"Aaa! belatung!"
Aksa bergerak mundur, menggerakkan kaki dan tangannya secara bersamaan, menjauh dari benda dan menatap takut gadis di hadapannya.
Sedangkan gadis itu hanya mengerjapkan mata dan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, heran. Aneh dengan tingkah pemuda yang tiba-tiba berteriak ketakutan.
"Apa kau sudah gila? Kau kira aku ini apa? anak pipit yang kau beri makan belatung?" hardik pemuda itu kesal. Matanya menyorot tajam ke arah Sumi.
Terang saja, Sumi yang mendengar kata-kata kasar dari laki-laki itu langsung marah.
"Kau bilang tadi minta makan? ini sudah aku bawakan, kenapa kau mengataiku gila?" rasa takut Sumi menguap begitu saja, berganti dengan perasaan kesal karena laki-laki itu telah menghinanya.
Kelopak mata laki-laki itu melebar, ia tidak menyangka gadis yang tadi terlihat diam dan seperti orang bisu itu ternyata berbicara begitu lugas kepadanya.
"Ya--ya, kau yang aneh, masak manusia makan belatung? yang wajar dong, nasi hangat atau daging ayam panggang, kan itu lebih enak. Bukannya belatung yang masih bergerak-gerak seperti ini. Seperti hewan saja," cerocos pemuda bernama Aksa itu.
"Hewan? apa salahnya makan belatung. Belatung itu enak apalagi dimakan. Saat digigit, cairannya itu manis dan gurih, dan kulitnya itu kenyal. Apa kau tidak pernah makan? cobalah dulu," kali ini Sumi terlihat lebih berani. Ia mendekat ke arah belatung dan memunguti satu persatu belatung yang bergerak-gerak.
"Nih, cicipin dulu, katanya kau lapar," Sumi kembali menyerahkan batok kelapa berisi belatung yang masih bergerak-gerak, wajahnya datar dan terlihat kesal.
"Ga mau. Aku nggak sudi makan makanan seperti ini. Apakah kau manusia? atau hantu?" Aksa memindai tatapan matanya dari gadis itu dan matanya menyisir sekitar.
Ia bergidik, memikirkan hal yang tidak-tidak. Ini untuk pertama kalinya ia masuk ke area hutan. Tempat sayup dan teduh itu seketika membuatnya merinding ketakutan.
Wajar jika ia mengira jika gadis di hadapannya ini bukan manusia. Apalagi dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat beberapa penjaganya tiba-tiba diserang makhluk mengerikan yang mencabik-cabik dan memakan beberapa bagian tubuh dengan rakus.
Beruntung saat itu ia bisa selamat karena larinya yang kencang meski akhirnya terperosok hingga tergantung dibawah bibir jurang.
Sumi mengerutkan dahi. Jelas-jelas ia manusia, kenapa pemuda itu menyebutnya hantu?
"Kau lihat sendiri kan, ini, kakiku ini menapak di tanah. Iya aku manusia, tapi apa salahnya makan belatung? itu makanan sehari-hariku," Sumi menunjuk kakinya, meyakinkan kepada pemuda itu jika ia benar-benar seorang manusia dan bukan hantu.
"Hah? Kau makan belatung? apa seluruh keluargamu juga memakan itu?" tanya Aksa masih tak percaya dengan ucapan gadis itu.
Sumi hanya menggangguk. "Kalau kau tidak ingin makan itu, kau mau makan apa?" tanya Sumi kemudian. Ada rasa kasihan di hatinya melihat tubuh laki-laki itu yang terlihat lemas dan tak bertenaga.
"Yang wajarlah, apa di sini ada ikan atau...,"
"Ya--ya, ikan ada. Aku akan mencarinya. Kau tunggu di sini," titah Sumi. Saat pemuda itu ingin ikut, Sumi menahannya.
"Tunggu di sini saja. Kau pasti nanti akan merepotkanku saja jika ikut, lebih baik kau istirahat,"
Aksa menurut. Sebenarnya Ia pun tidak sanggup untuk pergi jauh. Tubuhnya banyaknya lebam-lebam dan juga persendiannya sakit, beberapa luka gores juga terasa pedih jika terkena air.
Aksa lalu memilih untuk duduk di bawah pohon rindang dan bersandar. Wajahnya menengadah menatap langit yang sebagian tertutup daun-daun.
Suara burung-burung dan serangga hutan diselingi sayup-sayup gemericik air di kejauhan perlahan membuatnya tenang.
Sapuan angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh dan wajahnya, membuat pemuda itu mengantuk dan terlelap dalam balutan tangannya yang membentuk tubuh.
Sementara itu, Sumi terlihat begitu gesit mencari ikan-ikan di pinggiran sungai. Ia bersembunyi di batu-batu kali dan mengintai ikan-ikan yang berenang di aliran sungai yang jernih.
Gadis itu terlihat senang berada di bawah terik matahari dan juga merasakan segarnya air yang memercik di wajah dan tubuhnya.
Hanya dalam beberapa menit saja ia sudah mampu menangkap dua ekor ikan berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa.
Ikan berwarna emas dan hitam itu ia bawa dengan baju yang basah dan kaki yang telanjang, berlari kecil menuju ke arah di mana ia meninggalkan pemuda misterius yang telah ditolongnya.
Ia menghentikan langkahnya saat ia berada di depan pemuda bernama Aksa yang saat itu tertidur lelap.
Dalam jarak sekitar 10 langkah, gadis itu memperhatikan dengan seksama pemuda yang saat itu menekuk wajahnya dan terdengar dengkuran darinya.
Ia lalu mencari ranting kayu dan mengarahkan benda itu ke arah Aksa yang sedang tertidur.
Gadis itu menusuk-nusuk tubuh Aksa hingga laki-laki itu terbangun.
"Uh--uh! sakit tau!" sentaknya seraya menyingkirkan benda itu dari tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan? kenapa kau menusuk-nusuk tubuhku!"
"Habisnya kau bilang mau makan, ini aku bawakan ikan!" Ia melempar begitu saja dua ekor ikan berukuran sedang ke arah Aksa. Beruntung Aksa sempat menghindar hingga ikan itu tidak mengenai wajahnya.
Aksa berdecak kesal. Tanpa basa-basi ia lalu memungut dua ekor ikan itu dan meletakkannya diatas dedaunan kering.
Ia meraih ranting-ranting patah dan dedaunan kering yang berada di sekitarnya, dan menyusunnya.
Ia lalu merogoh kantungnya dan meraih koset gas miliknya. Menantik korek dan api kecil ia arahkan ke ranting kering. Api dengan cepat menyambar, apalagi setelah diarahkan ke dedaunan kering yang ia tumpuk.
Sedang Sumiati tak berani mendekat. Ia menatap takjup benda yang baru pertama kali ia lihat. Aksa dengan santai mengarahkan ikan yang sudah ia tusuk dengan ranting ke atas api yang berkobar.
Tanpa sadar Sumi mendekat dan mengarahkan tangannya ke arah api, dan ...
"Awww! sa--kit," seketika Sumi berteriak saat ia merasakan rasa sakit yang diakibatkan api yang menjilat telapak tangannya.
"Hei, apa kau bodoh? kenapa kau menyentuh api!" Aksa refleks melempar ikan yang baru setengah matang itu dan mendekat ke arah Sumi.
Gadis itu tercenung saat tiba-tiba Aksa mendekatinya dengan susah payah.
Tangan kekar milik Aksa menyentuh tangannya lembut dan terasa nyaman saat Aksa meniup-niup tangannya.
Sumi hanya mampu terdiam. Ada perasaan aneh yang menjalar di dalam hatinya, yang menyebabkan jantungnya memompa lebih cepat.
"Jangan sentuh tanganku!" sentak Sumi saat dia sadar jaraknya dengan lelaki itu sangat dekat.
"Aku hanya ingin menolongmu, itu saja," kilah Aksa sembari menjauh.
Tes-tes!
Di saat itulah ia merasakan tetesan air jatuh dari langit. Sumi dan Aksa sama-sama menengadah.
"Hujan! sepertinya akan deras. Kita berteduh di mana?" tanya Aksa.
"Rumahku tidak begitu jauh, jika kau mau, kau boleh berteduh. Tapi, kau harus janji, sebelum gelap kau sudah pergi,"
****