8 - Merajuk

75 5 0
                                    

Ambang realitas semakin kabur. Gema dari tiap realitas yang berbeda saling tumpang tindih di dalam kepalaku. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku merokok dengan nikmatnya ditemani kopi di kamarku -di rumah Ibu, tapi aku justru memuntahkan kopi yang kubuat pagi ini karena tak kuat rasa asamnya. Ternyata ... aku yang SMA, belum mulai kecanduan kopi.

Itu baru contoh kecil, soal kekacauan realitas ini. Aku juga sempat mencari-cari dimana tas selempangku untuk berangkat sekolah, sementara ketika bercermin ternyata aku sudah tua. Campur aduk rutinitas ini menjadi bagian keseharianku kini.

Mimpiku semalam adalah mulai renggangnya hubungan Jerry dengan band karena sibuk pacaran dengan Ratu. Gadis dan Kianti juga tak lagi ikut kami latihan. Jelas Gadis menghilang karena hatinya masih sakit harus menerima kenyataan pujaan hatinya justru mencintai orang lain, tapi ... Kianti? Ia sepertinya masih marah padaku.

Aku beberapa kali mencoba mengirim SMS padanya, tapi tak satupun dibalas. Ia juga menghindariku di sekolah, bahkan saat di kantin, ia akan langsung pergi begitu melihatku.

Tiba-tiba terlintas ide bodoh di kepalaku. Aku membuka handphone dan mengirim pesan private pada Kianti.

/Kianti, bisa ketemu? Urgent!/

Siapa tahu aku bisa menelaah lebih dalam bagaimana memperbaiki hubungan dengannya yang masih SMA. Tak lama kemudian, ada pesan masuk, ternyata balasan dari Kianti, yang kemudian segera kubalas lagi.

/Mau ngapain?/

/Tenang aja, bukan soal Ratu, kok.../

Kulihat di bawah profile picture-nya, 'Kianti is typing ....'

/Oke. Ketemu dimana? Kapan?/

/Terserah, sebisanya kamu./

/Aku kapan aja bisa, asal deket apartemenku./

/Kalo hari ini? Gimana?/

Ia tak langsung menjawab. Aku meletakkan handphone dan mengambil minum. Hari ini, Pak Is sedang tidak di tempat, jadi aku bisa bebas bergerak tanpa harus ke kantor. Begitu kembali, Kianti telah menjawab.

/Boleh./

Ia lalu mengirim lokasinya, Lapangan Atletik Pelatnas.

/Aku disini sampai jam 5./

Sedang apa Kianti di sana? Bukankah dia sudah tak lagi menjadi atlit lari? Tanpa berlama-lama lagi, aku segera berangkat ke sana.

***

Kianti menyeruput kopinya. "Ada apa, Gi?"

"Kamu ..., sekarang jadi pelatih, ya?"

"Iya, kan atlit gagal. Jadi ..., sekarang jadi pelatih aja. Enak, tinggal kasih teori doang." Ia membakar rokok.

Kami berjumpa di kedai kopi kecil tak jauh dari lapangan tempat Kianti melatih. Ia memakai setelan training dengan jaket dan celana merah-putih, dan kaos putih di balik jaketnya yang tidak di sleting.

"Jadi gini ..., aku cuma mau tanya ..., dulu ... kita pernah berantem, gak?"

"Maksudnya?"

"Atau mungkin ... kamu pernah ngambek sama aku?"

Ia seketika langsung batuk, tersedak asap rokok. Kianti menggelengkan kepalanya lalu meminum kopi untuk meredakan batuknya.

"Kamu ngapain? Kok tau-tau nanya begitu?"

Aku cengar-cengir. "Gak apa-apa, nanya aja ...," jawabku.

"Secara kamu orangnya itu nyebelin, ya jelas pernah,"

Deduksi Astral - [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang