Tak bisa kubayangkan, jika kuku panjang itu mencakar wajahku, bukan cuma tergores, tapi mungkin terkoyak-koyak seperti tubuh para penjagaku.
Di saat ia hampir saja menggapaiku, tiba-tiba...
" Kainmu jatuh di bawah Sum, Ibu tidak mampu menggapainya, nanti diambil ya,"
Aku akhirnya bisa bernapas lega saat tangan itu perlahan hilang dari pandanganku.
Meski Sumi tak menjawab, aku melihat kaki telanjang gadis itu melangkah keluar kamar dan pintu pun tertutup.
Berbagai pertanyaan hadir di dalam pikiranku. Siapa sebenarnya Sumi? dan ibunya? makhluk apa sebenarnya mereka?
Wajah makhluk yang dipanggil Sumi ibu mengingatkanku pada sesuatu. Meski saat itu di hutan masih ada cahaya karena matahari baru akan terbenam, suasana hutan terasa sinup dan membuat bulu roma meremang.
Remang-remang dan jarak pandang yang hanya beberapa meter ke depan karena tiba-tiba asap menyelimuti sekitar kami, asap yang tidak tahu datang dari mana.
Sekitar yang awalnya baik-baik saja berubah menjadi suasana mencekam, burung-burung yang tadinya bertengger tenang tiba-tiba terbang serentak ke angkasa, seperti menghindari sesuatu yang mengerikan.
Terdengar lolongan anjing di kejauhan dan derap langkah kaki binatang yang terdengar bersahut-sahutan, begitu riuh dan seperti lari ketakutan.
Seperti halnya binatang-binatang hutan, kami yang berjumlah 5 orang pun merasakan hal yang tak biasa.
Udara yang semula terasa begitu segar, tiba-tiba terasa panas seperti berada di sauna, membuat kami semua keringatan dan gerah.
Belum sempat mencari perlindungan, karena kami merasa ada sesuatu yang tidak biasa, tiba saja dari 4 penjuru mata angin, melesat kehebatan asap berwarna hitam yang kemudian berputar mengelilingi kami.
Keempat penjagaku merapat dan mengelilingiku. Masih terekam dengan jelas saat-saat mencekam itu, di mana para penjagaku bahu- membahu berusaha melindungiku.
Mereka lalu satu persatu menjadi santapan makhluk yang sama seperti aku lihat di rumah ini.
Ya, aku ingat! makhluk berambut acak-acakan dengan mata merah dan kuku hitam serta taring yang tajam mengoyak-ngoyak tubuh penjagaku, memakan isinya dengan begitu lahap.
Suara teriakan menyayat hati merobek-robek hatiku, Aku hanya bisa menangis memikirkan nasib penjaga-penjagaku yang rela mengorbankan nyawa mereka demi aku.
Aku terus berlari sementara keempat penjagaku berjibaku dengan makhluk-makhluk pemakan manusia yang begitu kejam.
Saat aku merasa jika makhluk -makhluk itu sudah jauh dan tidak lagi mengejarku, aku terengah dan menghentikan langkah dan menarik nafas berulang kali, hingga dadaku yang semula sesak terasa lebih plong.
Naasnya, ternyata salah satu makhluk itu mengikuti dan mengejarku, aku yang terpojok hanya mampu terpaku saat makhluk itu terbang rendah dan perlahan mendekatiku.
Mata merahnya menyala dengan senyum yang sangat lebar, memamerkan rentetan gigi-gigi taring yang masih meneteskan darah.
Hanya memakai kain untuk menutupi bagian kemaluannya saja itu terkikik saat melihatku yang berdiri terpaku dengan tubuh yang gemetar karena takut.
Payudaranya yang menjuntai dengan lidahnya yang tiba-tiba keluar dari dalam mulutnya, perlahan memanjang dan terarah padaku.
Aku yang saat itu tidak ingin menyerah, tak ingin membuang waktu yang berharga.
Dengan cepat bergerak dan berlari menjauh, sedang makhluk itu terkikik mengerikan seolah sedang mempermainkanku.
Aku berlari, makhluk itu masih terkikik mengejek ketakutanku. Bertengger dari satu pohon ke pohon lain selaras dengan laju kakiku yang terus mengayun. Napas satu-satu hingga...