Udara dingin kota Kembang selepas hujan, selalu menjadi waktu terbaik bagi Ahsan untuk melamun, memandangi suasana basah di sekitarnya.
Di belakang balkon rumah bergaya minimalis, Ahsan berdiri terdiam dengan segelas bandrek di tangannya. Aroma jahe menusuk kuat penciuman. Sesekali Ahsan menghela napas selepas menyeruput segelas minuman khas Sunda itu.
“Gue enggak yakin lu ke sini cuma mau silaturahmi doang,” ucap Irgi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi teras balkon. Memperhatikan punggung Ahsan.
Ahsan berbalik, mengalihkan perhatian matanya dari pemandangan hijau depan rumah sahabatnya itu, kemudian berjalan dan berakhir duduk di satu kursi teras satunya.
“Ngobrol dikit tentang masa lalu bolehlah?”
Irgi menyungging senyum. “Mau nanya apaan lu?”
“Muti.”
Irgi tertegun. Matanya melirik. Uangkapan itu terlontar jauh diluar dugaannya. “Ngapain lu nanyain dia?” tanyanya setelah sempat beberapa detik tak bersuara.
“Lu betulan kenal dia?”
“Enggak kenal-kenal benget sih, sebatas tahu. Kenapa memangnya?”
“Semalem gue ketemu dia di angkringan bubur ayam Mang Maman. Sama anaknya.”
“Lu tahu bubur Mang Maman dari siapa? Ingatan lu udah balik, he?”
“Boro-boro! Kemarin sore gue cuma jalan-jalan, jalan kaki maksudnya, dan gue berhenti di angkringan bubur ayam Mang Maman. Gue ngerasa enggak asing sama tempat itu.”
“Sebentar, lu jalan kaki dari kantor ke bubur ayam Mang Maman?”
“Dari Naice Cream,”
“Gila! Itu kan jauh banget, Lur. Hampir dua kali lipat jauhnya dari kantor lu ke Mang Maman.”
Ahsan tersenyum. “Enggak tahulah, hari ke hari Bandung makin buat gue aneh.” Ahsan kembali menyeruput setengah gelas bandrek yang tersisa.
“Buat gue enggak aneh sih. Itu emang hobi lu dari dulu.”
“Oh, ya?”
“Mm,” Irgi mengangguk setelah meneguk segelesa bandrek miliknya.
“Termasuk ngehutang bubur sama Mang Maman, itu juga hobi gue? Atau hobi kita berdua?”
Irgi hampir tersedak mendenger itu. “Siapa bilang?”
“Mang Maman sendiri bilang sama gue semalem di depan Muti, kalau gue sama lu sering ngehutang bubur ayam di sana,”
Irgi menaruh gelas di tangannya ke atas meja yang memisahkan jarak duduk antara dia dengan Ahsan.
“Kita emang enggak pernah bayar, tapi bukan ngehutang juga. Lu sering minta si Muti bayarin sarapan bubur kita.”
“Ah?” kedua alis Ahsan naik.
Irgi menghela napas. “Setelah dengar itu, gue jadi curiga kalau si Muti enggak pernah bayarin bubur kita? Makanya Mang Maman anggap lu sama gue sering ngehutang bubur,”
“Emang seberapa deket gue, lu sama Muti?”
Irgi menyilangkan kedua tangannya dan menggeleng.
Tidak sama sekali!
***
Sembilan Tahun Lalu.
Dengan mengantongi 560 suara, sudah dipastikan siswi berambut panjang yang akrab di sapa Muti itu akan menjabat menjadi ketua OSIS di SMA-nya selama satu tahun ke depan. Desas-desus kemenangannya yang dikaitkan oleh status ayahnya yang menjabat sebagai guru olahraga dan kesiswaan itu menyebar luas bak virus. Tak jarang dia mendapatkan cibiran dan pandangan sebelah mata dari banyak anak satu sekolahnya, tak terkecuali Duo Bangor – Ahsan dan Irgi.
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...