Gerbang sekolah siang ini memberikan kejutan. Muti mengangguk sopan ketika kedua matanya menemukan seorang pria berusia lima puluh tahunan sudah tersenyum hangat di hadapannya. Wajahnya tak terlihat berubah dari lima tahun silam.
“Aduh… menantuku ini terlihat lebih cantik dari lima tahun lalu.”
Muti tersenyum kecil. “Papi bisa saja.”
“Sini-sini, peluk Papi.”
Muti maju dua langkah, lalu memeluknya.
“Papi rindu sekali sama kamu.”
“Muti juga.” Muti melepaskan pelukan.
“Papi sedang apa di sini?”
“Ahsan bilang, anaknya sekolah tidak jauh dari Naice Cream. Makanya Papi ke sini.”
“Oh…”Muti mengangguk-angguk kecil.
“Sekarang di mana dia?”
Muti mengedarkan pandangan, dan senyumnya muncul saat menemukan Rerey keluar dari kelas.
“Itu.” Muti menunjuk Rerey.
“Bunda…” seru Rerey sambil berlari kearahnya.
“Hai, sayang,” Muti berjongkok menyambut pelukan anak itu. “Gimana sekolahnya, bisa?”
Rerey mengangguk. “Bisa, aku kan pintar.”
Muti dan Papi tertawa ringan mendengarnya.
“Aduh… cucuku ini persis ayahnya. Besar percaya diri.”
Muti mengangguk, sepakat. “Rey, salam dulu sama Kakek.”
Rerey mencium telapak tangan Papi.
Papi berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Rerey.
“Halo, siapa nama kamu?”
“Rerey, Kek. Kakek boleh panggil aku Rey. Nama Kakek siapa?”
“Panggil saja Kakek Firman.”
Anggukan kelapa Rerey dan mata polosnya berhasil, mengundang tawa pendek kakeknya.
“Kakek Firman ini, papinya Ayah Rerey.”
“Oh… Iya, Rerey ngerti. Kakek lagi libur kerja ya? Makanya ke sini?”
Firman mengulum senyum sambil mengangguk. “Kakek sengaja ke sini, mau ketemu Rerey. Rey mau main sama Kakek?”
“Mau.”
“Ya, sudah ayo…” Firman memangku cucunya. “Kita makan siang dulu ya. Rerey, mau makan apa?”
“Ayam.”
“Ayam goreng, mau.”
“Mau…”
“Ok, last go…”
“Lets go…” Rerey mengikuti ucapan kakeknya.
Siang berjalan sempurna bagi Firman. Senyum dan tawanya tak hilang sepanjang kebersamaan pertamanya bersama sang cucu. Banyak petanyaan yang keluar dari mulut Rerey, sampai-sampai Firman butuh berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan polos anak yang senang berbicara ini, seperti :
“Kek, ayam kan punya sayap, tapi kenapa enggak bisa terbang?” kata Rerey sambil mencemil danging ayam gorengnya.
“Karena ayam bukan burung.”
“Salah!”
“Terus apa?”
“Soalnya ayam lebih seneng jalan kaki.”
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
أدب الهواةJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...