11 - After Kiss

122 5 2
                                    

Ternyata benar saja, aku tertahan di masa SMA yang penuh warna ini. Aku pun tidak lagi berpikir untuk kembali ke masa depan, masaku sebagai detektif. Aku menikmati hari-hariku sekarang, dengan anggota keluarga yang utuh, meskipun aku baru sekali berjumpa dengan Ayah karena ia pergi dinas di luar kota untuk waktu yang cukup lama.

Butuh beberapa hari bagiku untuk sepenuhnya menyesuaikan diri, tapi tidak lama. Realitas juga semakin jelas sekarang tidak lagi seperti sebelumnya yang sempat kabur dan berefek saling tumpang tindih.

Kini inner circle-ku terbagi dua: Sasti; Kirana; Vero; Ratu; Flo di lingkaran OSIS, dan Fendi; Genta; Gadis; Kianti di kehidupan sehari-hari. Aku masih sering berjumpa dengan Jerry yang sudah berpacaran dengan Ratu, tapi kami tak banyak berbincang seperti sebelumnya. Perhatian Jerry sepenuhnya terfokus pada Ratu.

Sementara itu, hubunganku dengan Kianti maju-mundur. Aku juga tak mengerti kenapa, kami seperti menjalani Hubungan Tanpa Status yang memang sempat marak di masa ini. Kami jelas saling menyukai, saling perhatian, tapi ... seperti ada yang kurang. Jika diteliti lebih dalam, aku cukup paham mengapa hubungan kami naik turun seperti ini. Aku belum pernah mengutarakan cintaku padanya, termasuk sekedar ucapan atau panggilan sayang, bahkan jika hanya sebatas candaan. Hati kecilku kerap mengatakan: Pacar lo Jihan, Gi. Bukan Kianti!

Memang ... itu sulit dijelaskan. Mungkin ini salah satu bagian dari efek paradoks waktu. Karena aku bukan hanya sekedar menjalani masa lalu, tapi mengulangnya dengan ingatan berusia 38 tahun. Ah, sial!

Setelah berciuman dengan Kianti di rumahnya waktu itu, Kianti menjadi aneh. Ia sering menyindir karena cemburu, tapi tak acuh jika kuajak bicara. Atau jika aku meminta maaf karena melakukan sesuatu yang tidak ia sukai, ia akan menanggapinya dengan: "Ngapain pake minta maaf? Aku juga gak peduli. Hidup kamu, urusan kamu."

Tapi setelah berkata begitu, ia tetap saja ngambek lagi dan ngambek lagi setiap ada sesuatu yang tidak disukainya dariku. Seolah ia ingin mengendalikanku lewat rajukannya. Menyebalkan? Tidak juga. Justru aku semakin menyukainya, itu tanda perhatiannya yang besar untukku. Menjadi pelipur lara bagi jiwaku yang biasanya kesepian.

Fendi masih tetap berusaha mengejar Gadis, namun usahanya masih belum berhasil. Tipe Gadis yang supel sangat sulit untuk ditaklukkan olehnya.

Aku baru saja selesai rapat OSIS, dan menuju kantin di lantai bawah bersama Sasti dan Vero. Aku melihat Fendi sedang mengobrol berdua dengan Kianti, pemandangan yang sangat tidak biasa.

Fendi melambaikan tangannya padaku, lalu Kianti menoleh. Seperti yang sudah dapat diduga, air mukanya langsung cemberut begitu melihatku datang bersama Sasti dan Vero. Tatapan matanya tak lepas dariku, hingga ketika aku berpisah dengan Vero dan Sasti, ia langsung memalingkan wajahnya.

"Tumben kalian berdua aja? Genta sama Gadis mana?" tanyaku sambil duduk di sebelah Kianti. Ia menggeser duduknya menjauh.

"Genta lagi sakit kayaknya, dia gak masuk," jawab Fendi.

"Terus kalo Gadis?"

Kianti menyela, "Penasaran banget?"

Aku tak meladeni kekesalannya, dan memesan es teh manis serta nasi uduk.

"Jadi Gadis itu emang begitu ya, orangnya? Gampang deket sama orang?" Fendi melanjutkan pembicaraannya bersama Kianti yang ternyata adalah soal Gadis.

"Iya, emang gitu, Fen," jawab Kianti.

"Berarti aku ke-ge'er-an aja, dong?"

"Hheheheh, iya," sahut Kianti. Tak biasanya aku lihat dia tertawa begitu. "Tapi ya bukan salah kamu juga, Fen. Gadis emang suka tebar-tebar pesona gitu," -melirik sinis padaku- "seneng kalo punya banyak fans!" Bagian terakhirnya tampak ditujukan padaku.

Deduksi Astral - [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang