6. Garisan Takdir

111 8 10
                                    

Lesti berlari memeluk ayahnya, tidak peduli dengan kehadiran orang asing yang belum pernah Lesti temui sebelumnya.

"Ayah maafin dede, dede durhaka sama ayah. Dede egois dan tidak mau mendengarkan alasan ayah menikahkan dede secepat ini," ucap Lesti dengan tangis piluhnya.

Hermawan mengelus lembut kepala putri yang terbalut hijab. "Kamu nggak perlu minta maaf, Nak. Ayah yang salah, harusnya ayah bicara dulu sama kamu. Ini masa depan kamu, harusnya kamu sendiri yang menjadi nahkodanya." Tangis Hermawan pecah, menyesali keegoisannya.

Ayah adalah cinta pertama untuk putrinya. Tidak ada cinta setulus cinta ayah kepada putrinya. Hermawan hanya seorang ayah biasa, yang selalu ingin memberi yang terbaik untuk putrinya. Di saat dirinya hampir kehilangan nyawa, hal yang terlintas dipikirannya hanya melihat putrinya sudah memiliki pendamping yang tepat, yang bisa menggantikan posisi dirinya untuk menjaga dan melindungi putrinya.

"Ayah nggak boleh nangis. Dede udah tau semuanya, Kak Billar sudah jelasin semuanya ke dede. Maafin dede, Yah, maaf," ucap Lesti menghapus air mata ayahnya.

Setelah drama kesalah pahaman, kini semuanya kembali membaik. Keluarga kecil itu sudah kembali menghangat.

"Sayang, salaman dulu dong sama Mama, Papa kamu," ucap Hermawan.

Lesti bingung dengan panggilan 'Mama dan Papa' yang disematkan oleh ayahnya. "Beliau orang tua saya," ucap Billar seolah menjawab kebingungan istrinya.

Lesti tersenyum malu, kemudian berjalan ke arah orang tua Billar. Lesti bersalaman dengan sangat khitmad, sembari meminta restu untuk diterima menjadi menantu dikeluarga tersebut.

"Selamat datang dikeluarga kami, Nak," ucap Utari haru.

"Terimakasih, Tante. Semoga Lesti bisa diterima dikeluarga besar, Om dan Tante," jawab Lesti tersenyum malu.

"Sayang, kok masih tante, panggilnya? Panggil mama dan papa, seperti Billar memanggil kami," ucap Utari lembut.

"Iya, Ma," jawab Lesti.

"Kita nggak perlu ngenalin, kan? Udah kenalan di kamar kan, tadi?" goda Nisa.

"Kebetulan kita sudah mengenal sebelumnya, Bun," jawab Billar.

Semua keluarga yang ada di sini kaget, kecuali Lesti dan Billar. "Kok bisa bisa, Bi? Kenal di mana? Kan kamu di Jakarta mulu, jarang ke Bandung," heran Utari.

"Kebetulan Billar ikut andil dalam lomba debat yang Lesti ikuti kemarin dan kita satu almamater," jelas Billar.

"Wah, dunia sempit ya. Tapi bagus, kalian jadi nggak terlalu canggung, kan sudah kenal," goda Nisa.

"Bunda apaan sih!" Lesti cemberut karena mendapat godaan dari keluarganya.

"Tadi aja nangis-nangis, pakai acara mogok makan lagi," ucap Riyan ikut menimpalinya.

Billar hanya tersenyum, menyaksikan istrinya diledek oleh orang tua mereka dan juga kakak iparnya.

***

Hari sudah semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Tidak terasa obrolan mereka sudah cukup lama, Lesti yang sedari tadi asyik bercengkrama dengan ibu mertua itu, kini harus berpisah, karena mereka harus pulang.

"Mama nggak nginep aja? Jakarta jauh loh," ucap Lesti.

"Mama dan papa nggak pulang ke Jakarta sayang, kami berdomisili di Bandung juga. Hanya saja karena Billar sendirian, mama dan papa memutuskan untuk ikut tinggal di Jakarta untuk sementara waktu. Sekarang kan Billar sudah ada istri, jadi mama dan papa tinggal di Bandung lagi," jelas Utari.

Penerang RedupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang