Menjelang malam. Keduanya masih terdiam duduk bersebalahan di dalam mobil. Setelah lelah menangis tergugu dipelukan Muti, Ahsan tidak sanggup membuka suaranya. Nyalinya bagai pergi meninggalkannya sendirian.
Diliriknya perempuan berambut panjang itu. Wajahnya masih terbuang menatap jendela kaca mobil, seolah betah memandangi area parkir kampus yang belum mereka tinggalkan.
Ahsan menghela napas pelan, kemudian merogok saku kemejanya.
“Ini,” Ahsan memberikan selembar foto pernikahannya.
Muti menoleh dan melirik foto itu.
“Aku butuh penjelasan untuk ini.”
Muti mengambil foto itu. Beberapa detik ia menatapnya, lalu menghela napas pelan. “Kita menikah enam tahun lalu, setelah empat tahun pacaran.”
“Dari sejak kapan kita pacaran?”
“SMA. Sejak aku patah hati, karena perasaanku ke Agan bertepuk sebelah tangan.”
Ahsan menoleh perlahan. Dia tampak sedikit terkejut mendengar kenyataan bahwa Muti memang pernah menyukai kakaknya.
“Aku nembak kamu dengan cara apa? Pakai bunga? Atau gelang ini?”
Muti tersenyum tipis melihat gelang tali berliontih huruf A, yang menggantung di jari telunjuk Ahsan. “Kamu enggak pernah nembak aku.”
Kening Ahsan mengerut tipis. Penjelasan Muti kali ini bak kereta wisata yang membawanya berjalan ke situasi di sepuluh tahun silam.
***
Usia 16 tahun memang menjadi momen paling tepat bagi Ahsan untuk mengambil keputusan.
Bulir peluh menyirami kening, wajah dan lehernya, namun pandangan Ahsan lurus ke depan dengan kaki dan badan tegak berdiri di bawah terik sinar matahari, tanpa sedikit pun telinganya mengabaikan perkataan Pak Wandi.
“Kalian lagi, kalian lagi! Apa kalian tidak bosan saya hukum? Saya sendiri sudah bosan melihat kalian terlambat masuk sekolah terus. Kalian berdua itu siswa berprestasi, juara olimpiade Fisika dan debat Bahasa Ingris Nasional, seharusnya kalian menjadi panutan untuk siswa-siswi lain, paham?!” ucap Pak Wandi sambil berjalan pelan mengelilingi Ahsan dan Irgi.
“PAHAM, PAK!” Sahut Ahsan dan Irgi berbarengan.
“Mau jadi apa kalian kalau terus seperti ini?” Pak Wandi berhenti di hadapan keduanya. “Heh, Irgi. Mau jadi apa kamu setelah ini?”
“CEO, Pak.”
“Yang kencang, biar teman-teman yang lain dengar. Mau jadi apa kamu nanti?”
“C-E-O. CEO, PAK.” Teriak Irgi.
“CEO? Enggak ada CEO beragajulan kayak gini. CEO tuh rapih, disiplin, berwibawa. Paham?”
“PAHAM, PAK!”
“Masukan baju kamu,” Pak Wandi memukul perut Irgi pelan dengan gulungan kertas di tangannya.
Kini, perhatiannya tertuju kepada seorang murid laki-laki yang sedari tadi tak kalah berdiri tegak dari seorang perajurit TNI. “Kamu, Ahsan. Mau jadi apa nanti?”
“Menantunya Bapak.”
Irgi seketika menoleh, terperanjat kaget.
Suara ringan Ahsan mencengangkan dua pasang telinga di dekatnya.
Wandi menatap lama-lama anak laki-laki itu kemudian menghelan napas pelan. “Ulangi jawaban kamu sekeras mungkin, supaya teman-teman yang lain bisa mendengarnya.” Wandi menunjuk puluhan barisan peserta upacara di hadapannya.“MAU JADI APA KAMU NANTI?” Ucap Pak Wandi Kencang.
Irgi menundukan sedikit kepalanya. “Jangan, jangan, jangan, jangan… please jangan…” bisiknya, beberapa detik sebelum Ahsan berteriak.
Ahsan menarik napas, mengambil ancang-ancang sebelum meluapkan kalimatnya. “MENANTU PAK WANDI!” Teriaknya lantang.
“Ah…” Irgi semakin menundukan kepanya dalam-dalam, ketika suara lantang itu mengundang sorak-sorai seluruh peserta upacara.
“Jadi menantu saya?! Ngarep kamu!” Pak Wandi memukul perut Ahsan dengan gulungan kertas. “Rapihkan bajumu!”
Cepat-cepat Ahsan memasukan bajunya ke dalam celana, setelah itu dia kembali pada posisi tegak.
“Gue malu punya temen kaya lu!” bisik Irgi.
Ahsan tersenyum tipis sebagai tanggapan. Namun garis senyum itu sedikit melebar kala matanya menemukan sosok perempuan yang dimaksud. Muti. Siswi itu tersenyum, sambil menggeleng pelan, menatapnya di barisan depan.
***
“Cieee… Muti.”
“Nyonya Ahsan, ciee…”
“Undang-undang, ye nanti.”
Perjalanan di jam pulang sekolah hari itu benar-benar buatnya terganggu. Siswa-siswi di sepanjang kolidor sekolah tak henti-hentinya mengoda Muti kala langkah mereka saling berpapasan.
“Heh! Jangan ganggu Muti!”
Suara itu membungkam mereka.
Muti menatap Ahsan. Akan tetapi laki-laki itu tidak berucap sepatah katapun padanya. Dia malah menggenggam tangannya, membawanya pergi dari sana.
Tak peduli bagaimana puluhan pasang mata menatap mereka. Ahsan tetap berjalan dengan jemari yang enggan melepaskan genggaman itu.
Kaki keduanya sempat berhenti sesaat, ketika berpapasan dengan Agan, seolah-olah Ahsan membiarkan kakaknya menyaksikan tangan mereka yang saling menggenggam. Namun Ahsan tak membiarkan itu berlangsung lama, sadar akan ekspresi tak bersahabat kakaknya, ia melanjutkan jalannya, membawa Muti tanpa mengatakan apa pun, membiarkan rasa cemburu itu membakar perasaan kakaknya.
***
Sore itu angkringan bubur ayam Mang Maman menjadi tujuan pertama Ahsan sebelum mengantarkan Muti pulang. Bersama Irgi, mereka berdua mengistirahatkan kaki setelah berjalan cukup jauh.
“Cemberut wae, Mut? Bete, ya?” sahut Irgi sebelum menyantap satu sendok buburnya.
Muti tersenyum memaksa.
“Maneh sih, Lur. Aneh-aneh wae kalakuan teh. Karunya pan si Muti, dibully sasakolaan.”
(Kamu sih, Lur. Aneh-aneh saja kelakuannya. Kasihan kan si Muti, dibully satu sekolah.)
Ahsan melirik sekilas Muti di sampingnya. “Makanya deket-deket gue terus, biar enggak dibully.” Makannya terhenti, Ahsan merogok saku celananya, mengambil sebuah gelang tali berliontin huruf ‘A’.
Muti menelan ludah dalam-dalam, saat Ahsan memasangkan gelang itu di pergelangan tangannya.
Dia tahu, gelang itu pernah menghiasi pergelangan tangannya belum lama ini. Namun sekarang dia dapatkan dari orang yang berbeda, dari seseorang yang tampak ingin didekatnya selalu.
“Punyanya Ahsan.” Ahsan mengangkat setengan tangan Muti. Seolah-olah menunjukan kepada dunia, bahwa dia telah memiliki cintanya.
Irgi berhenti mengunyah. Matanya tak lepas dari dua sejoli yang duduk di hadapannya itu. Ada dua ekspresi berbeda yang ditunjukan oleh keduanya. Satu sisi, Irgi melihat Ahsan tampak yakin dengan ucapannya barusan. Akan tetapi di sisi lain, ekspresi berbeda jelas terlihat di wajah Muti yang tampak menunjukan keraguan.
“Dengan begini, enggak akan ada yang benari ngangguin lu.” Ahsan melepaskan genggamannya, dan lanjut makan.
Muti tidak menanggapi apapun, mulutnya bagai terkunci rapat-rapat.
Diamnya Muti sudah menjadi jawaban tersendiri bagi Irgi. Perempuan itu sedang sulit menyelaraskan antara hati dan pikirannya. Mungkin saja hatinya merasa tersanjung, namun pikirannya menyatakan ucapan itu hanya gurauan, yang tak perlu dianggap serius.
“Anggap aja itu jimat pelindung, Mut.” Celetuk Irgi.
Muti mendongak.
“Jimat? Sembarangan lu kalau ngomong! Gelang itu tanda sayang gue sama dia. Udah deh… jomblo diem aja, lu enggak akan ngerti yang beginian!”
Irgi tersenyum mendesah. “Tuh, lu denger sendiri kan, Mut. Jangan lepasin itu gelang.”
Perlahan senyumnya mengulum manis, yang disertai anggukan kepala.
***
Dua malam minggu telah terlewati, dan malam ini adalah ke tiga kalinya dia berdiri di depan pintu rumah Muti dengan berderai keringat dingin.
“I-ini, Pak.”
Pak Wandi sempat menghela napas sebelum menerima sekantung martabak manis dan sekantung buah apel merah dari remaja itu. “Kamu ini jadul sekali. Lain kali bawakan Bapak Pizza, ya?”
Alis Ahsan naik, kemudian dia tersenyum sambil mengangguk.
Pak Wandi tertawa ringan. “Bapak hanya bercanda,”
Ahsan mengusap leher belakangnya sambil tertawa kikuk. “Mutinya ada, Pak?”
Pak Wandi menoleh ke belakang, rumah itu tampak sepi, tidak ada siapa pun di dalam.
“Mau main catur?” Ajak Pak Wandi tiba-tiba.
“Bo-boleh, Pak.”
Pikirannya kian memanas, bergelut dengan anak catur hitam di hadapannya. Dua jam sudah Ahsan lewati dengan dua kali kemenangan atas guru olahraganya itu. Matanya tak lepas dari pergerakan lawan yang semakin gencar mematikan langkah anak caturnya.
Ahsan membuang napas sekaligus, kemudian menggeser pion ratu tiga kotak ke arah kanan, memblok serangan lawan.
Pak Wandi melirik sekilas anak muda di hadapannya. Mengenakan kaus putih yang dibalut jaket jeans berwarna biru tua senada dengan celana jeans panjangnya, Ahsan terlihat berbeda dari Ahsan yang Pak Wandi temui di sekolah. Anak itu tampak lebih rapih, bersih dan wangi. Karisma dari wajah hitam manisnya tampak terpancar keluar.
“Kamu itu aneh, datang ke rumah perempuan yang kamu sayang saja rapih, bersih, wangi. Datang ke sekolah bragajulan, kayak tidak ada niat belajar sama sekali. Memangnya kamu pikir di sekolah tidak ada yang sayang sama kamu?” tanya Pak Wandi.
“Di rumah, Pak.” Jawab Ahsan dengan mata menatap papan catur.
Pak Wandi mendongak, menatap seksama wajah muda itu.
Ahsan pun mendongak. “Di rumah enggak ada yang sayang sama saya.”
Pak Diwan menggerakan pion kudanya. “Skak!” ucap Pak Wandi ringan.
Ahsan kembali menatap papan catur. “Saya bukan anak yang diinginkan.” Ucapnya seraya menggeser pion rajanya untuk menghalangi kemenangan Pak Wandi.
Pak wandi termangu, matanya tak lepas dari anak pionnya, namun isi kepalanya terbelah menjadi dua, di satu sisi Pak Wandi memikirkan banyak setrategi catur kedepan, tapi di sisi lain pikirannya menganalisis setiap isi dari kalimat muridnya itu.
“Ibu saya tidak pernah mengharapkan kehadiran anak ke dua. Baginya cukup satu anak saja yang menjadi tujuan dan alasan kebahagiaan hidupnya.” Lanjut Ahsan dalam hengingnya Pak Wandi.
“Kamu itu masih dalam masa-masa pubertas. ABG labil sepertimu, wajar saja jika merasa tersinggung diperbandingkan dengan saudara sendiri. Kamu hanya perlu belajar melihat sesuatu dari sisi lain, bukan hanya dari satu sisi.”
“Tapi memang begitu faktanya. Tidak jarang saya mendengar kalimat penyesalan Ibu atas kelahirran saya di hidupnya. Sakit hati saya, Pak.”
Pak Wandi mendongak. Remaja laki-laki itu bercerita dengan suara dan wajah tampak tenang. Tidak terlihat tanda-tanda raut menyiksa di wajahnya. Meski demikian, Pak Wandi paham betul bagaimana tersiksanya Ahsan menyembunyikan kesedihan.
“Tapi ayahmu tidak kan?”
“Di rumah, Ayah saya orang yang kaku, jarang bicara. Tapi berbanding terbalik dengan di kantor. Ayah hanya nyaman berbincang dengan rekan-rekan kerjanya dari pada dengan keluarganya sendiri. Hal itu yang membuat jarak antara saya dengan Ayah.”
Agak lama Wandi diam tak menjalankan anak caturnya, hanya mendengarkan penjelasan Ahsan. Beliau semakin paham, situasi seperti apa yang sedang Ahsan hadapi.
Pak Wandi mengangguk-angguk pelan.
“San, Bapak hanya ingin bilang, dilahirkan itu memang bukan pilihan kita, tapi hidup adalah pilihan.” Pak Wandi menggeser pion bentengnya empat kotak ke arah kanan.
Ahsan mendongak. Menatap Pak Wandi.
“Ibumu, sudah melaksanakan sebagian dari kewajibannya. Mengandung kamu, melahirkanmu, menyusui dan merawatmu sampai sejauh ini, dan ayahmu pun sedang melaksanakan kewajibannya, salah satunya menafkahi kamu, dia berjuang keras di belakangmu agar kamu menjadi anak yang beruntung. Tapi kamu juga harus paham, hidup itu ujian.” Pak Wandi mendongak. Mata mereka bertemu. “Sekarang terserah kamu, ingin menjalani dan menyikapi ujian itu seperti apa. Kebahagiaan kamu tergantung keputusan yang kamu pilih.”
Hadir garis tipis di bibirnya. Ahsan kembali menundukan sedikit kepalanya menatap papan catur. “Kebahagiaan saya sekarang adalah anak bungsu Bapak. Dia yang buat sampah ini bisa menjadi seseorang yang berharga di mata satu sekolah.” Ungkapnya sambil memindahkan pion kuda. “Skak Math!!!”
“Ah…” Pak Wandi menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Menerima kekalahan.
Ahsan berhasil mengakhiri permainan begitu apik. Konsentrasinya tak goyah meski Pak Wandi berusaha memecahkannya dengan mengajaknya berbincang.
“Tiga, nol!” ucap Ahsan.
“Kamu memang cerdas.”
“Jadi saya boleh jagain anak bungsu Bapak, kan?”
Pak Wandi terdiam sejenak menatap lama-lama wajah itu.
“Saya janji akan menjadi laki-laki yang jauh lebih baik. Saya akan tunjukan itu. Bukan hanya ke Bapak, tapi ke keluarga saja juga!”
Pak Wandi mengangguk-anghuk pelan. Entah bagaimana bisa sederet kalimat terakhir Ahsan berhasil meluluhkannya?
“Ya… segali kalian bisa menjaga batasan,” Pak Wandi mengangguk, lalu menepuk-nepuk pundak anak itu, yang dibalas senyuman lebar Ahsan.
“Aduh… lama-lama main catur sama kamu, haus juga.” Pak Wandi berdiri dari duduknya. “San, bereskan caturnya. Bapak mau buat kopi dulu. Kalau kamu kedinginan, lebih baik kamu tunggu Muti di dalam saja. Mungkin sebentar lagi dia pulang, jemput kakaknya di bandara bareng Ibu.”
Ahsan mengangguk.
Sudah pukul sepuluh malam, namun Ahsan masih betah berlama-lama duduk di atas sofa ruang tamu menunggu Muti. Ia menyadari, sesekali mututnya menguap, kelopak matanya tak lagi tahan menahan kantuk, Ahsan menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. Ia terlelap. Hingga tubunya terjatuh berbaring di atas sofa.
Dari dalam, terdengar seret langkah menghampirinya. Menatapnya tak tega.
“Ya, ampun, Pak… kok tega sih, Bapak suruh Nak Ahsan nunggu? Padahal biarin saja dia bertemu Muti,”
“Bapak cuma mengajarkan bagaimana caranya berjuang demi cinta, Bu,”
“Bapak itu ada-ada saja.”
Pak Wandi tertawa pendek. “Sudah biarkan saja dia tidur, ayo Bu,”
Sementara kedua orang tuanya masuk, Muti tetap berdiri memperhatikan laki-laki itu. Perlahan kakinya melangkah menghampiri dengan membawa selimut.
Di selimutinya Ahsan perlahan, agar tak mengganggu tidurnya. Muti jongkok untuk mensejajarkan tinggi dengan wajah Ahsan yang terbaring. Di tatapnya lama-lama, wajah yang selalu tampak tegar itu, kini menampakan wajah lelah saat tidur.
Tanpa Muti sadari, air matanya menetes jatuh ke pipinya kala mengingat percakapan Ahsan dan Bapak yang didengarnya beberapa saat lalu.
Bibirnya bergetar menahan suara tangis. Bulir air mata itu tak lagi menetes, namun mengalir bak air terjur menuju hulu.
Kebahagiaan saya sekarang adalah anak bungsu Bapak. Dia yang buat sampah ini bisa menjadi seseorang yang berharga di mata satu sekolah.
Jadi saya boleh jagain anak bungsu Bapak, kan?
Saya janji akan menjadi laki-laki yang jauh lebih baik. Saya akan tunjukan itu. Bukan hanya ke Pak Wandi, tapi ke keluarga saja juga!
Tak enyah, ungkapan demi ungkapan laki-laki itu terngiang di telinganya. Suara itu bagai lagu yang terus diputar ulang dan membuatnya candu.
Di tengah lamunanya, Muti tak bisa menahan isak tangisnya lagi, dan hal itu membuat Ahsan membuka kedua kelopak matanya pelahan.
“Mut?” Ahsan bangun dari tidurnya. Ia membawa Muti duduk di sampingnya.
“Dari kapan kamu pulang? Dan, kenapa kamu kamu nangis?” Ahsan berusaha menghapus jejak mata di kedua pipi kekasihnya.
Muti menggeleng. “Aku sebenarnya enggak pergi ke mana-mana. Bapak menyuruhku diam di kamar selama Bapak bicara sama kamu.”
“O-oh…” dua-tiga detik kemudian Ahsan tertawa ringan. “Terus kenapa kamu nangis?”
Muti menyapu seluruh air mata di wajahnya. Ia berusaha untuk berhenti menangis. “Cuma terharu aja, kamu berhasil ngambil hati Bapak.” Ucapnya.
Ahsan tersenyum dan mengambil kedua tangan Muti. Di tengah aroma tipis parfum mawar dari tubuh kekasihnya, dia menggenggam sepuluh jemari yang selalu memberi kehangatan baginya itu. Ahsan menatap dua manik mata yang selalu membuatnya teduh, dan ia nikmati getar hati dalam dada. That love? Not, but this’s grace of love!
“Mut, dengar. Dari semenjak kamu mengembalikan gelang pemberian Agan ke aku di halte sore itu, hati aku berkata kamu adalah orang yang aku butuhkan hingga nanti. Dan aku berharap kamu juga begitu. Jadikan aku sebagai seseorang yang kamu butuhkan, dihidupmu, sampai kapan pun!”
Air mata yang telah berhenti itu kembali menampakan bentuknya dalam sebulir air yang jatuh dari pelupuk. Baginya, Ahsan sudah terlampau jauh. Sangat jauh. Seakan laki-laki ini tidak mengajaknya untuk menjalin hubungan sebagaimana anak SMA berpacaran pada umumnya, akan tetapi dia sudah memberi kepastian untuk hubungannya di masa depan.
Tidak ada pilihan lain selain menganggukkan kepala. Hatinya sudah terlanjur tertaut pada cinta laki-laki berparas manis itu.
***Ahsan, si laki-laki sederhana 😊
Temarania...
Jangan lupa like dan komennya ya...
Supaya Author semangat nulisnya.
Love 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...