˚₊· ͟͟͞͞➳ 𝚂𝚎𝚟𝚎𝚗

2.9K 412 64
                                    

..⃗.  [ 𝙷𝚊𝚙𝚙𝚢 𝚁𝚎𝚊𝚍𝚒𝚗𝚐 ] 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ

Kini, gadis cantik bersurai hitam panjang tengah duduk di sebuah kursi yang tempatnya di depan sebuah ruangan yang dimana di dalamnya ada sang ibu.

Dalam hatinya, ia menyerapahi kedua kakaknya yang sebelas dua belas dengan ibunya yang selalu menyiksanya. Walaupun tak sesering ibunya, namun baginya, mereka berdua sudah seperti ibunya yang kedua dan ketiga.

Sedari tadi ia hanya diam dengan kedua tangannya yang menyatu dalam genggaman. Tangannya basah, entah kenapa. Bahkan di bawah tangannya sudah terlihat genangan air yang berasal dari keringat di tangannya.

"Masuk." Suara serak sang kakak pertamanya, Sae, membuatnya tersadar.

Kepalanya yang sebelumnya menunduk, kemudian terangkat. Tangannya yang sebelum saling menggenggam dan basah, kini terlepas usai mendengar satu kata yang terucap dari mulut seorang Sae.

"Ibu udah nunggu di dalem," ucap Sae.

Laki-laki tertua Itoshi itu pergi meninggalkannya yang masih sibuk mengumpulkan semangatnya untuk masuk ke dalam sana.

Ia mengakui jika dirinya paling takut ketika bertemu dengan ibunya. Nyalinya belum terlalu kuat untuk menemuinya sekarang. Namun apa boleh buat. Ia tak mau melihat amarah sang kakak lagi.

Jadi sekarang, ia berdiri di depan pintu putih dengan kenop pintu yang terbuka dari besi. Tangannya naik, lalu memutar kenop pintu tersebut hingga terbuka dan menampakkan ruangan bernuansa serba putih.

Tepat di depannya, ada sebuah ranjang yang kini terdapat ibunya yang sedang terbaring lemah dengan alat-alat yang terpasang ada dirinya.

Kakinya kemudian melangkah mendekat.

"Ibu," satu panggilan lolos dari dalam mulut gadis itu. Namun sang ibu tak mendengarnya walaupun suaranya menggema disana.

"Ib–"

"Pergilah," sela sang ibu dan membuat (Name) meneguk saliva ya kasar.

Gadis bungsu Itoshi itu tak langsung pergi. Ia mendekat ke arah sang ibu. Ia menyeret kursi yang tak jauh dari ranjang, mendudukinya dan menatap ke arah wajah sang ibu yang tirus itu.

Entah dari kapan sang ibu mempunyai penyakit di dalam dirinya itu. Tapi saat ini, (Name) sudah mengetahuinya.

"Pergi. Jangan datang lagi kemari," ucap sang ibu tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan kota yang ramai.

Namun, perintah itu tak membuat anak bungsunya pergi dari sana. (Name) masih duduk di sana.

(Name) pasrah kali ini. Mau ia di pukul ataupun di katai-katai pun, ia akan menerima perlakuan kasar ibunya. Ia juga ingat, Sae akan mempercayainya jika satu luka terlihat di salah satu bagian tubuhnya.

Terpaksa sudah ia harus melakukan apa katanya. Jika tidak, ada balasan lebih dari sang kakak saat nanti ia di rumah.

"Ibu. Tol–"

"Ku bilang pergi," ucapnya sekali lagi.

Dapat di lihat olehnya rahang yang sudah sangat menyatu dengan tulang itu mengeras. Menandakan jika sang ibu sudah muak kesal.

"Aku tak mau. Aku harus menemani ibu di sini," ujar (Name) dengan nada datar. Rasanya aneh ia berkata begitu kepada sang ibu.

Dan kini, ia sudah dapat melihat bayangan saung ibu yang mengambil suatu barang di sekitarnya dari ujung matanya.

𝐄𝐜𝐜𝐞𝐝𝐞𝐧𝐭𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐭 : 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐬 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang