Ingin Jawaban

13 3 0
                                    

Pertama kali menginjakan kaki di rumah sakit, Muti berlari menuju ruang UGD meninggalkan Ahsan di belakangnya. Baginya tidak ada obat untuk kekhawatiran seorang Ibu ketika mendengar anaknya terluka. Larinya semakin dekat, di depan ruangan itu terlihat ibunya sudah berdiri menungu dengan wajah resah.

“Bu, gimana keadaan Rerey?” katanya Panik.

“Dokter masih menangani Rerey di dalam.”

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bisa Rerey tertabrak?”

“Karena saking senangnya diajak makan malam di luar oleh Ibu dan A Edgar, ketika turun dari mobil, Rerey langsung berlari begitu saja menuju restoran di sebrang jalan tempat kami memarkirkan mobil. Dan dari arah jalur kanan jalan ada mobil yang melaju kencang, sampai akhirnya menabrak Rerey hingga tak sadarkan diri.”

“Ya, Tuhan… Rerey…” Muti terduduk lemas di kursi tunggu yang tersedia. “Sekarang Aa di mana?”

“Dia sedang keluar mencari donor darah untuk Rerey. Dokter bilang, Rerey membutuhkan donor darah golongan A-  dan di rumah sakit ini golongan darah itu sedang tidak tersedia, golongan darah Rerey cukup langka, Mut.”

“Terus kalau A Edgar belum menemukan golongan darahnya, gimana nasib Rerey di dalam, Bu…” Muti semakin panik.

“Kita berdoa saja, semoga Aa bisa secepat mungkin mendapatkan donor darah buat Rerey,”

“Maaf, keluarga Rerey?” Seorang wanita berjas putih menghampiri mereka.

“Saya Ibu kandungnya, Dok. Jadi gimana keadaan anak saya?”

“Rerey membutuhkan donor darah secepatnya, kalau tidak di khawatirkan kondisi Rerey akan semakin menurun.”

“Dok, tolong lakukan apa pun untuk menyelamatkan anak saya, sebentar lagi Kakak saya datang membawa donor darah-“ ucapan Muti terpotong karena tiba-tiba seseorang menarik dan membawanya menjauhi ruang UGD.

“Ahsan, kamu itu apa-apaan sih?! Lepasin, aku sedang bicara sama Dokter!”

“Rerey anakku atau bukan?” Ahsan menatap Muti serius. Bahkan tak ada raut ketenangan di wajahnya.

Muti hanya diam. Napasnya memburu, bahkan mulutnya terasa kaku untuk mengucapkan satu kata pun.

“Mut, di dalam sana Rerey sedang keritis, jadi sekarang jawab pertanyaan aku, REREY ANAKKU ATAU BUKAN?!” nada bicara Ahsan meninggi, mendesak.

“IYA! DIA ANAK KAMU! REREY ANAK KAMU…” jawab Muti penuh emosional.

“Oke…” ucap Ahsan mendesah sambil mengangguk-angguk pelan.

Buru-buru ia berjalan meninggalkan Muti yang menangis tergugu di balik tembok, menghampiri Dokter yang masih berdiri di depan ruang UGD bersama Ibu dan Edgar yang terlihat baru saja datang entah dari mana.

“Maaf, Dok, saya tidak dapat banyak donor darah yang di butuhkan-“

“Ambil darah saya, Dok. Saya ayah kandungnya!” Ahsan memotong perkataan Rerey.

Etgar menoleh ke asal suara. Keningnya mengerut tegas saat melihat wajah laki-laki di sampingnya. “Ahsan?!”

“Baik, kalau begitu, Mas bisa ikut saya ke dalam.”

Mata Edgar tak lepas dari punggung Ahsan yang berjalan di belakang Dokter, masuk ke ruang UGD.

“Bu, dia?” Edgar masih dilanda kebingungan.

“Sudah… biar nanti Ibu jelaskan,”

***

“Mut, sudah jangan nangis terus atuh… Dokter bilang kan kondisi Rerey sudah stabil.” Kata Ibu sambil mengelus pundak putrinya.

Sudah dua jam semenjak Rerey dipindahkan ke ruang rawat inap, tidak sedetik pun Muti enyah dari sisi anaknya. Tatapan sedih dan linangan air mata terus membanjiri pipi perempuan itu. Jemarinya tak lepas menggenggam tangan Rerey yang belum sadarkan diri.

“Muti masih takut, Bu…” ucap Muti pelan.

“Ibu minta maaf, Mut. Ibu yang salah. Ibu teledor, tidak bisa menjaga Rerey dengan baik.” Ibu merangkul putrinya.

“Aa juga salah, seharusnya Aa bisa lebih mengawasi Rerey. Hampura Aa nya, Mut,”

(Aa minta maaf ya, Mut,)

Muti mengangguk-angguk pelan. “Ini ujian untuk aku. Sudahlah, seharusnya Muti yang minta maaf, Muti selalu merepotkan Ibu sama Aa selama ini.”

“Ibu sama Aa, tidak pernah merasa di repotkan. Ini sudah kewajiban kami sebagai keluarga kamu.” Kata Ibu.

“Makasih Bu, A. Makasih sudah selalu bantu dan ada buat Muti dan Rerey.”
Ibu mengangguk, Edgar pun demikan. Laki-laki berusia 30 tahun itu menoleh ke arah jendela kecil di pintu, terlihat seseorang berjalan mondar-mandir di depan pintu. Edgar menghela napas panjang dibuatnya.

“Dia…” Edgar tak melepaskan pandangannya ke luar jendela. “Bangkit dari kubur?” Edgar memandang Muti dan Ibu bergantian.

Dua wanita itu menatap jendela. Muti menghela napas, dan memilih tak menjawab.

“Hus! Kamu teh enggak boleh gitu. Kan sudah Ibu jelaskan tadi.” Tegur Ibu.
“Iya, iya… Edgar cuma bercanda.” Dia berdiri dari duduknya.

“Mau ke mana kamu?” tanya Ibu.

“Mau ngasih pelajaran sama dia,” ucapnya seraya melengos keluar ruangan.
Mata Muti melebar. “Bu, aku keluar dulu.”

Ibu mengangguk mengerti.

Sebelum daun pintu itu menutup, ada celah yang memperlihatkan kondisi di luar ruangan, Muti terpekik saat melihat sebuah tamparan keras kakaknya mendarat di pipi Ahsan.

Buru-buru Muti keluar, berusaha melepaskan Ahsan dari cengkraman  kuat kakaknya.

“Laki-laki brengsek! Untuk apa kamu datang kemari?! Setelah mencampakan adikku dalam kondisi hamil, kamu masih berani datang kemari!” ucap Edgar marah, sambil mencengkram kuat-kuat kerah kemeja Ahsan.

“A Edgar, udah atuh A… Ahsan teh enggak ingat apa-apa. Lepasin dia!”

Dengan hati terpaksa Edgar menuruti permintaan adiknya.

Kolidor itu tampak sepi, Ahsan tertunduk diam menyatu dalam hening sekitar. Tak ada pembelaan yang ia berikan. Baginya, diam cukup untuk memberikan jawaban sepakat atas ucapan Edgar.

“Kenapa kamu diam?! Mana pembelaan yang sering keluar dari mulut kamu itu? Apa setelah bangkit dari kematian, kamu lupa bagaimana caranya bicara, he?!”

“AA!” bentak Muti.

“Iya, saya salah! Saya memang berengsek!” Ahsan mendongak. “Tapi saya bukan laki-laki pengecut.”

Muti dan Ahsan berpandangan sekilas.
“Saya ke sini bukan sekedar ingin meminta maaf, saya akan bertanggung jawab sebagaimana mestinya.”

Edgar berdecak pinggang, membuang wajahnya lalu menghela napas sekaligus.

“Saya tahu, permintaan maaf saja tidak cukup. Saya akan terima semua konsekuensi yang akan Aa berikan. Tapi tolong, izinkan Ahsan untuk memperbaiki semua.”

Ahsan maju selangkah.

“Maafkan saya, A.” Ahsan menunduk rekuh, penuh penyesalan.

“A, bukan cuma aku yang menjadi korban, tapi Ahsan juga.”

“Kamu teh ngebelain dia?” Edgar menatap Muti heran. “Kamu masih cinta sama laki-laki ini?” dan Edgar menunjuk Ahsan.

Muti tidak menjawab. Bagi Edgar, diamnya Muti adalah sebuah jawaban ‘Iya’. “Lebok tah cinta!” ucap Edgar seraya pergi.

(Makan tuh cinta!)

***

Makan tuh cinta!

Waduh, waduh... Ahsan dan Muti, dua sejoli ini ya 😂

Temarania... makasih banyak ya udah menemani Ahsan sampai sejauh ini.

Jangan lupa like dan komen supaya Author semakin semangat lagi nulisnya.

Sampai bertemu di bab selanjutnya 🤗

Love 💚

Love 💚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After 1.800 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang