Tidak ada yang dibuat panik kala mendengar Mami tersulut emosi memanggil-manggil nama anak bungsunya.
Habis sudah bujuk kata Firman untuk mencegah istrinya agar mau bersabar menghadapi Ahsan, akan tetapi percuma, amarah wanita ini tak pernah bisa ia taklukkan.
Tidak ada satu pun penghuni rumah yang tidak terpanggil oleh teriakan itu. Agan terutama. Ia segera mempercepat langkahnya menuruni anah tangga menemui Mami, di belakangnya Ahsan menyusul.
“Nah, ini dia!” Mami mendekati Ahsan. “ANAK ENGGAK TAHU SOPAN SANTUN, PULANG SEENAKNYA. KAMU SUDAH MEMBUAT MAMI MALU DI TEMPAT ARISAN TADI SIANG! KEMANA SIH KAMU?!”
“Mi, sudahlah…”
“Papi diam! Ini urusan Mami dan Ahsan.”
Ahsan memperhatikan Maminya beberapa detik sebelum mengumbar senyum.“Maaf Mi, tadi aku pergi ke Naice Cream. Aku takut ganggu Mami, makanya Ahsan enggak bilang-bilang kalau mau pergi.”
Mami diam, masih mematap Ahsan dengan raut wajah menahan marah.
“Kak Agan bikin varian es krim baru, tadi aku bawa sedikit buat orang rumah, Mami mau coba? Sebentar aku ambilkan,”
Ahsan tergopoh menuju dapur dan kembali membawa satu kap es krim dari lima kap yang di bawanya.
“Nih, Mami coba. Ini enak loh,”
Mami tetap diam. Warna dan aroma manis es krim tampaknya tak bisa mengalahkan api amarah wanita bernama Luna itu. Mami menepis cepat kap es krim itu dari tangannya, hingga jatuh berserakan di lantai, tanpa Ahsan duga.
Ahsan sedikit tertunduk menatap es krim di lantai dengan senyum getir. Sekelibat bayang tak terduga muncul dalam benaknya. Adegan yang sama percis!
“ES KRIM, ES KRIM TERUS! KENAPA SIH MAMI PUNYA DUA ANAK LAKI-LAKI LEBIH SENANG MIKIRIN ES KRIM DARI PADA MIKIRIN PERASAAN IBU KANDUNGNYA?!”
Ahsan mendongak. Memperhatikan paras wajah sang Ibu yang mengandung amarah. Kapan terakhir kali aku melihat Mami marah?
Hanya selang beberapa detik saja, amarah itu mencair dalam dekapan Ahsan. Bisik ucapan permintaan maaf anaknya bagai anah panah yang melesat tepat sasaran di titik lemah hatinya. Luna luluh.
Senyumnya tak luntur. Ahsan berdiri dengan ketenangan. Akan tetapi dibalik ketenangannya terbesit luka dihati. Iya, Ahsan tahu itu hanya prihal es krim yang jatuh ke lantai, tapi kenapa bisa semenyakitkan ini?
***
Hanya es krim yang bisa membujuk tenang perasaannya ketika gusar masih menjadi tamu hatinya, setelah kejadian tadi malam.
Sambil menjilati es cone coklat Ahsan begitu menikmati obrolan virtualnya dengan Tasya sore ini.
Sengaja, ia tidak pulang ke rumah. Naice Cream selalu menjadi tempat pelarian terbaiknya selama 62 hari ia tinggal di Bandung.
“Pulang sayang, ngapain kamu masih nongkrong sendirian di Naice Cream?” Wajah Tasya memenuhi layar ponsel Ahsan.
“Aku enggak sendiri, ada Kak Agan sama Keke di sini.”
“Kenapa sih, kamu betah banget di sana? Aku hampir bosan mendengar kabar kamu yang setiap hari datang ke Naice Cream,”
Ahsan tertawa pendek lalu menjilat es cone coklatnya. “Entahlah, aku cuma merasa…” beberapa detik Ahsan berpikir untuk menemukan kata yang tepat.“Terikat.” sambungnya.
Tasya mengerutkan kening.
“Iya, aku merasa terikat dengan tempat ini. Aku merasa lebih tenang dan nyaman di sini. Itu alasan aku kenapa enggak pernah bosan berlama-lama ada di Naice Cream.”
“Ow, ok,” balas Tasya dengan aksen Australisa.“Tapi bukan karena di sana ada pelanggan cantik kan?” Tasya menatap kekasihnya curiga.
Ahsan tertawa tanpa suara sambil menjilati es cone, bahunya naik turun. Ahsan menggelengkan kepala.
“Awas saja kalau kamu lirik sana-sini, sepatu hils aku bakalan kena kepala kamu!”
“Trust me!”
“Ahsan… kita enggak pernah LDR sebelumnya. Selama delapan tahun kita selalu bareng-bareng terus. Jadi wajar kalau aku khawatir. Sebenarnya aku enggak setuju kamu pulang ke Bandung.”
“Baru dua bulan lebih dua hari,”
“Aku enggak mau kehilangan kamu, San…”
Ahsan tersenyum. Perkataan itu terdengar tulus di telinganya. “Ya, udah. Kalau gitu, kamu juga pulang dong ke Bandung. Orangtuamu pasti rindu, mamiku juga. Dia rindu banget sama kamu.”
“Serously?”
“Yes, I’m seriously!” Ahsan mengangkat dua jarinya.“Jadi kapan kamu pulang dari Perth?”
“Besok,”
Ahsan mematung. Es cone menjauh perlahan dari mulutnya. “Becanda kamu!”
Tasya tertawa pendek di sebrang sana. “I don’t lie. Kerjaanku sudah selesai di sini. I going to back home tomorrow, Beb.”
Senyum itu tampak semakin lebar. Sebuah senyuman yang menahan suara kebahagiaan yang hampir meledak jadi sebuah teriakan. “Oke, aku bakalan jemput kamu besok di bandara.”
Tasya mengangguk sambil tersenyum.
“Mm, satu lagi. Dari bandara, I going to bring you to Naice Cream. kamu harus coba semua es krim-es krim di sini. Oke?”
“Itu, pasti.”
“Ah… aku enggak sabar nunggu besok. Pokonya sekarang aku mau pulang ke rumah, mandi, terus cepat-cepat tidur. Supaya malam terasa singkat.”
Tawa menjadi akhir perbincangan virtual keduanya. Sambungan video call terputus dari Tasya.
Yang ditunggu tiba jua, kabar baik itu mulai membenahi kepingan harapannya. Bandung, akan kembali menabur kembang dalam kehampaannya. Semoga.
***Hai-hai Temaraniaaa
Author balik dengan bab terbaru After 1800 days nih, hehehe... 😄
Gimana kabarnya baik kan?
Oke, menurut kalian gimana nih bab yang satu ini? Nanggung gak?
Mau lanjut?
Baiklah, tunggu kelanjutan ceritanya ya...
Jangan lupa like dan komen, supaya Author tambah semangat lagi nulisnya.
Selamat berlibur Temaraniaaa...
Love 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
Fiksi PenggemarJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...