Bagai berkaca di cermin yang sama, Ahsan keluar dari smoking room meninggalkan Rerey sendirian di sana. Masih terekam jelas bagaimana ia beradu argumen tentang tidak baiknya rokok dan coklat untuk kesehatan.
Semua itu berawal dari Ahsan yang merasa tidak suka melihat Rerey terus mengunyah sebatang coklat.
“Sudah jangan terlalu banyak makan coklat, nanti gigi kamu rusak.”
“Aku baru makan sedikt Om,” Rerey menunjukan coklat batang yang tinggal tersisa setengah.
“Tapi barusan kamu baru saja makan satu kap es krim coklat, kamu mau giginya habis di makan kuman?”
“Aku sering sikat gigi pagi sama malam, Om. Jadi enggak akan ada kuman di gigi Rerey.” Rerey menyeringai, menunjukan gigi depannya yang ompong.
“Tetap saja kamu enggak boleh berlebihan makan coklat. Hampir setiap hari kamu makan es krim di sini.”
“Om juga ngerokok, sama kayak Om Agan.” Suara polos itu meluncur saat menemukan sebungkus rokok di atas meja.
“Enggak sesering Om Agan.”
“Bunda bilang, ngerokok itu enggak baik buat kesehatan. Om mau paru-parunya sakit, terus enggak bisa napas kayak orang di gambar itu?” sebuah gambar paru-paru rusak di bungkus rokok menjadi pusat perhatian Rey.
Ahsan segera menyambar bungkus rokok dan membuangnya ke tempat sampah.
“Sudah Om buang. Om enggak merokok lagi. Sekarang kamu juga berhenti makan coklatnya. Sudah, ya?” Ahsan hendak mengambil coklat itu.
Rerey menggeleng, dengan wajah cemberut.
Ahsan menghela napas.“Ya, sudah terserah kamu. Om cuma mau ngingetin, jangan nangis kalau nanti akhirnya gigi kamu sakit!”
Lucu memang! Dia kesal karena harus mengalah dari bocah usia lima tahun. Di depan kakaknya yang sibuk di belakang mesin kasir, Ahsan mendumal sendirian.
“Susah dibilangin, kalau sudah sakit baru tahu rasa!”
“Why?”
“Anak lu, dikasih tahu susah banget. Gue kasih tahu malah nasehatin gue balik. Kesel gue!”
Agan tertawa pendek. “Ya, itulah kenapa gue sama lu selalu bertolak belakang. Gue sering ngerasain apa yang lu rasain saat ini.”
“Maksud lu?”
“Lu bocah!” balas Agan yang berakhir tawa.
Ahsan berdecak pinggang. “Oh… sekarang lu udah bisa ketawa, ya? Udah baik lu sama ibunya?”
“Begitulah.”
“Mm… bilang makasih lu sama gue,”
“Thank you so much!”
Begitu berbesar hati Agan melontarkan rasa terima kasihnya. Ide Ahsan, dua hari lalu bagai semilir angin yang berhasil menghempas debu amarah wanita itu. Hanya dengan menculik Rerey ke Naice Cream, dia bisa meraih kembali tangan cintanya.
“Gue jalan dulu, ya?”
Agan mengangguk. “Jangan pulang telat,”
Langkahnya begitu ringan meninggalkan suara yang menjadi angin lalu.
Berjalan kaki bagai kesempatan baginya tuk mencari partikel kenangan dalam atmosfer yang dihirupnya.
Jauh, Ahsan menelusuri sebagian jalan kota Kembang di senja hari, berharap setiap perjalanannya memberikan secercah jejak cerita di masa lalu. Meski tak ada ingat dalam benak, Ahsan berharap setiap tetes peluh di kening akan membawanya dalam keyakinan, bahwa setiap tempat yang dilewati selalu menyembunyikan cerita baginya.
Hingga surya beranjak pergi dan lampu-lampu kota juga kendaraan kompak menerangi jalannya di bawah langit malam, kakinya tak jua berniat tuk rehat.
Malamnya Kota Kembang menambah daya tarik tersendiri dimatanya. Ahsan duduk di kursi penjual bubur ayam grobakan. Sederhana namun tak sedikit orang yang menyempatkan mengisi perut di sini. Sama sepertinya. Airloji ditangan sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam, memaksa Ahsan tuk melipir mencari makan malam. Dan grobak bubur ayam berwarna coklat kayu itu begitu menarik perhatiannya.
Ahsan menelisik sekitar. Suasana dan tempatnya tak asing. Sekan-akan dia mengenali tempat itu dengan baik.
Kapan terakhir kali aku ke sini?
Semangkuk bubur ayam pesanannya terhidang di atas meja. Ahsan mematahkan lamunannya tentang tempat ini segera.
Wangi dan rasa bubur ayam yang dikenal dengan nama bubur Ayam Mang Maman itu merasuk indra penciuman dan perasannya, bak obat satu rindu yang tak pernah ia sadari. Sesekali Ahsan menyungging senyum setelah satu suap bubur lenyap di kerengkongan.
What is it?
Secercah senang muncul tanpa alasan yang jelas di hatinya, pun dengan luapan pertanyaan di kepalanya prihal tempat ini, tak mengurangi bagaimana cara ia menikmati semangkuk bubur yang hampir habis.
“Om Ahsan…”
Ahsan menaruh alat makannya, lantas mengalihkan seluruh perhatiannya kepada bocah lima tahun itu. Hampir dua jam dia berjalan jauh meninggalkan Naice Cream, tak disangka dia bertemu dengannya di sini. Bandung bagai kota seluas daun kelor, pikirnya.
“Hei, kamu mau beli bubur?”
Rerey mengangguk.
“Sini duduk.” Ahsan mengangkat tubuh Rerey agar bisa duduk di kursi panjang bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanficJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...