Naice Cream terlihat lengang siang ini. Agan beranjak meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Ahsan di privat room.
Agan menghela napas. Dari semenjak kedatangannya Ahsan betah berbaring di sofa panjang.
Sudah dua puluh empat jam dari aksi pemukulannya, Agan belum lagi bertegur sapa dengan Ahsan.
Sebenarnya, Agan tahu apa yang terjadi pada Ahsan kemarin. Rasa cemburu itu kembali muncul di tengah-tengah perasaan cinta yang tak pernah adiknya sadari dari awal pertemuannya dengan Muti. Namun, Agan memilih diam dan membiarkan adiknya menjalani proses yang semestinya.
Akan tetapi, tampaknya sampai hari ini Ahsan belum mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia terlalu syok oleh kejutan hidupnya.
“Lu enggak mau makan siang?” Agan menarik jas hitam yang menutupi wajah Ahsan.
“Gue enggak laper.” Ahsan menutup wajahnya lagi.
“Mau sampai kapan lu kayak gini?” untuk kedua kalinya Agan menarik jas itu.
Ahsan bangun, duduk bersandar dengan wajah lesu. “Lu enggak ada niatan buat minta maaf sama gue?”
Agan menghela napas lagi. “Oke, sori. Soal kemarin gue udah mukul lu.”
“Bukan soal itu. Gimana kalau lu minta maaf soal kebohongan lu sama gue.”
“Gue enggak pernah ngerasa berbohong sama lu.”
“Kenyataannya lu enggak ada bedanya sama Mami dan Papi. Lu bungkam soal pernikahan gue sama Muti.”
“Gue cuma belum berterusterang.”
“Kenapa? Supaya lu bisa leluasa menjalin hubungan sama cinta pertama lu itu?”
“Sejujurnya gue sama Muti enggak pernah menjalin hubungan apa pun sampai detik ini.”
Ahsan mendongak.
“Gue hanya menempatkan diri sebagai Om buat Rerey.”
“Jadi Rerey itu anak gue?”
Agan mengedikan bahu. “Entahlah, Muti enggak pernah bilang begitu sama gue. Dia cuma bilang kalau Rerey itu anaknya.”
“Maksud lu Muti pernah menikah lagi sama laki-laki lain dan punya anak gitu?”
“Gue enggak tahu. Lu tanya aja sendiri sama Muti.”
“Sampai kapan sih lu mau bikin gue bertanya-tanya?”
Agan diam menatap adiknya.
Ahsan menghela napas. “Gue udah tahu soal makam kosong atas nama gue itu. Dan gue inget betul, di makam itu Rerey nangis-nangis mengungkapkan rindu sama ayahnya. Apa itu enggak cukup buat jadi bukti, kalau gue adalah ayahnya?”
“Sori, gue enggak punya kuasa buat jawab pertanyaan itu. Muti jauh lebih berhak menjawabnya.”
“Kak!”
“Alangkah lebih baiknya lu datangi Muti, selesaikan masalah kalian berdua. Hargai perasaan dia.”
***
Mendung tak juga pergi dari langit kota Kembang semenjak dua jam lalu. Ahsan duduk bersabar di balik kemudi mobilnya yang terparkir di salah satu area Universitas Swasta, menunggu.
Ahsan memandangi foto pernikahannya dengan Muti. Di foto itu mereka tampak serasi bersama senyum bahagia.
Apa benar aku memang mencintainya?
Ahsan hanya diam. Memikirkan hal yang sama setiap detiknya.
Meski ia tak pernah merasa dekat, namun ia merasa terikat dengan wanita satu orang anak itu, sejak awal pertemuannya dengan Muti di Naice Cream. Terlebih, prilaku dan perhatian Muti yang menunjuka lebih dari sebatas teman. Wanita itu bagai sudah terbiasa dengan kehadirannya.
Perlahan senyum itu terbit bersamaan dengan air mata bahagia yang menumpuk di pelupuk. Ahsan tahu seharusnya prihal perasaan tak perlu sesulit ini. Hal itu hanya perlu ia pahami dan percaya.
Seharusnya dia tak perlu kecewa dengan kejadian ini. Karena masalah ini adalah cara takdir membawanya pulang.
Ahsan terus menunggu, hingga seseorang yang lama ditunggunya muncul pada jarak kurang lebih 10 meter dari pandangannya.
Ahsan buru-buru keluar, jantungnya kembali berdegup keras lebih dari biasanya, setelah menyebut satu nama. “Muti!”
Wanita dalam balutan blazer hijau toska itu menoleh. Kakinya membeku ketika laki-laki di sana berjalan menghampirinya.
Langkah Ahsan berhenti. Mereka bertemu dalam jarak satu jengkal. Ahsan yang tadi begitu kaku, tiba-tiba nyalinya mencuat menumbuhkan keberanian hanya dalam beberapa detik, setelah manik matanya menatap wajah teduh itu.
Dengan satu tarikan tangan, Ahsan menjatuhkan tubuh Muti ke dalam pelukannya. Lirih, dia berusaha bicara. “Sorry… I am so sorry…”
Muti diam dengan wajah terkejut. Tubuhnya semakin kaku untuk di gerakan. Dekapan hangat Ahsan, mematikan sumbu kekecewaannya. Ingin dia berontak, melepaskan rengkuhan tangan di tubuhnya, namun perasaannya jauh lebih kuat mengakui bahwa ia merindukan pelukan itu.
“Ahsan, lepas.” Pintanya lirih.
Ahsan menggeleng.
“LEPAS!” Bentaknya.
Akan tetapi kedua tangan itu malah semakin erat mendekapnya.
“Sorry,bukan maksudku meninggalkanmu. Bukan…” Ahsan terisak dalam pelukan.
Muti merasakan setetes air mata jatuh ke pipinya. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, dari sejak awal hubungannya dengan Ahsan, hingga memasuki jenjang pernikahan, perjalanan mereka tak akan semulus yang di harapkan. Perjalan itu akan menuai cerita pelik meski tak terbayang akan hadir dalam bentuk seperti apa.
Hingga badai itu menghantam batinnya. Kehilangan Ahsan pasca kecelakaan tunggal enam tahun lalu adalah kejutan hidup yang banyak menguras emosionalnya. Namun itu tak buatnya goyah. Ia sudah pastikan kuda-kudanya berdiri kokoh tuk menghadapinya. Akan tetapi, yang tidak ia habis pikir adalah reaksi hatinya selama ini. Ya, dia tidak pernah merasa ikhlas atas kepergian suaminya. Kenapa? Mungkinkah karena besarnya cinta yang di milikinya untuk seorang Ahsan? Atau karena perihnya atas perlakuan kasar sang ibu mertua yang menjatuhkan harga dirinya?
Muti masih ingat betul bagaimana caci maki dan perlakuan kasar itu ia dapat dari Luna.
Menempuh jarak 20 kilo meter, setelah dua hari tak sadarkan diri, bukanlah kondisi terbaiknya. Akan tetapi tekadnya yang kuat untuk menemukan kabar sang suami mematahkan segalanya.
Dasar perempuan tidak tahu malu! Untuk apa kamu datang kemari? Mau cari anak saya? Ahsan tidak ada di sini! Dia sudah pergi dari dunia ini! Dan itu semua gara-gara kamu! Seandainya dia tidak memperjuangkan perempuan sialan seperti kamu, Ahsan tidak akan meninggal secepat ini!
Sesak itu masih terasa. Sesak yang ia bawa berlari sampai ke sebuah gundukan tanah merah bertuliskan Ahsan Hadining di atas batu nisannya. Ia menangis tergugu, mencengkram tanah sebanyak yang ia bisa.
Akan tetapi sore ini, getar suara laki-laki itu bak peluru yang menembus titik terlemah kalbunya. Sesuatu yang tidak pernah Muti sangka, kala ia berulang kali berusaha menghapus luka itu dengan dekapannya sendiri dalam ribuan waktu, laki-laki itu berhasil memecah seluruh kecewa dan rasa bersalahnya hanya dalam satu kali dekapan dalam satu waktu.
Ia biarkan tas dalam genggamannya jatuh. Perlahan kedua tangannya bergerak, mendekap punggung laki-laki itu. Muti bagai tak memiliki kuasa atas dirinya, air matanya terus berderai jatuh tanpa bisa ia hentikan. Ia balas dekapan itu begitu erat, seolah mencegah laki-laki itu pergi lagi.
***
Temarania...Apa kabar???
Author balik lagi bareng Ahsan 😁
Gimana, penasaran sama kelanjutan ceritanya?
Oke, sampai bertemu di bab selanjutnya temarania...
Jangan lupa like dan komen oke, biar Author semakin semangat nulisnya
Love 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...