Menghapus Waktu

20 7 0
                                    

Sudah 30 tahun sepanjang karirnya sebagai manajer di perusahaan sang suami, Luna tidak pernah meninggalkan ruang kerjanya. Tetapi tidak untuk hari ini.
Menikmati sekap es krim di Naice Cream bukanlah alasan utama yang membuatnya bolos dari kantor.  Namun seseorang yang ada di sana.

Gemerincing bel melahirkan segores senyum yang perlahan mengembang menampakan gigi rapihnya, menyambut bocah lima tahun itu. Satu minggu sudah dari pertemuan pertanya dengan Rerey, siang ini Luna datang tidak dengan tangan kosong.

“Rerey…”

“Nenek Luna…” Bocah itu melepaskan diri dari genggaman Agan dan berlari kecil menghampiri. Luna bahkan tidak lagi sungkan untuk memeluknya.

Di sisi lain, sepasang mata menatap keheranan pertemuan itu. Agan tidak tahu percis apa yang mendorong ibunya melakukan hal demikian. Tapi Agan memilih bersepakat untuk menelan banyak-banyak pertanyaan prihal sikap ibunya siang ini dan membiarkan Luna melakukan apa yang ingin dilakukannya. 

“Itu apa, Nek?”

Luna membuka kantong plastik yang membungkus sebuah papan permainan ular tangga.

Rerey ternganga.

“Rerey, mau main sama Nenek?”

“Mau…” Rerey mengangguk lalu duduk di kursi. Mereka saling berhadapan.

Berlama-lama Agan memperhatikan pemandangan baru itu dari balik etalase es krim. Bagaimana keduanya tertawa riang di tengah-tengan permainan. Mendadak senyumnya mengembang, dan secepat itu pula senyumannya sirna dikala gemerincing lonceng diatas pintu mengiringi kedatangan Muti yang tak terduga.

Perhatian Agan mendarat penuh kepada Muti yang mematung. Cepat-cepat dia keluar dari balik etalase.

“Bunda…” seru Rerey dengan wajah sembringah. Saat itu juga Luna menoleh ke belakang.

“Kamu?!” ucap Luna yang tak kalah terkejut.

Muti tersenyum kaku dan mengangguk pelan.

“Mut, tumben datang jam segini?” Agan berusaha mengendalikan situasi.

“Pekerjaanku sudah selesai. Aku mau jemput Rerey,” jawabnya takut-takut. “Rey, ayo pulang, Nak,”

Rerey mengangguk. “Nenek, aku pulang dulu ya,” Rerey mencium tangan Luna.

“I-iya.” 

Rerey pun mencium tangan Agan. “Om, aku pulang dulu.”

“Iya, sayang. Hati-hati ya,” Agan mengacak rambut Rerey.

“Kak, aku pamit.”

Agan mengangguk.

Tak lupa Muti kembali mengangguk pelan, pamit kepada Luna.

Pintu utama terdorong dari luar, sebelum Muti membukanya. Sorot mata Ahsan tertuju kepada wanita itu yang tampak tergesa-gesa.

“Mau ke mana?” Tanya Ahsan tanpa mempedulikan tatapan orang sekitarnya.

“Pulang,”

Kening Ahsan mengerut samar. “Lho, kok pulang? Semalam di rumah Irgi kita kan sudah buat janji untuk makan siang bareng,”

“Lain kali saja. Permisi,” Muti keluar lalu menutup pintu.

“AGAN?!” Bentak Luna.

Ahsan tidak tahu situasi apa yang telah terjadi di sini. Melihat kepergian Muti, ekspresi wajah murka Mami dan Agan yang tak kuasa lagi melontarkan kalimat penjelasan, Ahsan menerka-nerkan apakah waktu telah mengupas satu rahasia?

***

Tujuh hari yang berlalu cepat. Ahsan terdiam. Sudah pukul setengah tujuh malam, kakinya tak juga kuasa beranjak meninggalkan sofa privat room. Ahsan melirik Rerey yang sama kesalnya menunggu sang Bunda yang belum juga menjemputnya.

“Bundamu sudah bisa di telepon?”

Rerey menggeleng dengan bibir cemberut sambil terus memegang hapenya.

Ahsan mengeluarkan ponselnya mencoba menelepon nomor ponsel Muti yang didapatnya dari Rerey. Namun, nihil. Beberapa kali ia menelepon tak juga Muti menjawabnya.

“Bundamu mungkin masih bekerja.”

“Tapi aku pingin pulang, Om…” Rerey mulai merengek.

Ahsan menghela napas. Ahsan melihat situasi di balik kaca besar. Ini malam Minggu, di jam menjelang malam, Naice Cream mulai ramai-ramainya, dia tak mungkin meminta Agan untuk mengantarkan anak ini sekarang.

“Om antar pulang mau?”

“Beneran?”

Ahsan mengangguk. “Kamu tahu alamat rumahmu?”

Rerey membuka tas sekolahnya, mengambil sebuah buku yang di bagian sampul depan tertulis nama jalan rumahnya.

Ahsan tersenyum. “Ok, come on…” Ahsan memangguk Rerey dan membawanya ke dalam mobil tanpa berpamitan ke Agan.

Dengan alamat yang dimiliki Rerey, mobilnya membelah jalan menuju kawasan salah satu komplek perumahan.
Di tengah perjalanan, sempat dia menerima telepon dari Agan yang menanyakan keberadaan mereka berdua. Namun tampaknya dari nada bicara Agan yang penuh penekanan, kakaknya itu tidak suka dengan keputusan Ahsan yang mengantarkan Rerey pulang. Tak mau ambil pusing, Ahsan memutus telepon begitu saja.

“Om Agan marah gak, Om? Soalnya tadi aku enggak pamitan,” tanya Rerey yang duduk di sebelahnya.

Ahsan tersenyum. “Enggak, Om Agan cuma nanya keberadaan kita aja. Kamu enggak usah khawatir,” Ahsan membelai kepala Rerey. Anak itu mengangguk.

Perjalanan didominasi oleh keheningan. Sesekali Ahsan melirik Rerey yang terjaga memperhatikan jalanan didepan.

“Belok, Om.” Pintanya.

Ahsan berbelok masuk ke sebuah gerbang perumahan yang menyuguhkan jajaran rumah dengan tipe serupa.

“Itu Om, rumah nomer delapan.” Rerey menunjuk ke depan.

Ahsan memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah tanpa pagar itu. Mereka berdua turun. Sambil menggandeng tangan Rerey, Ahsan mengetuk pintu, memberi salam.

“Anin…” Rerey berseru kencang.

Ahsan mengerutkan keningnya. Anin? Dia tak paham siapa yang anak ini maksud.
Terdengar seruan dari dalam yang menyuruh mereka menunggu.

Pintu itu terbuka. Muncul seorang ibu kurang lebih berusia lima puluh tahunan. Ibu berambut sebahu itu mengangkat wajah dan tepat memandang ke arah Ahsan.

“Ya, Tuhan!” Ibu itu terlonjak kaget. “Ahsan?!”

Ahsan pun memasang senyum kepada Anin. “Selamat malam Tante, maaf mengganggu malam-malam. Saya ke sini mengantarkan Rey pulang,”

Ucapan Ahsan bagai angin yang lewat begitu saja di telinganya. Wanita yang Rerey panggil itu terbelalak.

“Anin!”

Ibu itu tersadar dari lamunannya oleh suara dan tarikan tangan Rerey di ujung bajunya.

“Anin kenapa ngelamun? Ajak Om, Ahsan masuk…”

“Ah, maaf,” Ibu itu tersenyum kikuk. “Maaf sekali lagi.”

“I-iya, Bu, tidak apa-apa.”

“Mari masuk, Nak Ahsan.”

Ahsan melangkah ragu-ragu. Ada lima tangkai mawar merah tertata cantik sebagai pajangan di atas meja ruang tamu, yang menghantarkan wangi segar di udara. Aroma yang menggambarkan pemiliknya. Muti.

“Silahkan duduk, Nak Ahsan. Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan minun dulu.”

“Tidak usah repot-repot, Tante-“ omongannya terabaikan. Anin berlalu sambil menggiring Rerey masuk.

Ahsan duduk dan menelisik ruangan untuk mengisi kekosongan. Ada dua buah foto tergantung di tembok. Anin, mengenakan setelan kebaya, selaras dengan kebaya yang dikenakan Muti, keduanya duduk bersebelahan. Namun seorang pemuda berseragam Pilot yang berdiri di belakang mereka, lebih menyita perhatiannya. Ahsan menatap lama-lama laki-laki yang tampak lebih dewasa dari Muti. Mungkin itu Almarhum ayahnya Rerey? Pikir Ahsan.

Di bingkai lain, tampak balita laki-laki tersenyum didekapan seorang Ibu muda dalam balutan toga. Senyum mereka bak virus yang menular cepat membentuk lekuk sabit di bibirnya.

“Itu Rerey, waktu usia dua tahun.”
Ahsan teralihkan oleh suara Anin. Secangkir teh dan beberapa potong brownis coklat bertabur keju di atasnya  tersaji untuknya.

“Aduh, Tante maaf saya jadi merepotkan,”

“Tidak apa-apa. Ayo, silahkan Nak Ahsan.”

Ahsan menyeruput teh hangatnya, dan selama itu pula Anin tak lepas menatap gurat wajah pemuda itu dengan perasaan lega. Anin menghela napas dan memejamkan mata sejenak yang melahirkan butiran air di ujung matanya.

Ahsan mengerutkan kening dan terlihat bingung mendapatkan seorang Ibu di hadapannya menangis. “Tante?”

Buru-buru Anin menyeka air matanya. “Maaf, Nak Ahsan. Ibu hanya terharu. Ibu bersyukur bisa bertemu kamu lagi dengan kondisi yang baik-baik saja.”

Ahsan menaruh cangkir di tangannya ke atas meja. “Tante mengenal saya?”

Anin mengangguk. “Dahulu kamu sering main ke sini, walaupun cuma buat tidur siang di sofa ini.”

Mata Ahsan melebar. Dia diam sejenak, mencoba menahan diri untuk bertanya beberapa pertanyaan yang muncul dikepalanya. Benarkah begitu? Memang seberapa dekat hubunganku dengan Muti?

“A-ah… maaf Tante. Saya tidak mengingatnya. Setelah kecelakaan lima tahun lalu saya kehilangan memori masa lalu.” Raut wajah Ahsan menunjukan sesal.

“Ibu paham. Muti sudah menceritakan semuanya.”

Aneh, setelah berlama-lama menatap Anin, perasaannya merasa kalau dia memiliki hubungan dekat dengan perempuan di sisinya itu, meski wajah Anin tampak asing baginya.

“Maaf, sebelumnya. Kalau saya boleh tahu, Tante ini ibunya Muti?”

Anin mengangguk.

“Oh… begitu rupanya. Dan, laki-laki di foto itu, suaminya Muti?”

Anin menggeleng sambil tersenyum tipis. “Bukan. Laki-laki di foto itu, Kakak kandungnya Muti, anak pertama Ibu. Edgar namanya. Dia seorang pilot penerbangan domestik.”

Hanya ada gambar foto mereka berempat yang terpajang. Ahsan tidak menemukan foto lain yang menunjukan gambar suami Muti dan ayahnya.

“Kalau ayahnya Muti? Saya tidak melihat ada foto beliau di sini,”

“Ayahnya Muti sudah wafat delapan tahun lalu, dua hari sebelum pengumuman kelulusan SMA kalian.”

“Oh… maaf Tante. Kalau pertanyaan saya sudah terlalu jauh.”

“Tidak apa-apa, tanyakan saja bila ada yang ingin Nak Ahsan tanyakan ke Ibu.”
Sepertinya sudah cukup ia bertanya, lebih baik ia telan mentah-mentah pertanyaan prihal suaminya Muti yang masih buatnya penasaran.

“Kalau Anin? Itu, nama asli Tante atau nama panggilan?” Ahsan bertanya agak takut-takut.

Anin tertawa pendek. “Anin itu panggilan Rerey ke Ibu. Ibu tidak mau dipanggil Nenek, biar terkesan tidak tua.” Anin tertawa ringan setelahnya.

“Oh…” Ahsan ikut tertawa ringan. “Tapi memang, Tante terlihat awet muda.”
“Ah, kamu ini bisa saja. Tidak berubah, senangnya membual terus.”

“Ahsan tidak bohong, itu kenyataannya Tante…” 

Di tengah tawa ringan mereka yang kembali berpadu di ruang tamu, Rerey menghampir keduanya sambil merengek.
“Anin… Bunda kok belum pulang?”

“Bunda mungkin masih ada pekerjaan di kampus,”

“Hari sabtu Bunda enggak punya jadwal ngajar sampe malam. Terus aku telepon Bunda juga enggak bisa-bisa…”

“Tunggu saja, sebentar lagi Bunda pasti pulang. Kamu tidur ya, Anin antar ke kamar,”

“Enggak mau… aku mau tidur sama Bunda…” rekekannya semakin menjadi.

Ahsan menghela napas melihatnya, kemudian dia menarik tangan Rerey dan mendudukannya di atas sofa. Didekapnya anak itu.

After 1.800 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang