Mencekam!
Lengkingan suara wanita itu jelas terdengar nyata. Disusul tangis merintih, kala ia mendekap seorang laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri dipangkuannya.
Semakin deras darah segar mengaliri wajah pemuda itu, semakin histeris tangisnya.
Tak ada seorang pun yang menolong. Hanya ada dia seorang yang berdiri tak jauh dari mereka.
Desau angin mengiringi tangisnya yang mengundang firasat kepergian pemuda itu. Ahsan berjalan menghampiri si wanita yang membelakanginya sedari tadi. Ia memberanikan diri menyentuh pundaknya. Wanita itu menoleh ke belakang dan mendongak dengan tangis pelan.
Ahsan terpaku memperhatikan wanita tersebut. Ada luka lecet di keningnya, namun teduh adalah kata yang pas kala ia menatap wajahnya, meski dibanjiri linangan air mata.
Tak lama sesak merasuk, mengunci dada. Bagai hendak dicabut nyawa oleh malaikat maut, Ahsan perlahan mundur. Jemari tangannya mencengkeram kuat bagian dada kemeja putihnya, di kala semesta memperlihatkan wajah yang sama dalam dekapan wanita berambut panjang itu.
Dia kembali melihat jasadnya sendiri.
***
Lagi-lagi mimpi itu membuatnya berteriak hingga duduk terbangun. Ahsan tidak pernah tahan bila kejadian mengerikan itu kembali terputar dalam bunga tidurnya. Debar jantung semakin memburu, desah napas semakin cepat dan bulir keringat yang semakin banyak bercucuran begitu jelas menandakan betapa rasa takut itu merasuk menguasai dirinya saat ini.
Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ahsan segera bergegas keluar dari kamar tidurnya, mengambil segelas air minum di dapur dan duduk pada sebuah sofa panjang di ruang keluarga. Dia bersandar ke punggung sofa, seperti mengistirahatkan diri setelah menempuh rute lari maraton puluhan kilo meter. Memejamkan mata. Sebisanya Ahsan menenangkan diri, dimana debar jantung tak kunjung normal berdetak, dan berusaha mengenyahkan rasa takut yang masih merengkuh.
"San, are you, ok?"
Ahsan membuka mata dan menemukan maminya sudah duduk di sebelah.
"Aku mimpi buruk, Mi," ucapnya pelan nyaris berbisik namun masih dapat Mami dengar.
"Mimpi apa?"
"Aku lihat tubuhku yang sudah enggak bernyawa."
Kening Mami mengerut samar. "Lagi?"
Ahsan mengangguk.
Mami menghela napas. "Sudahlah jangan kamu pikirkan. Itu hanya bunga tidur."
"Tapi mimpi itu bikin aku lelah. Kepalaku jadi mendadak sakit, Mi." Ahsan memegang keningnya.
Terpancar tatap khawatir di balik ekspresi datarnya. "Ya, sudah. Kamu istirahat saja di rumah, tidak usah pergi ke kantor."
"Hari ini ada jadwal pertemuan dengan para pejabat perusahaan,"
"Biar Mami dan Papi yang urus. Kesehatanmu lebih penting, oke?" Mami mengelus pundak anak bungsunya yang hanya mengangguk menyetujui.
"Oke kalau begitu, Mami pergi dulu. Kasihan Papi sudah menunggu di mobil."
"Kalian enggak sarapan dulu, ini baru jam setengah enam, loh?"
"Keburu macet." Mami bergegas pergi. Namun ada yang menahan langkahnya, dia berbalik badan. "Ahsan, ingat jangan ke mana-mana! Kecuali ada yang menemanimu, ya?"
"Yes, Mom."
Perbincangan ditutup oleh keduanya yang saling berbalas senyum, hingga senyuman itu pudar kala tubuh Mami hilang di balik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...