28 - The Play [Explicit]

154 0 0
                                    

Tapi ... bagaimana dengan Tari dan Kianti? Aku tidak mengingat celana dalam keduanya. Tari sudah kugagahi beberapa kali sedangkan Kianti belum -hanya sekedar gesek-gesek, yang pasti aku sudah menelanjangi mereka berdua. Penisku masih setengah tegang paska astral terakhir tadi, meskipun aku dua kali orgasme di situ, tapi penisku tak benar-benar ejakulasi. Birahiku masih menggebu-gebu.

Daripada semakin penasaran, kuputuskan pergi ke kosan Tari. Toh aku pun bisa melampiaskan lagi nafsuku di sana. Aku harus tahu apakah Tari termasuk dari koleksi wanita yang kutiduri, aku harus memastikan celana dalamnya.

Sesampainya di kosan Tari, aku melihatnya sedang mengangkat jemuran -termasuk seprai bekas kemarin malam.

"Hai," sapaku.

"Lho? Udah balik lagi aja, masih kurang???" Entah kenapa aku merasa ini bukan sekedar sindiran ringan. Tari sepertinya agak kesal.

Aku cengengesan sambil menunjukkan sekantong plastik berisi makanan cepat saji dan juga cemilan padanya. Untung aku berinisiatif membelinya saat perjalanan menuju ke sini tadi. "Udah makan belum?"

Walau hanya sedikit, tapi Tari tersenyum. Kami lalu masuk ke kamarnya. "Tumben bawa makanan segala? Biasanya cuma bawa sange-nya doang," sindirnya.

Aku tak menghiraukannya dan segera menyeduh mi instan untuk kami berdua. Tari lanjut beres-beres pakaian sebelum akhirnya kami menyantap mi instan itu bersama-sama sambil menonton TV.

Kami berdua hanya menikmati tontonan sitkom di televisi, tak banyak mengobrol. Setelah selesai makan, aku membakar rokokku seperti biasa di kamar mandi. Sementara Tari merapikan mangkuk dan gelas bekas kami makan tadi dan mencucinya.

Begitu rokokku habis, aku kumur-kumur dan keluar kamar mandi. Kulihat Tari sedang duduk santai di atas kasurnya dan langsung bertanya, "Terus?"

"Ha? Maksudnya?"

"Iya terus gimana? Sekarang mau apa?" tanyanya lagi. "Mau minta jatah lagi???"

Kupasang raut wajah terpolos yang bisa kulakukan, lalu menghampirinya. "Mmm ... boleh?"

Tari melirik dengan sinis. "Kalo kayak semalem, gue gak mau. Ogah! Males banget!"

Oke, paling tidak ia masih memberi kesempatan padaku. Ya, kan? Aku kembali bertanya dengan halus untuk memastikan. "Terus ... maunya gimana? Gue harus apa?"

Sesuai dugaanku, ia langsung tersenyum menyeringai. Ia memegang tanganku dan menarikku untuk naik ke kasur dan duduk di sebelahnya.

"Kalo mau jatah, gue minta kita ... role play. Mau?"

"Maksudnya gimana?"

"Mmm ...." Ia berpangku di atas pahaku. "Anggep gue ... pacar lo ...," bisiknya.

"Pacar ...?"

Raut wajahnya berubah. "Kenapa? Gak mau? Ya udah kalo gak mau!" serunya ngambek manja.

"Eh, b-b-bukan gitu, tunggu tunggu tunggu," kataku sambil menahannya agar tetap kupangku. "Maksudnya gimana? Gue kan cuma nanya,"

"Ya ... gue juga mau kan disayang-sayang ..., bukan cuma ... dipake doang kayak barang."

Ah! Aku baru sadar, Tari itu cewek bookingan. Mungkin dia butuh rasa sayang yang tidak pernah dia dapatkan. Apalagi dari laki-laki ....

Aku langsung menjawabnya dengan mesra, seolah sudah memulai role play yang dimintanya. "Ya udah, iya ..., aku mau," kataku.

Tari langsung tersenyum malu-malu. "Kamu ... emangnya mau apaan, By?" Ia balik bertanya dengan memanggilku Baby.

Deduksi Astral - [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang