Identitasnya

34 7 2
                                    

Menu makan malam yang dihidangkan Mbak Wida, laris disantap oleh empat penghuni meja makan. Denting sendok dan garpu mengisi kekosongan.

“San, tadi siang Pak Diwan menemui Mami dan Papi.” Celetuk Luna.

Ahsan mendongak. Dihadapannya, seorang wanita berpakaian piama  merah marun tersenyum penuh arti. Jenis senyuman itu sudah tak asing di matanya. Mami selalu begitu bila sudah bertemu dengan seseorang yang digadang-gadang akan menjadi calon Ayah mertuanya itu.

“Untuk apa? ”

“Pak Diwan, mengajak kami makan siang untuk membicarakan soal kerja sama perusahaan. Dan kami juga sempat membicarakan tentang hubunganmu dengan Tasya.” Lanjut Mami.

Kunyahan Ahsan melambat.

“Pak Diwan bilang, dia berharap sekali melihat kalian secepatnya menikah.”

Agan melirik adiknya yang tampak tidak mengindahkan perkataan Mami dan memilih untuk kembali melahab nasi putihnya.

“San, Mami ingin bicara serius dengan kamu. Menurut Mami, keinginan Pak Diwan tidak salah. Mami dan Papi pun mengharapkan hal sama. Iya kan, Pi?” Luna melirik suaminya.

Firman mengangguk ragu.

“Jadi menurut Mami bagaimana kalau kamu dan Tasya bertunangan dalam waktu dekat ini?”

Ahsan menaruh alat makannya di atas piring. “Nanti aku bicarakan dengan Tasya. Aku deluan.” Sekilas Ahsan tersenyum pamit untuk mengakhiri kebersamaannya di meja makan dan  bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi.

Sorot mata Firman mendarat pada punggung anak bungsunya yang mulai menjauh menaiki anah tangga. “Lagi-lagi kamu membuatnya tidak nyaman. Kamu tahu sendiri anak itu tidak pernah senang kalau kita terlalu dalam ikut campur dengan urusan pribadinya.”

“Apa salahnya Mami memberi saran?”

“Jaga sikap dan ucapanmu, kalau tidak menginginkan kejadian dahulu terulang lagi. Kamu tidak mau kan dia berubah pikiran?”

Ucapan suaminya menyentil hati Luna. Bagai menggenggam sebatang mawar berduri yang kembali menyayat rasa perih akan luka menahunnya. Luka yang terlampau melahirkan amarah dan air mata.

***

Rembulan berganti Fajar berlapis mendung. Pemandangan hijau di depan rumah Irgi lagi-lagi menjadi tempat pelarian Ahsan dari segala kegelisahan yang menaungi perasaannya beberapa hari terakhir. Kesedihan Muti dan keinginan Rerey sore itu, adalah dua perpaduan yang berhasil mengusik batin ketimbang wacana pertunangannya dengan Tasya.

Melihat kesedihan wanita dan bocah lima tahun itu, menghadirkan dorongan perasaan untuk melakukan sesuatu. Namun Ahsan pun tidak bisa menjelaskan mengapa ia ingin melakukan itu?
Ahsan tiba-tiba menoleh, aroma jahe berhasil mematahkan lamunannya. Irgi membawakannya segelas teh hangat.

“Teh manis jahe. Enak diminum habis hujan kayak gini.”

Ahsan menerimanya dan menghirup aroma jahe yang membuat rongga penciumannya terasa lebih lega.

Irgi ikut berdiri di belakang balkon rumahnya, sama-sama menikmati segelas teh manis jahe hangat.

Beberapa saat mereka saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga rasa penasarannya mendorong Irgi angkat suara.

“Hasil nostalgianya gimana?”

Ahsan menggeleng. “Gue belum ajak dia nostalgia.”

Irgi menoleh. “Gue kira lu ke sini mau laporan,”

Ahsan menggeleng lagi.

“Jadi?”

“Mami minta gue tunangan sama Tasya dalam waktu dekat ini?”

“Baguslah,”

“Menurut lu itu kabar baik?”

Irgi mengangguk.

“Tapi menurut gue bukan. Gue Belum siap, Gi. Lebih tepatnya enggak.”

“Apa yang buat lu belum siap?”

“Gue takut berkomitmen dengan orang yang salah. Delapan tahun gue menjalin hubungan sama dia, tapi gue enggak pernah merasa kenal dia.”

Irgi tersenyum mendesah. “Mungkin lu cuma jengah sama hubungan yang terlalu lama ada di titik yang sama. Gue pikir ide Mami lu solusi yang tepat.”

Ahsan membuang perlahan seluruh isi gelasnya hingga kosong. “Lu tahu apa jadinya kalau teh ini gue buang ke sembarang tempat?”

“Kosong.”

Ahsan mengangguk. “Itulah yang gue rasakan sekarang. Hampa!”

Irgi menghela napas panjang.

“Tapi sebenarnya bukan itu yang pingin gue bicarakan sama lu.”

Irgi hanya memasang muka datar menatap sahabatnya.

“Gi, kelanjutan cerita hubungan Kak Agan sama Muti waktu SMA, jadinya kayak gimana?” celetuk Ahsan.

Irgi tersenyum mendesah. “Ngapain… lu nanyain itu?”

“Karena gue yakin lu tahu!”

“Lur... yang gue tahu, setelah Kak Agan pergi kuliah ke Australia, Muti benar-benar putus komunikasi sama Kakak lu.”

“Terus apa yang gue lakukan?”

Irgi diam memperhatikan wajah sahabatnya itu.

“Apa yang gue lakukan buat Muti?”

“Lu kenapa sih?” Irgi menyadari betul keanehan sahabatnya.

“Entahlah,” Ahsan memiringkan tubuhnya.

After 1.800 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang