14. Bumbu Dalam Rumah Tangga

108 7 8
                                    

"Assalamu'alaikum!"

Billar membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa, buat berjaga-jaga jika istrinya tertidur atau sedang keluar saat dia pulang.

"Sayang, kamu di mana?" panggilnya saat tidak menemukan istrinya di bawah.

Dengan segera, Billar mencari keberadaan istrinya di kamar, namun nihil, Lesti tidak ada di sana.

"Sayang!" panggilnya setengah berteriak.

Pikirannya sudah kalut, memikirkan kemana istrinya akan pergi di kota sebesar ini, apalagi Lesti yang tidak tahu seluk beluk ibu kota.

Ingatannya kembali mengingat pertengkarannya semalam yang berujung perang dingin, bahkan dirinya begitu angkuh pagi tadi di saat istrinya berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.

"Maafin, Kakak! Maaf kalau Kakak egois, Kakak kalut semalam," monolognya dengan air mata yang sudah terjun bebas.

"Kamu di mana, Sayang? Kakak minta maaf, tolong jangan tinggalin Kakak. Kakak pulang cepat cuma pengen minta maaf sama kamu."

"Pulang, Sayang! Kakak nggak bisa tanpa kamu!"

Billar menangis memukul kepalanya sendiri. Membayangkan Lesti pergi meninggalkan dirinya saja membuat Billar seperti kehilang separuh jiwanya, apalagi jika itu benar-benar terjadi.

Tidak ingin membuang waktu lama-lama, Billar beranjak dari duduknya dan menyambar kunci mobil yang semlat ia taruh di meja. Billar akan mencari istrinya kemana pun itu, sampai ia menemukan istrinya.

Baru satu langkah Billar melangkah, suara petir dan hujan lebat bersaut-sautan, membuatnya semakin kalut. Hatinya sakit, membayangkan istrinya di luaran sana kehujanan, kedinginan atau bahkan belum makan. Langkahnya ia percepat, istrinya harus segera ditemukan.

"Assalamu'alaikum!"

Salam seorang wanita membuat Billar menghentikan langkahnya yang sudah hampir memasuki mobil.

"Ya Allah, Sayang! Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja. Kakak khawatir banget. Jangan pernah tinggalin Kakak ya," ucap Billar memeluk erat tubuh mungil istrinya.

Lesti dibuat kebingungan dengan sikap suaminya, sesaat kemudian ia baru paham mengapa suaminya bersikap demikian.

"Kak, dede salam loh, kok gak dijawab?"

"Wa'alaikum salam! Ah, maaf, Sayang! Kakak terlalu bahagia melihat kamu kembali. Tadi rasanya jiwa Kakak melayang saat kamu tidak ada di rumah."

"Kenapa? Kakak berpikir dede akan pergi? Dede nggak kemana-mana, Dede akan selalu di sini dampingin Kakak. Maaf ya udah buat Kak Billar khawatir." Lesti tersenyum manis sambil mengelus lembut punggung tangan suaminya.

"Dede kedinginan ini, masuk dulu, boleh?"

Billar melepas pelukannya, ia menggenggam erat tangan istrinya dan mengaambil alih kantong yang istrinya bawa, kemudian menuntunnya masuk ke dalam.

"Mandi dan ganti baju dulu, Kakak nggak mau kamu sakit!"

"Kamu hutang penjelasan," sambung Billar.

*

*

*

"Maaf ya, Sayang, maaf untuk yang semalam. Kata-kata yang keluar dari mulut Dede mungkin sudah membuat Kak Billar terluka. Harusnya Dede bisa nger...."

Billar mengarahkan jari telunjuknya ke bibir istrinya, memberi isyarat agar Lesti tidak meneruskan ucapannya.

"Sayang, yang harusnya minta maaf itu Kakak. Di sini Kakak yang salah, Kakak nggam kasih kabar kamu seharian, wajar kalau kamu khawatir dan selama satu minggu ini Kakak benar-benar nggak ada waktu buat kamu, jangankan untuk mendengar keluh kesah kamu, untuk bicara santai aja Kakak ada waktu. Maaf ya, maaf karena Kakak terbawa emosi semalam. Padahal kamu punya hak buat khawatirin Kakak, kamu punya hak untuk minta waktu Kakak. Maaf kalau kamu merasa Kakak menomer duakan kamu, padahal Kakak membawa kamu ikut serta kesini biar kita tidak perlu LDR, nyatanya kamu ada tapi Kakak seolah menganggap kamu hanya panjangan. Maaf kalau sikap Kakak satu minggu ini membuat kamu terluka, apalagi semalam dan tadi lagi," ucap Billar sambil mencium tulus tangan istrinya.

Penerang RedupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang