Dari kejauhan Ahsan melihat Tasya muncul dari pintu utama restoran. Masih memakai busana kerja, kemeja lengan pendek dan celana panjang berwarna kopi susu, perempuan berambut sebahu itu berjalan menghampirinya.
“Hai, sayang,” sapa Tasya yang lantas bercipika-cipiki dengan kekasihnya.
“Nunggu lama?” Tasya duduk di hadapannya.
“Lumayan, tiga puluh menit lebih ada,”
“Oh… I am so sorry,” Tasya tampak menyesal. “I never do again!”
“Yeah, it’s ok,” Ahsan tersenyum memaklumi.
Sepulang makan Batagor bersama kedua temannya sore tadi. Ahsan lantas melesat menuju sebuah restoran di salah satu hotel berbintang. Sesuai janjinya di telepon beberapa saat lalu, dia tidak bisa menjemput Tasya di tempat kerja barunya, namun dia akan menunggu di sebuah tempat yang Tasya tentukan.
Satu piring steak Sirloin tersaji di atas meja bersama dua gelas orange jus. Tasya sempat heran sebentar, melihat hanya ada satu piring steak yang tersaji.
“Kamu yang pesan?”
“Of corse,”
“Kamu sendiri tidak pesan?”
Ahsan menggeleng. “Sejujurnya aku masih kenyang. Tadi sebelum ke sini, aku sudah makan satu porsi Batagor bersama Irgi dan Muti.”
“Temanmu?”
“Iya, Irgi teman SMA ku. Dan Muti, kekasihnya Kak Agan.”
“Oh… single mom itu?”
Beberapa detik Ahsan terdiam. Entah apa alasannya, tapi dia tidak senang mendengar perkataan Tasya barusan, sebelum akhirnya mengangguk.
“Kalian janjian bertemu?”
“Awalnya aku hanya bertemu Irgi, tapi di warung batagor itu kami tidak sengaja bertemu dengan Muti.”
“Lalu?”
“Kami memutuskan untuk duduk di meja yang sama dengannya dan berbincang ringan, that’s it.”
“Oke, hari yang cukup menyenangkan kelihatannya. Dan karena itu kamu tidak bisa menjemputku?”
Ahsan tersenyum. “Mobil, aku tinggal di kantor.”
“Lalu kamu dan Irgi?”
“Jalan kaki.”
“What?” Kening Tasya mengerut samar.
“Ya, begitulah yang selalu kami lakukan semasa SMA. Dan aku begitu menikmatinya.” Ahsan meminum Orange jusnya.
“Kamu mau coba?” Tasya menunjukan sepotong daging di garpunya.
“Boleh,”
Tasya menyuapi Ahsan.
“Suka?”
Ahsan mengangguk sambil mengunyah.
“Hacim!” berulang kali Ahsan bersin.
“Sayang, kamu flu?”
“Maybe,” Ahsan menggosok hidungnya.
“Tadi aku kehujanan waktu pergi ke sini.”
“Ya, Tuhan… kamu hujan-hujanan? Terus jas kamu ke mana?” Tasya baru menyadari kalau kekasihnya tak memakai balutan jas seperti biasanya.
“Aku kasih Muti,” setelahnya Ahsan tak bisa menahan bersin.
Diam. Kening Tasya mengerut samar. “Why do you give her?”
KAMU SEDANG MEMBACA
After 1.800 Days
FanfictionJalan Braga. Kawasan yang tak pernah sepi dari para pejuang hidup kota Kembang. Lalu lalang kendaraan modern tak mengubah suasana klasiknya, waktu pun tak pernah pudarkan keelokan sejarah di sekitarnya. Namun berbeda bagi Ahsan, 1800 hari berhasil...