"Kenapa, Bu?" tanya Sumiati sembari mengerjapkan matanya. Tangannya yang masih menyentuh palang pintu langsung menghentikan aksinya dan menatap ke arah ibunya dengan sendu.
"Jangan, itu kuda sembrani yang sedang bermain di sekitar rumah, kalau kita mengganggunya, kamu bisa terkena tendangannya. Dia bukan lawan kita, Nduk," jelas ibunya dengan tatapan mata iba. Ia mengerti anak perempuannya itu hanya ingin meringankan bebannya, tapi ia tahu kekuatan kuda hitam dengan rambut panjang menjuntai yang saat itu ada di sekitar rumah mereka.
Sumiati bergeming, menghela napas dalam sebelum bibir tipis berwarna merah muda itu terbuka dan bertanya," bolehkah Sumi melihatnya, Ibu?"
Wanita tua itu menautkan dua alisnya yang bulunya sudah berganti warna putih perak. Menatap lamat-lamat mata bulat teduh yang begitu polos dan tersirat ketulusan di dalamnya.
"Kamu mau apa?" Ia balik bertanya.
"Mmm, cuma mau lihat, Ibu. Itu saja," balasnya dengan sunggingan senyum manisnya.
Wanita yang dipanggil ibu itu akhirnya mengangguk dan mengiyakan keinginan anaknya.
Gadis yang hanya memakai kemben dan kain yang dililit hingga bawah lutut itu terjingkat girang dan mengangkat palang pintu dengan senyum merekah di wajahnya.
"Terima kasih Ibu," tuturnya sebelum ia keluar dari rumah bambu itu.
Rambut panjangnya seketika tersibak dan sebagian berterbangan karena angin yang cukup kencang berhembus ke arahnya.
Mata indahnya yang mengkilat memandang sekitar. Pohon-pohon besar yang berjajar rapi bergoyang, begitu pun rumput ilalang yang di terpa angin bergerak-gerak.
Gadis itu menangkap sepi dan hanya di temani alam dengan sinar bulan yang berpendar indah.
"Yuhuuuu, di mana kamu?" Sumi mengedarkan pandangan mencari keberadaan kuda sembari melangkahkan kaki telanjangnya perlahan, begitu awas dan was-was. Bagaimana jika kuda itu tiba-tiba menyerangnya?
Sepi dan sunyi. Hanya semilir angin yang terdengar begitu lirih. Sumi menghembuskan napas berat. Kecewa.
"Bagaimana? apa makhluk itu ada?" tanya wanita berambut putih yang di sanggul itu dengan langkah tertatih keluar dari ambang pintu.
"Ga ada, Bu," cetus Sumi sembari memutar tubuh.
"Yo wes, kita tidur. Besok pagi-pagi ibu harus cari makan lagi, dan seperti biasa, Kamu jangan keluar-keluar, tunggu ibu sampai ibu pulang," titah ibu yang langsung diangguki Sumi.
Sumi mendekat ke arah ibu, dan meraih pergelangan tangan wanita yang sangat ia sayangi itu. Ia lalu menggandengnya dan mereka masuk ke dalam rumah bersamaan, pintu ditutup perlahan dan Sumi langsung menguncinya.
"Sumi istirahat duluan ibu, Sumi sangat mengantuk," Gadis itu meminta diri karena memang tubuhnya sangat lelah. Seharian ia menunggu ibunya di dalam rumah, memakan apa yang ditinggalkan ibunya tanpa mengeluh sedikit pun.
Ia sebenarnya tidak suka daging buruan yang sudah berbau seperti bangkai, tapi ia terpaksa memakannya, karena memang hanya daging itu yang ada di rumah.
Ibunya tidak pernah mengajarkannya memasak, wanita tua itu sejak kecil mengajari Sumi memakan daging mentah dan darah untuk bertahan hidup.
Berbeda dengan Sumi, semakin daging itu berbau dan terkadang sudah dihinggapi oleh belatung, wanita tua yang sudah bungkuk itu malah sangat suka menyantapnya.
Gadis itu lalu masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas dipan bambu yang beralaskan tikar yang ia anyam dari pandan hutan, dan ia keringkan terlebih dahulu.
Anehnya, saat ia berada di kamar, rasa kantuk itu menguap begitu saja. Ia bergolek ke arah kiri, di mana mata teduhnya menatap ke arah dinding bambu yang penuh debu.
Hhhh!
Sumi menghembuskan nafas kasar. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh dengan dirinya dan juga kehidupannya.
Mengapa ibu selalu hilang di kala siang hari? dan mengapa ia hanya boleh keluar jika malam hari? memang ada apa dengan matahari?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sudah lama mengendap di dalam pikiran Sumi, tapi ia takut untuk bertanya kepada ibunya.
Namun, beberapa hari ini pertanyaan-pertanyaan itu kembali mengganggu pikirannya.
Ia merasa sepi. Apakah di dunia ini hanya ada dirinya dan juga ibunya? mengapa ia tidak pernah melihat sosok yang serupa dirinya dan juga ibunya?
Lama-lama ia bosan. Hidupnya hanya berada di dalam rumah, menunggu ibunya pulang dan makan.
Ia tidak pernah diizinkan berburu dan menemani ibunya. Ibunya selalu berpesan jika Sumi tidak boleh keluar rumah saat matahari menyinari dunia.
Namun, sesekali Sumi tetap keluar rumah, ia yang penurut terkadang menjadi sedikit pembangkang. Dan harus ia akui, kehidupan siang membuatnya ketagihan.
Semakin lama Sumi memandangi dinding, matanya terasa menjadi berat. Ia pun tertidur lelap dengan berbagai pertanyaan yang ia bawa hingga ke dalam alam bawah sadarnya.
***
Suara gemericik air di luar terdengar bagai alunan musik yang menenangkan. Sumi terbangun dengan mata masih berat karena rasa kantuk yang masih menyerang.Gadis itu mengangkat tubuhnya perlahan, dan mengucek matanya. Ia menghirup udara segar yang masuk dari sela-sela lubang anyaman.
"Pasti ibu sudah pergi," terkanya. Sumi lalu bangkit dan melangkah menuju dapur dengan terpincang-pincang karena kaki yang tidak sempurna.
Setelah membasuh wajahnya di kamar mandi sederhana yang hanya ada kendi berisi air tanpa peralatan mandi, Sumi memutar tubuh dan kembali mencari makanan di dapur kumuhnya yang penuh sarang laba-laba dan sawang tanpa perapian.
Gadis bermata coklat muda itu membuka tutup wadah yang terbuat dari tanah liat, berada di atas meja kayu berlumut dan berjamur di beberapa sisinya.
Aroma bangkai seketika menyeruak. Sumi memandang malas makanan yang biasa ia makan bersama ibunya.
Seonggok daging berwarna hijau kehitaman dengan aroma bangkai yang sangat pekat itu sama sekali tidak membuat Sumi mual.
Ia hanya bosan dan enggan untuk menyantapnya. Entah kenapa, ia merasa apa yang Ia makan itu tidak sesuai dengan keinginannya.
Ia lebih suka makan buah-buahan hutan yang ia ambil secara sembunyi-sembunyi saat ibunya pergi.
Namun, ketika ia makan daging, tubuhnya terasa penuh energi. Daging segar tentunya, karena jika bukan daging segar, Sumi kurang suka rasanya. Selain bau, rasa manis dan aroma amis sudah tidak ada. Berubah menjadi rasa getir dan kurang nikmat.
Sumi menggerakkan kepalanya ke tempat berbeda, di mana sebuah wadah yang tidak tertutup di dikerubungi lalat yang cukup banyak.
Baru saja tangan putih itu akan meraihnya, tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup di kejauhan.
"Tolong ... tolong ...,"
Sumi mematung. Baru kali ini ia mendengar suara minta tolong. Ia kembali menarik tangannya dan mempertajam indra pendengarannya.
Tanpa membuang waktu, gadis itu langsung membuka pintu belakang rumahnya dan tak mengindahkan ucapan ibunya yang melarang dirinya untuk keluar di saat hari masih terang.
Gadis itu berlari terseok-seok mencari asal suara. Ia tiba-tiba menghentikan langkah saat ...