12. Fobia

91 5 2
                                    

"Sayang, ada jadwal ngampus hari ini?" tanya Billar.

"Ada, Kak, nanti jam 10," jawab Lesti.

"Ada jadwal lagi kapan?" Billar menatap sekilas mata istrinya, kemudian fokus mengendarai mobil.

Ya, mereka sedang diperjalanan pulang menuju rumah pribadi mereka. Setelah sarapan pagi tadi, Billar mengajak istrinya untuk pulang. Billar paham betul dengan kondisi istrinya sekarang, pasti ada rasa sungkan dengan keluarganya.

"Dua minggu yang akan datang, kan memang jadwalnya dua minggu sekali. Kecuali ada kepentingan lain," jawab Lesti.

"Kenapa memang?" tanya Lesti.

"Memang kuat jalan ke kampus sekarang?" tanya Billar sekaligus menggoda istrinya.

Lesti memberi cubitan kecil diperut suaminya. "Ini juga perbuatan Anda, Pak, kalau Anda lupa. Ditanya malah balik nanya," sewot Lesti.

"Yang abis pecah telor, bawaannya sensi amat ya, Buk," goda Billar diakhiri dengan tawa renyanya.

"Puas!"

Antara malu dan kesal datang bersamaan. Sungguh Lesti ingin sekali menghilangkan suaminya detik ini juga.

"Jangan cemberut dong, Cantik!" Billar mencolek dagu istrinya.

"Awas, ah!" Lesti menepis tangan suaminya.

"Ya, marah! Beneran marah, Sayang? Kan bercanda," panik Billar.

Lesti hanya diam, tak berniat menjawab setiap perkataan yang terlontar dari mulut suaminya itu.

"Sayang, jangan marah dong! Kakak serius bercanda tadi," bujuknya.

"Ya, padahal tadi kakak pengen ngomong penting sama kamu," sambung Billar dengan nada melasnya.

"Apa?" Akhirnya Lesti membuka suara kembali.

Seulas senyum terbit di wajah tampan itu, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya agar kembali berbicara.

"Ye, akhirnya bicara juga," girang Billar.

"Cuma bohong ya, ya udah dede bakal mogok bicara beneran," sewot Lesti.

"Eh, Enggak! Beneran kakak mau ngomong serius. Tadi kakak nanya jadwal kamu ke Kampus, karena besok kakak harus kembali lagi ke Jakarta, perusahaan masih dalam keadaan porak poranda dan mungkin kakak nggak bisa bolak balik Bandung-Jakarta dalam waktu dekat. Kalau kakak ajak kamu ke Jakarta, kamu keberatan, nggak?" tanya Billar serius, meski pandangannya fokus ke depan dan hanya sesekali melirik ke istrinya.

"Dede seorang istri, kemana pun kakak bawa dede, selagi itu tidak dalam keburukan dede akan ikut," jawab Lesti menggenggam tangan suami.

"Alhamdulillah! Kalau kamu bersedia ikut, nanti setelah kamu pulang dari kampus langsung siap-siap aja, nanti malam kita berangkat. Biar kakak pesan tiket pesawat sekarang," putus Billar.

"Naik mobil aja ya, dede takut ketinggian," pinta Lesti ragu.

Lesti sangat memahami konsekuensi perjalanan darat, akan lebih banyak waktu yang diperlukan jika menempuh perjalanan darat dan itu akan membuat suaminya pasti lebih capek. Tapi mau bahagaimana lagi, ia benar-benar fobia dengan ketinggian.

"Kan ada kakak. Nanti kalau takut, peluk kakak aja gimana?" tawar Billar.

Lesti akhirnya mengangguk meski tetap ada keraguan. Ia percaya Billar akan menjaga dan melindungi dirinya.

"Maaf ya, bukannya kakak egois, tapi perjalanan darat akan membutuhkan waktu yang lebih lama, Sayang. Kakak nggak mau kamu capek diperjalanan," ucap Billar mengelur lembut punggung tangan istrinya.

Penerang RedupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang