"Da--darah...," lirihnya. Bertepatan dengan itu, ia mendengar suara gemerisik tak jauh dari dirinya, seperti suara mencecap dan sedang mengunyah dengan perlahan.
Warto yang penasaran perlahan mengangkat wajahnya dan ketika ia mendongak ...
"Se--setannnn!"
Refleks Warto bergerak, memutar tubuh dan lari tunggang-langgang dengan resleting celana yang masih terbuka saat melihat mahluk menggerikan sedang nangkring di salah satu cabang pohon yang dengan santai menyantap makhluk berbulu di tangannya.
"Wewe! Wewe gombel!" Pekiknya sembari berlarian dengan air yang keluar dari benda yang menggantung di antara dua pahanya.
Sontak dua temannya yang saat itu sedang asik menunggu ikan menyantap umpan langsung melihat ke arah Warto yang berlarian kencang melewati mereka.
"Tok! Warto!"
"Muleh! wes ndang, muleh! Wewe gombel!" ( pulang, cepat pulang, wewe gombel) teriak Warto tanpa sedikitpun menghentikan langkah kakinya, tak perduli benda menggantung itu terlunta-lunta.
Dua temannya yang kebingungan saling tatap dan saat mendengar suara gemerusuk di salah satu pohon, seperti ada yang bergerak, dua orang itu langsung mengangkat pancing dan segera berlari menyelamatkan diri.
Sedangkan makhluk yang tak lain adalah Laksmi itu hanya menyunggingkan senyum kecut dan melompat turun.
Asap hitam menggumpal tiba-tiba menyelimuti dirinya, dan ...
Blasssh!
Dalam hitungan detik, tubuh Laksmi yang berbulu dan mengerikan itu menjadi wanita cantik.
"Makan! salah satu dari kalian akan jadi santapanku!"
***
"Lapar ...," Sumi meremas perutnya yang terasa melilit dan sejak tadi berbunyi nyaring. Ia ingin makan, tapi makanan di rumah itu tak ada satu pun yang membuatnya berselera.Gadis itu termangu sejenak. Tiba-tiba ia teringat pada ibunya--Laksmi. Rasa takut yang semula hadir karena melihat sosok aslinya, berubah jadi rasa rindu.
"Bu ... apa ibu juga kangen pada Sumi?" gumam Sumi seorang diri. Gadis itu memejamkan matanya yang sejak tadi berembun, dan ketika itu bulir beningpun luruh.
"Siapa yang ada di kamarku, Mbok. Bisa-bisanya Raden Mas Aksa meminjamkan kamarku untuk orang asing itu!"
"Shutttt, jangan ganter-ganter, Nduk. Nanti kedengaran Sumi, ga enak,"
"Persetan dengan dia, Mbok. Aku ingin tidur! Aku capek!"
Sumi membuka matanya dan mengusap air matanya. Suara hiruk pikuk di luar sontak membuat gadis itu bangkit dan duduk.
Ia yakin jika suara itu adalah suara anak Mbok Nuriah yang baru saja tiba. Sumi lantas beranjak dari ranjang berukuran kecil yang hanya bisa ditiduri satu orang saja itu dengan perlahan.
Sempat menatap kearah tempat tidur sejenak. Meskipun tempat tidur itu terlihat nyaman dan juga bersih, tapi entah kenapa tidak memberi kenyamanan bagi Sumi. Ia malah merindukan tempat tidurnya yang lusuh dan berbau apek itu. Sumi lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar.
Kriettt!
Pintu terbuka, dan seketika Mbok Nuriah dan seorang gadis di sampingnya terdiam.
"Silahkan, Mbok. Sumi tidur di dapur saja," ucapnya dengan senyum getir.
Sementara itu, dengan rasa tidak enak hati, Mbok Nuriah terpaksa menyampaikan pesan dari Nilam--Nyonya rumah tersebut.
Ia langsung mendekat ke arah Sumi dan dengan wajah tidak enak Ia pun berujar," maaf Non, tadi Ndoro Nilam menyuruh saya untuk membawa Non Sumi ke rumah yang ada di pinggir danau. Rumah itu belum sempat saya bersihkan. Malam ini Non Sumi tidur dengan saya saja di kamar, besok baru saya antar."
Sumi hanya diam, tapi tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan gadis yang saat itu menatapnya sinis.
"Kalau begitu aku masuk, Mbok," gadis itu berlalu begitu saja dan memutus tatapannya kepada Sumi. Sumi tak tahu mengapa gadis itu tampak sekali tidak suka terhadap dirinya, padahal baru kali ini ia bertemu dengannya.
"Mbok ... apa di sini ada daging mentah?" tanya Sumi tiba-tiba, yang membuat wanita di depannya itu langsung membelalakkan mata.
"Da--daging me--mentah? a--ada di kulkas," jawab wanita paruh baya terheran seraya menuju kulkas 2 pintu yang ada di sudut dapur.
Sumi mengikuti arah telunjuk mbok nuriyah dan seketika dahinya mengernyit.
"Oh, di dalam lemari itu, ya, Mbok," tanyanya dan direspon anggukan Mbok Nuriah.
Sumi lalu melangkahkan kaki menuju kulkas dan membuka lemari pendingin itu dengan perlahan.
Alisnya sempat bertaut saat merasakan hawa dingin keluar dari dalam lemari.
'Kok dingin?' batinnya, tapi tangannya langsung menggapai daging yang ia lihat.
"Akh, dingin!" pekiknya dan menyurutkan keinginannya untuk menyantap daging beku itu.
Ia lalu melangkah gontai ke arah kamar Mbok Nuriah, sedang orang tua itu lalu mengikutinya.
"Untuk apa daging itu, Non? apa mau saya masakin sesuatu?" Tanya wanita tua itu saat Sumi merebahkan dirinya di kasur.
Sumi menggeleng pelan. Ia ingat kata Aksa, kalau orang-orang tidak terbiasa makan daging mentah. Itu hal aneh.
"Tidak, Mbok. Sumi mau tidur dulu," gadis itu menggeleng dan bergolek ke arah berlawanan, menyembunyikan wajahnya yang kesakitan karena perutnya seperti di remas-remas, lapar. Ia memaksa untuk memejamkan mata, tidur dalam keadaaan menahan kerinduan pada sang ibunda--Laksmi, makhluk berbulu lebat yang ia tinggalkan.
***
Angin kencang di luar menyentak seng di rumah Ratri--istri Warto yang saat itu sedang menunggu kepulangan suaminya dengan perasaan tak karuan. Bunyi benda yang pakunya sudah terlepas dan hanya menyisakan beberapa biji itu terdengar berisik, membuat Ratri semakin gusar."Mudah-mudahan bapakmu ga kenapa-napa, Le," ujarnya pada anak semata wayangnya yang berumur 4 tahun, sembari mengelus kepala bocah yang masih menyusu padanya itu.
Ia menatap sendu kaca jendela rumahnya yang terbuka, menunjukkan kondisi di luar rumah yang sepi, pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin dan suasana temaram, hanya ada bias lampu jalan di kejauhan.
Perasaannya semakin khawatir karena hujan mulai jatuh. Ia membekap tubuh anaknya yang hanya memakai kaos singlet dan celana pendek, karena bocah itu selalu berkeringat dan rewel jika memakai baju kaos tebal.
"Le! itu bapakmu!" wanita muda itu berdiri dan senyum terbit di wajahnya.
Hanya sejenak. Detik berikutnya senyum itu sirna berganti wajah yang langsung menegang.
Ia melangkah cepat ke arah pintu. Karena gerakannya itu, bocah itu tergoncang dan terbangun. Ia langsung melepas bibirnya yang masih melekat di puting sang ibu.
"Le? tunggu sini, ya. Ibu mau buka pintu. Bapakmu wes mulih," ucapnya pada sang anak yang saat itu masih sempoyongan sembari mengucek matanya saat diturunkan dari gendongan.
Bocah itu mengangguk, sedang Ratri berusaha cepat membuka pintu yang terkunci. Tangannya gemetar, saat melihat di kejauhan suaminya berlarian dengan kencang, seperti di kejar sesuatu.
"Mas!" panggilnya.
"Masuk, Rat! masuk! ndang, masuk!" dari jarak sekitar seratus meter suami nya itu berteriak, tapi Ratri terlihat acuh. Ia penasaran dengan apa yang terjadi pada suaminya itu.
Saat jarak Warto semakin mendekat, Ratri merasakan hal yang ganjal pada dirinya. Bulu kuduknya meremang dan terasa desiran aneh yang menjalari tubuhnya.
"Bu ... Ibu ...,"
Saat ia berbalik, tiba-tiba ...
"Tole!"
****