Kabar itu bukan sekedar kabar burung. Kabar itu jelas adanya. Pertunangannya dengan Tasya akan di gelar sabtu depan di sebuah vila milik keluarga Diwan Suryoto.
Calon ayah mertuanya itu sungguh sudah tak bisa menunggu lagi. Diam-diam, salah satu pengusaha perhotelan di Indonesia itu mengundang orangtuanya makan malam di hotel berbintang miliknya dan di sanalah keputusan pertunangan di ambil tanpa persetujuannya.
Ahsan memejamkan matanya sambil memijat kening di tengah ocehan Irgi di sambungan telepon yang tak bosan menyarankanya untuk bernotalgia bersama Tasya ke tempat-tempat yang ia sebutkan.
“Gimana gue mau nostalgia Lur, gue aja enggak ingat apa-apa soal tempat-tempat yang lu sebut!” suara Ahsan terdengat frustasi.
“Gini deh Lur, lu coba ajak dia ke tempat-tempat yang gue sebutin tadi, lu lihat respon dia seperti apa. Dari situ lu bakalan tahu jawabannya. Oke?”
“Ya, tapi-“ sambungan telepon terputus.
Ahsan memejamkan mata dan menghela napas panjang.
Beberapa saat dia termangu menimbang-nimbang saran dari sahabatnya itu.Jika aku melakukannya, jawaban apa yang akan aku dapatkan? Kebahagiaan kah? Atau… kepahitan? Pikir Ahsan.
Hingga di mana ada titik dia mengangguk-angguk, seolah-olah bersepakat dengan dirinya sendiri.
Ahsan melirik jam dinding di ruang kerjanya. Sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Selama hampir delapan jam ruangan bernuansa putih dengan interior kayu jati itu tak menggugah semangat Ahsan untuk menyentuh pekerjaannya di dalam laptop. Rencana pertunangan itu sangat menyita pikirannya.
Besar keraguan untuk melangkah kejenjang yang lebih serius bersama kekasihnya, namun Ahsan tidak pernah tahu apa alasan sesunghuhnya dia bisa merasakan hal demikian.Apakah selama ini dia nyaman berada di sisi Tasya? Tentu saja! Tak pernah Ahsan merasa ada yang salah dengan kehadiran Tasya di sisinya. Akan tetapi jika ditanya apakah kamu mencintainya? Hingga saat ini dia belum bisa menjawab pertanyaan itu. Dia pun masih sering bertanya-tanya, benarkah ini? Jika benar, kenapa dia tidak merasakan kehangat cinta yang orang-orang rasakan?
Selama lima tahun ini, Ahsan sudah berusaha banyak mencari kepingan-kepingan kehangantan itu di tengah besar kehampaannya. Salah satunya dengan cara tak pernah pergi dari sisi Tasya, mengabaikan sesak hampa yang mengikat perasaan kecilnya demi mempertahankan seorang perempuan yang orang-orang di sekitarnya sebut dialah yang selalu Ahsan genggam selama ini.
Tangannya kembali meraih ponsel yang sedari tadi tidak lepas digenggamannya. Menghubungi Tasya.
“Aku akan jemput kamu pulang. Kita makan malam bersama, ya?” ucapnya tanpa berbasa-basi setelah suara perempuan itu menyapanya di sebrang sana.
Sambungan telepon terputus setelah Ahsan mendengar persetujuan kekasihnya.
Cepat-cepat Ahsan mengenakan jas dan keluar ruangan tanpa meninggalkan berbagai macam peralatan kerjanya di dalam tas.
***
Meski dalam keadaan tidak lapar, Ahsan tetap menyantap buburnya. Terlihat pula di sisinya Tasya begitu lahap menghabiskan menu makan malamnya.
“Kamu terlihat lapar sekali. Kamu belum makan?” Ahsan tersenyum.
Tasya menggeleng. “Aku memang belum makan dari siang.”
“Kamu tidak makan siang?”
Tasya menggeleng lagi. “Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
“I see…” Ahsan mengangguk-angguk lalu termangu.Wangi khas semangkok bubur ayam di hadapannya tampak terkalahkan oleh pemandangan seorang perempuan yang begitu menikmati rasa gurih bubur ayam Bandung Mang Maman.
Ahsan memperhatikan wanita itu lama-lama. Ada kesamaan seperti yang di katakan Irgi di telepon tadi sore, dia tak menerima respon buruk dari kekasihnya. Satu situasi telah redakan sedikit keraguannya. Dan dia berharap beberapa situasi berikutnya juga akan mekarkan kembang yang layu di ruang kehampaan.
Tasya tersedak. Suara batuknya mematahkan lamunan Ahsan. Cepat-cepat Ahsan menuangkan segelas air teh hangat dan memberikanya.
“Pelan-pelan dong… keselek kan jadinya.”
Tasya tertawa pendek setelah meneguk minumannya dan tawa itu menular. Mereka terawa di tengah sejuknya angin malam.
Tawa Ahsan surut, di kepalanya muncul sebuah ide. “Besok sore kamu lembur?”
“Enggak, kenapa memangnya?”
“Temani aku jalan-jalan mau?”
“Boleh, ke mana?”
“Rahasia,”
***
Tidak ada yang tertunda, seluruh pekerjaannya hari ini tuntas tanpa sisa. Sesuai janjinya kemarin malam, Ahsan berencana mengajak Tasya jalan-jalan.
Dengan sebotol minuman teh manis, mereka berdua berjalan kaki menulusuri trotoar pusat kota Kembang. Langit yang sesuai harapannya buat seluruh rencana di kepala mulus tanpa masalah.
Banyak perbincangan kecil yang menuai gelak tawa keduanya. Cerita pengalaman keduanya hari ini dan kemarin menjadi bahan yang menghangatkan pertemuan mereka, tanpa menyinggung cerita masa lalu.
Di akhir perjalanan mereka, Ahsan mengajak Tasya duduk-duduk di kursi halte. Bukan untuk menunggu angkutan umum, namun untuk sekedar mengistirahatkan kaki.
Setiap kendaraan yang berlalu lalang sudah memancarkan lampu tipis di tengah langit yang mulai menggelap. Dua jam sudah mereka berjalan kaki. Waktu terasa pendek sore ini, hingga buat Ahsan dan Tasya tak menyadari jika sepasang kakinya sudah menelusuri sebagian dari jalanan pusat kota kembang.
“Kamu capek?”
“Sedikit,” Tasya menyatukan ujung jari jempol dan telunjuknya.
Ahsan tersenyum. “Sori ya, aku ngajak kamu jalan-jalan enggak jelas.”
“It’s ok, aku menikmatinya.”
Ahsan mengangguk-angguk pelan. Pandangannya tertuju lurus ke jalan raya. Dua situasi berhasil meruntuhkan keraguannya begitu apik. Lagi-lagi Irgi benar, nostalgia cukup membantunya menggugurkan keraguan yang seharusnya tiada.
“Sayang,”
Ahsan menoleh.
“Kamu sudah memikirkan semua keperluan untuk acara pertunangan kita minggu depan?”
Ahsan tersenyum.
“Kok, malah senyum sih? Waktunya mepet banget lho, banyak yang harus kita urusin.”
Ahsan memiringkan duduknya, tangannya memegang kedua pundak Tasya. “Kamu tenang saja, besok kita urus semuanya. Mulai dari WO, Catring, Baju, undangan dan cincin. Oke?”
Tasya menatap kekasihnya itu dalam. “Kamu bersungguh-sungguh? Kamu tidak merasa terpaksa?”
Ahsan tersenyum lalu menggeleng. “Sekarang aku yang balik bertanya. Kamu sudah siap untuk jadi calon istri aku?”
Perempuan berambut sebahu itu tampak mengangguk tanpa adanya keraguan dibarengi binar mata yang hampir meneteskan air mata bahagia, Tasya memeluk kekasihnya. Penantian itu terbalas indah. Dalam satu malam.
***
Persiapan sudah mencakup kematangan 100 persen. Tim Wedding Organizer menata dekor dengan berbagai macam rupa bunga-bunga yang mempermanis ruangan tengah vila di Lembang Bandung.
Bersama sang Kakak, dia kembali menata baju dan rambutnya di depan cermin wastafel.
“Malam ini gue akui lu enggak kalah ganteng dari gue.” Kata Agan yang berdiri di belakang Ahsan.
Ahsan tersenyum lebar sambil mengancingkan lengan panjang kemeja batiknya.
“Lu bareng Muti?”
“Enggak, malam ini gue ngejomblo dulu.”
Ahsan menatap wajah kakaknya dari cermin. “Lu enggak undang dia?”
“Gue ajak dia ke sini, tapi dia enggak bisa. Ada jadwal ngajar kelas malam katanya.”
“Oh…” Ahsan mengangguk-angguk pelan, perasaanya sungguh menyesalkan. Kenapa di setiap pertemuannya dia tidak pernah meminta nomor telepon perempuan itu. Padahal menurutnya, malam ini adalah malam yang tepat untuk memperkenalkan Muti sebagai calon pendamping Agan ke keluarga besar.
“Tapi dia titip hadian buat lu. Hadiahnya ada di rumah enggak gue bawa. Gue kasih ke lu nanti aja ya?”
“Oke, enggak masalah.” Ahsan tersenyum.
Agan memegang kedua pundak adiknya dari belakang. “Lu siap?”
Ahsan menatap dirinya di cermin. Keputusan malam ini akan menjadi sejarah baru bagi hidupnya. Dia tidak boleh gegabah apa lagi keliru dalam menjawab satu pertanyaan Agan. Dengan hati lapang, Ahsan mengangguk yakin.
***
Tidak ada kata lain selain kata ‘Bahagia’ dari seluruh mata yang menyaksikan dua sejoli yang sedang bertukar cincin. Saling menyematkan di jari manis satu sama lain.
Kebahagiaan Ahsan dan Tasya tidak berakhir begitu saja. Selepas acara mereka banyak mendapatkan ucapan selamat dari para tamu undangan. Salah satunya Irgi. Dia yang datang bersama sang kekasih.
“Weiii, Lur…” mereka saling tos lima jari dan berpelukan. “Selamat,selamat,selamat sekali lagi buat lu, gue ikut seneng lihatnya.”
“Thanks, Lur… ini juga semua berkat bantuan lu. Kalau lu enggak nyaranin gue buat nostalgia mungkin gue masih ngambang enggak jelas.” Ahsan tertawa pendek. “Makasih juga lu udah mau sempetin dateng jauh-jauh ke sini.”
“Enggak masalah, apa sih yang enggak buat lu. Lagi pula kapan lagi gue dateng ke acara anak konglomerat.” Irgi menelisik segala macam dekor mewah yang menghiasi berbagai sudut ruangan.
“Apaan sih, lu ah! Banyol!” mereka berdua tertawa ringan. “By the way, ini siapa?”
“Oh, ya kenalin ini calon istri gue, Hera.”
Keduanya saling berjabat tangan, berkenalan.
“Jadi kapan nyusul, Lur?” tanya Ahsan.
“Secepatnya!”
“Gue aminin.”
“Sayang, kita foto bareng keluarga dulu,” Tasya menghampiri.
“Halo,” Irgi menyapa Tasya lebih dulu.
“Oh, ya, hai… Tasya,”
Dengan hangat Irgi menerima uluran tangan perempuan berkebaya ungu muda itu. “Irgi.”
“Ah… Irgi, salam kenal.”
Mendengar itu kening Ahsan mengerut samar. Perkenalan Tasya dan Irgi sunggu sesuatu yang tidak diduga-duga.
“Sayang,”
Lamuna Ahsan patah. “Ya?”
“Kita foto dulu, yuk?” bujuk Tasya.
“Oke, deluan saja, nanti aku nyusul.”
“Jangan lama-lama.” Bisik Tasya. Ahsan mengangguk saja.
Selepas perginya Tasya, Ahsan menatap serius sahabatnya itu. “Ikut gue.”
Ahsan membawa Irgi menjauh dari keramaian ke sebuah sudut ruangan.“Apa-apaan tadi?” tanya Ahsan tidak habis pikir.
“Apa-apaan gimana maksudnya?”
“Tadi lu kenalan sama Tasya.”
“Ya, terus kenapa kalau gue kenalan sama dia?”
“Lu enggak kenal dia?”
“Ya, lu enggak pernah ngenalin dia sama gue, mana gue kenal,”
“Oh, god…” Ahsan mengusap wajahnya.
“Kenapa, sih? Ada yang salah?”
“Ini sebenarnya lu yang amnesia atau gue yang dibegoin, sih?”
“Apa maksud lu?” Irgi mengerutkan kening tidak mengerti.
“Lur, Tasya itu pacar gue di sekolah, dari jaman SMA, dan mana mungkin lu enggak tahu dia?”
Irgi tersenyum mendesah. “Salah pacar kali lu!” Irgi melengos begitu saja bahkan tidak menghiaraukan Ahsan yang berkali-kali memanggilnya untuk kembali.
Kakinya yang hendak mengejar Irgi tertahan oleh sahutan Agan yang mengajaknya untuk berfoto bersama. Tampaknya bukan sekarang, besok atau lusa dia harus mendapatkan penjelasan dari Irgi. Malam ini dia harus meredam semua pertanyaan yang kembali mengganjal pikirannya untuk menyumbangkan senyuman di depan kamera dan di mata semua orang.
***Temaraniaaa...
Gimana kabarnya? Semoga semua dalam keadaan baik yaaaa...
Btw aku kembali dengan cerita agak-agak ini, agak apa? Boleh dijawab sendiri hehehe...
Gimana lanjut gak nih?
Hmmm... kalo mau lanjut jangan lupa like ya dan Author tunggu komennya kalian, supaya Author makin semangat nulisnya.
Semangat juga buat kalian di bulan kasih sayang iniiiii...
Love 💚
Jangan lupa juga ikuti perjalanan Song Jaemin dalam menemukan teka-teki kepergian sang Ayah yuk,
Dan jangan ketinggalan juga ikuti petualangan El dan enam pangeran lainnya di tanah jingga 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...