadi pusing," ketus Sumi yang langsung memutus tatapannya dengan Aksa.
"Lebih baik kamu segera tinggalkan tempat ini, Aku tidak ingin Ibu sampai menemukanmu dan aku yang akan dimarahi ibu," lanjutnya yang membuat Aksa menghela nafas dalam.
" Baik, terima kasih sudah menolongku, Aku berharap kamu mau menerima ajakanku untuk pergi dari sini. Percayalah, aku tidak akan menyia-nyiakan dirimu. Aku akan menepati semua janjiku," ucapnya dengan tatapan sayu ke arah Sumi yang saat itu memunggunginya.
Lagi-lagi perasaan iba itu hadir begitu saja di hati Aksa. Ia seperti mempunyai perasaan lain kepada gadis itu, rasa tidak rela jika gadis itu tersia-sia, rasa ingin melindungi dan menjadikan gadis itu lebih baik kedepannya.
Sumi meremas jari jemarinya. Ia tertunduk dan menatap lantai tanah yang sedang diinjaknya dengan kaki telanjang.
Apa yang salah pada dirinya? mengapa ia merasa laki-laki itu mengucapkan kebenaran?
"A--aku tidak bisa berjanji. Aku tidak yakin ibuku seperti itu. Ibuku adalah orang baik. Dia yang merawatku dari kecil hingga aku dewasa seperti ini," pungkas Sumi masih membela ibunya, meski di ruang hatinya yang lain ia cukup terusik dengan ucapan Aksa mengenai wujud ibunya.
Aksa menatap nanar punggung Sumi. Ia takut jika nanti sumila yang akan menjadi santapan berikutnya. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana makhluk itu mencabik-cabik para penjaganya dan ia tidak ingin hal itu terjadi pada gadis sih itu akhirnya.
Namun, ia tidak dapat memaksa. Bagaimanapun Sumi-lah yang harus memutuskan. Mau pergi atau tetap tinggal.
" Baiklah, Sumi. Kalau begitu aku mohon diri. Jika kau memang berniat untuk pergi, kau ikuti saja buah ini. Aku akan menjatuhkannya di sepanjang perjalananku hingga keluar dari hutan ini,"
"Aku akan datang sebelum sore menjelang, dan ini kunci rumah yang aku katakan tadi. Simpanlah. Di tempat itu tersedia beberapa makanan manusia, kau coba dan kau makanlah," Aksa meletakkan kunci itu di atas meja.
Pemuda itu lalu berbalik dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam perpisahan. Ia berharap Sumi akan mengikuti kata-katanya.
"Tunggu!"
Aksa langsung menghentikan langkah dan terdiam saat terdengar suara Sumi menahannya.
Terdengar derap langkah kaki menjauhinya, tapi pemuda beralis tebal itu hanya bergeming.
Tak lama, derap langkah kaki itu berhenti tepat di balik punggungnya.
"Ini ... bawalah. Ibu pernah memberikan ini kepadaku, untuk berjaga-jaga dari serangan orang jahat dan juga binatang buas,"
Aksa berbalik dan mendapati Sumi mengulurkan parang panjang padanya.
Pemuda itu menggeleng pelan. "Aku tidak mungkin menerima benda ini, kau lebih membutuhkannya, Sumi," tolaknya seraya mendorong kembali benda tajam itu pada Sumi.
"Tidak apa-apa, terimalah. Hutan ini sangat berbahaya bagi manusia sepertimu, sedangkan aku ... sejak kecil aku sudah berada di tempat ini, dan aku tahu cara membela diri,"
Aksa akhirnya menyunggingkan senyum dan menerima parang panjang itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Aksa pun pergi, memulai perjalanan panjangnya untuk kembali pulang ke rumah, menemui keluarganya yang ia rindukan.
***
Sumi menekuk kedua kakinya sembari menatap riak air sungai yang mengalir dengan sangat deras di depan matanya.Debar di dadanya tak bisa ia sembunyikan. Ia takut jika apa yang dikatakan laki-laki itu benar adanya.
Namun, ia sangat yakin ibunya itu tidak seburuk yang laki-laki itu katakan.
Ibunya adalah orang yang baik. Orang yang sangat menjaganya dengan kasih sayang, meskipun sebenarnya di lubuk hatinya ia pun merasa aneh mengapa ibunya memberikannya daging mentah.
Yang membuat ia selalu bertanya-tanya, kenapa ibunya selalu pulang di saat matahari telah tenggelam? dan kenapa ibunya selalu hilang saat matahari sedang menyinari dunia?
"Sumi ... koe neng kene, Nduk. Ini ibu bawain daging. Ayo, kita makan sama-sama,"
Sumi terkesiap saat ia mendengar suara ibunya di belakang punggungnya.
Gadis itu kembali berjibaku dengan pikirannya. Bagaimana caranya agar wanita tua yang bungkuk itu bisa berada di pinggir sungai dan Sumi bisa melihat wujud aslinya?
"I--Ibu ... coba ibu kesini, lihat, Bu. Ada ikan yang sisiknya berwarna emas, indah sekali," Sumi mengajak ibunya untuk mendekat.
Wanita itu tampak ragu dan menggeleng pelan. "Ibu tidak tertarik untuk melihatnya, Sumi. Ibu sudah lapar, ayo kita makan bersama," ia kembali mengulangi ajakannya.
Sumi tak putus asa. Ia pun merespon dengan gelengan. "Ayo, Bu. Sini ... lihat ini...," Sumi sengaja menunjuk ke permukaan air.
Wanita itu sempat terdiam beberapa saat, tapi akhirnya ia pun mengalah pada anak perempuannya.
Wanita yang wajahnya sudah dipenuhi keriput itu pun melangkah mendekat ke sisi Sumi.
"Neng ndi, Nduk. Ndi iwak'e," ( mana Nak, mana ikannya)
Degh!
Kelopak mata Sumi melebar saat melihat penampakan yang terpantul dari dasar sungai.
Sungguh, begitu mengerikan hingga tubuh Sumi membeku seketika.
Sinar bulan yang begitu terang memantulkan dengan jelas wajah ibunya yang tergambar sangat mengerikan di atas permukaan air yang sedikit beriak.
Tubuh Sumi limbung, dan ...