Sumiati part 9

266 19 0
                                    

POV Sumiati

Dadaku berdebar saat melihat penampakan ibu di atas permukaan air yang terpantul oleh cahaya rembulan malam yang berpendar indah.

Angin dingin yang menerpa rambut hingga membuat rambutku tersibak ke belakang seutuhnya, membuatku bisa melihat jelas bagaimana penampakan ibu yang sesungguhnya.

Sungguh Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, mengapa wujud Ibu sangat mengerikan? berbeda dengan hari-hari yang biasa kulihat!

Wajah Ibu bukan hanya terlihat keriput, tapi juga menghitam dengan mata berwarna merah, di beberapa bagian tubuh ibu terdapat bulu yang lebat, rambut panjang awut-awutan dengan buah dada yang mencintai hampir melebihi perutnya.

Ketika ibu tersenyum, gigi taring yang terlihat begitu tajam, berdiri tumpang tindih yang membuatku bergidik ngeri.

Aku tidak bisa membayangkan, makhluk-makhluk yang Ibu gigit, pasti bukan hanya kulit yang terluka, tapi daging pun akan dengan mudah terkoyak.

Tubuhku membeku seketika, saat tangan Ibu menyentuh bahuku. Aku bisa melihat dengan jelas dari permukaan air, tangan itu bukan hanya keriput, tapi berwarna hitam, berbulu dan berkuku sangat tajam bak mata pisau.

Astaga!

Sebenarnya siapa ibuku? kenapa penampakannya bisa begitu sangat mengerikan?

Aku mengucek mata, berharap jika apa yang aku lihat saat ini hanyalah mimpi belaka.

Aku ingin bangun dan memeluk tubuh ibuku yang renta dan hangat. Bukan makhluk mengerikan seperti ini!

Namun, saat aku membuka mata, harapan itu tinggal harapan. Makhluk itu masih berada di sampingku dengan senyum yang khas dan membuat tubuhku terasa tidak bertenaga. Aku limbung dan seketika duniaku gelap.

***
"Sumi ... Sumi ... koe nopo, Nduk? tangi Nduk, tangi,"
(Sumi, kamu kenapa, Nak? bangun Nak, bangun)

Suara itu ... suara Ibu!

Susah payah untuk membuka mata yang terasa amat berat. Kepalaku terasa sangat pusing. Entah apa yang terjadi kepadaku, untuk pertama kalinya tubuh ini terasa bagai dihantam benda tumpul.

Cukup lega, saat akhirnya mata ini mampu terbuka, dan mendapati wanita tua itu kini berada di sampingku, sedang terduduk dan menatapku dengan raut wajah yang khawatir, juga sedih.

Aku bergidik saat tangan keriput itu hendak menyentuh tanganku. Terbayang bagaimana kuku-kuku panjang itu akan menusuk kulit dan menyeset hingga ke daging. Bisa saja itu terjadi, bukan?

Aku segera menarik tanganku menjauh. Wanita tua yang biasa kupanggil Ibu itu mengernyit dahi dan menatapku tajam. Sorot matanya terpancar ketidak-sukaan atas perbuatanku barusan.

"Nopo, Nduk? opo seng ra kepenak? siramu?" ( Napa, Nak? apa yang tidak enak? kepalamu?)

Aku menggeleng. Tentu bukan karena kepala ini yang sakit, tapi karena melihat wujud asli wanita di hadapanku ini.

Siapa yang tidak takut jika melihat perwujudan seperti itu? siapa sebenarnya ibu yang telah mengasuhku sejak bayi ini? apa aku juga makhluk sepertinya? atau mungkin aku hanya diasuh olehnya? kalau memang benar, siapa orang tuaku sebenarnya? apa aku di culik? atau aku di buang?

Berbagai pertanyaan itu berseliweran di dalam otakku. Ingin rasanya aku mengungkapkan itu semua, tapi aku urungkan. Pastinya pertanyaan itu akan membuat ia murka.

"Tidak apa-apa, Bu. Mungkin suami hanya kelaparan," jawabku sekenanya.

"Oh, yo wes, kita makan ya, Nduk. Ibu sudah bawakan daging spesial untuk kamu. Kali ini Ibu bawa isi perutnya. Kamu mau hati atau jantung, Nduk?"

SUMIATI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang